Aku hempaskan tubuh di balik kemudi. Memukul setir dengan kencang. Sial! Bisa-bisanya wanita itu memperlakukan aku seperti ini. Harga diriku seakan-akan tidak ada arti di depannya. Bahkan di depan Arga.
Dalam tiga belas tahun, dia berhasil hidup seperti seorang bangsawan. Aluna jadi dokter, Anatasya tidak lumpuh lagi, dan dia hidup di kawasan super elit, impian semua orang. Lingkup pergaulannya dengan para pebisnis itu, adalah cita-citaku sedari dulu.Mengapa impianku harus dia yang mendapatkannya? Dia yang biasanya lemah, tidak berdaya di hadapanku, sekarang malah bersikap seperti tidak mengenalku.Kupacu mobil setelah puas mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini, membuat aku menyesali diriku yang lebih memilih Talita dari pada Anaya. Kelebihan Talita hanya wajahnya yang cantik rupawan, dan pelayanannya yang super di atas ranjang.Selebihnya, dia seperti lintah yang menghisap habis darahku. Tanpa peduli aku masih hidup, atau nafasku yang sudah ngeap, atau lebih parah lagi aku mau mati.Jika tiga belas tahun kemudian Anaya akan menjadi wanita yang seperti sekarang, aku tidak akan pernah berniat untuk melepaskannya.***Melisa sudah sadar saat aku sampai. Talita sedang bermain ponsel di sofa. Dia melirikku dengan tatapan tajam."Dari mana saja Mas? Lama banget baliknya!" aku tidak menjawab Talita. Segera kuhampiri Melisa."Pa!" lirih suaranya memanggilku."Bagaimana keadaanmu Sayang?" kuelus tangannya pelan."Baik Pa!""Cepatlah sembuh!""Maafkan aku Pa!""Tak apa Sayang. Bukankah selama ini, semua kesalahanmu selalu termaafkan? Kali ini pun sama. Meski, Papa kecewa kamu mau menghilangkan nyawamu sendiri. Kita bahas ini nanti. Papa mau makan dulu. Kamu mau sesuatu?"Mata cantik itu menatapku sendu. Bisa kulihat, air mata yang siap meluncur dalam sekali kedip. Melisa menggelengkan kepalanya dengan pelan.Aku langsung saja beranjak. Sebelum keluar ruangan, aku menatap Talita."Jangan pergi kemanapun Talita. Fungsikan peranmu sebagai seorang Ibu!" tanpa menunggu jawabnya, aku berlalu.Entahlah. Setelah bertemu Anaya, aku mulai merasa, Talita adalah sebuah kesalahan bagiku. Jangankan dirinya bisa membantuku. Anak-anaknya saja, tidak ada yang bisa aku banggakan.***Menatap gedung menjulang tinggi di hadapanku, aku kembali optimis. Jika aku terus berusaha, maka perusahaanku akan maju seperti ini.Sambil menarik nafas, aku masuk ke lobi.Tepat aku sampai, resepsionis langsung berkata kepadaku, jika aku bisa langsung naik ke lantai 20. Lantai paling atas, yang di peruntukan kepada jajaran teratas perusahaan.Mereka mengarahkanku ke lift yang biasa dipakai oleh para CEO, direktur dan tamu special.Sebuah hamparan kemewahan tersaji di depanku. Ruangan dengan desain eksetis dengan ornamen modern. Pengharum ruangan semerbak di seluruh ruangan.Hanya ada dua ruangan di sini. Ruangan CEO dan Direktur Opersiaonal. Sunyi dan berkelas. Aku akan punya ruangan seperti ini nanti, setelah perusahaanku sukses.Seorang sekretaris dengan dandan yang rapi dan sopan, keluar dari ruangan direktur. Menatapku dan berkata, "Dengan Pak Surya Dirga?""Benar. Nona!""Silahkan masuk Pak. Anda sudah ditunggu oleh Direktur kami."Aku mengetok pintu."Silahkan masuk!"Di dalam ruangan itu, hanya ada Arga. Rupanya dia adalah direktur di sini."Selamat datang Tuan. Apakah karyawan saya memberikan anda pelayanan yang baik?" Arga berdiri, lalu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman."Ia Tuan. Mereka sangat ramah dan profesional."Arga tersenyum. Dia menekan tombol di samping mejanya."Mikha. Saya minta tolong bawakan tiga capucinno panas dan kue keju ke ruangan saya. Terima kasih yah!" Arga memberi perintah dengan lembut. Aku salut."Tiga? Ada tamu lain selain saya Tuan?" tanyaku penasaran."Oh ia Tuan. Kesepakatan kita, akan langsung dipantau oleh CEO kami. Itu sudah menjadi prosedur perusahaan. Segala sesuatu menyangkut keuangan, harus transparan."Tak lama kemudian, sekretaris Arga datang membawa pesanan Arga tadi. Menyusul dari belakangnya seorang wanita yang kemudian membuatku berjingkrat kaget dari kursi. Anaya!"Silahkan Tuan!""Terima kasih Mikha!" sahut Arga.Aku menganggukan kepala, kepada sekretaris itu, tanpa mampu menjawab. Tubuhku sudah beku dengan kehadiran Anaya. Jangan bilang kalau mantan istri kumalku ini, adalah CEO di perusahaan sebesar ini."Silahkan Tuan Surya. Nikmati sajiannya, sambil mempresentasikan sedikit keuntungan yang kami dapat jika bekerja sama dengan perusahaan anda!" suara Anaya berdenging di kedua gendang telingaku.Aku duduk dengan gugup."Oh yah Tuan Surya. Perkenalkan. Beliau adalah CEO perusahaan ArOne Grup. Ibu Anaya Mahendra!" Arga memperkenalkan kepadaku, wanita yang sudah sangat aku kenal.Aku menatap Anaya tidak percaya. Tanganku bertumpu pada sandaran kursi. Jika tidak mungkin aku sudah jatuh ke lantai karena kedua lututku yang gemetar. Kejutan apa lagi ini?"I-iya Bu," peluh membasahi sekujur tubuhku.Bagaimana tidak? Perusahaan yang kubanggakan dulu di hadapan Anaya, saat dia masih menjadi istriku.Dengan mengatakan Anaya yang miskin dan tidak berguna. Dan aku yang akan selalu berada di atas karena memiliki banyak harta, dan seorang pemilik perusahaan.Sekarang, Anayalah yang berbaik hati mengulurkan bantuan untuk diriku yang hampir bangkrut? Memalukan.Aku kesulitan bernafas. Pengap di paru-paru. Melonggarkan sedikit lingkaran dasi di leher pun, nyatanya tidak bisa membantu. Anaya. Istri lusuhku, jadi CEO sekarang. Astaga.Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu. Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku. Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai. "Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir pa
Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P
Suksesnya Aluna dan Anatasya, berpengaruh juga pada bisnisku. Ada beberapa crazy rich, yang tertarik saat mengetahui, aku adalah seorang singel parents. Jadilah, aku mendapatkan investor dari beberapa di antara mereka. Perusahaanku berkembang dengan pesat. Menjadikan kehidupan beranjak naik ke puncak kesuksesan. Setelah Arga lulus SMA, aku memintanya untuk masuk ke perusahaan. Membantu sebisa dia. Mataku tidak salah melihat. Arga punya jiwa bisnis yang mumpuni. Sambil kuliah, dia membantuku mengatur manajemen. Dugaanku tepat. Manager perusahaan berkata, kualitas Arga akan bertambah setelah dia lulus kuliah nanti. Dan itu terbukti. Setiap proyek yang dia tangani, selalu gol. Kami memenangkan tender di mana-mana. Ibu dan bapak di kampung, kami fasilitasi juga. Aku membantu pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan di sana. Aluna menjadwalkan untuk selalu menengok kampung neneknya. Ketiga anakku sering bertanya tentang perasaan pribadiku, "Apa Bunda gak kepengen nikah lagi?" Aku ha
Surya POVTalita sampai di rumah, setelah waktu isya selesai. Dia tersenyum sumringah mendapati rumah yang bersih dan tertata. "Mas. Kamu panggil Mbok Narsih? Akhirnya. Kan sudah aku bilang, lebih baik ada Mbok Narsih. Semua jadi beres kan?" "Ia. Akulah Mbok Narsihnya, Nyonya Talita. Aku dan Radit yang membersihkan rumah. Aku sudah belanja, semua keperluan dapur dan isi kulkas sudah lengkap. Seprei dan gorden pun sudah di ganti. Lanjutkan saja kegiatanmu. Jangan pedulikan kami Nyonya. Jika suatu hari nanti, kamu pulang keluyuran, dan tidak mendapati kami, jangan cari kami lagi!" Aku bicara sambil terus menatap layar tv. Aku dapat informasi dari Jonathan dan Joshua, jika acara konferensi pers Anatasya akan tayang malam ini. Talita mencebik. "Maafkan aku Mas. Tadi tuh ulang tahun salah satu temanku. Kami sudah menjadwalkan pertemuan ini dari jauh-jauh hari. Sayang banget kalo dibatalin kan?""Yah. Dan kau lebih memilih keluar dari pagi hari meninggalkan anak-anakmu yang sedang sak
Aluna berdiri tanpa takut di hadapanku. Aku kembali mengingat hari itu, sewaktu dia masih kecil. Usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku menumpahkan kopi panas ke tangan Anaya, karena dia salah menakar gula dalam kopiku. Piring alas kopi dihempaskan Aluna, dan mengenai kemeja baru hadiah ulang tahunku dari Talita. Sisa kopi di piring itu menodai kemeja yang baru pertama kali aku pakai. Darahku mendidih. Aku seret anak itu ke ruang tengah. Ikat pinggang aku lepaskan. Dan setelahnya aku memukul Aluna dengan membabi buta. Tanpa aku sadar. Anaya juga menerima pukulan itu, karena memeluk tubuh Aluna. Melindungi dia dari ikat pinggang yang terus melayang. Tidak kulihat air mata di pipinya. Atau teriakannya minta ampun. Tidak ada rasa takut sedikitpun di wajahnya, membuat aku sangat tersinggung dan ingin memukulinya lagi. Wajah itu, ada di depanku sekarang. Ekspresinya sama seperti saat dia masih kecil dulu. Tapi kali ini berbeda. Bukan cuma tidak ada rasa takut, yang ada wajahn