Aku mengejar Aluna. Ingin tau dimana dia tinggal. Aku akan membuntutinya saja. Rasa penasaran akan kehidupan mereka bertambah, setelah melihat Aluna yang sudah berhasil menjadi seorang dokter.
Aku pikir, Melisa akan lebih berhasil dari Aluna, nyatanya, bahkan Melisa sekarang di rawat oleh Aluna.Aluna menyetir alphard putih dengan lincah. Keluar parkiran rumah sakit, setelah itu meluncur mulus di aspal. Aku memberi jarak dua mobil di belakangnya.Kembali aku berpikir, jika Ayana tidak menikah lagi, lalu dengan apa dia menyekolahkan Aluna? Pendidikan kedokteran adalah salah satu yang paling mahal di negeri ini. Pasti Ayana sudah mendapatkan suami yang kaya. Apa bisa? Aku ragu. Ayana bukan wanita yang cantik seperti Talita. Mana bisa pria kaya menyukainya? Apalagi Ayana hanya seorang janda dengan dua orang anak. Dan salah satunya cacat.Mobil Aluna masuki kawasan perumahan super elit di kota ini. Perumahan ini adalah impian Talita sejak dulu. Belum bisa aku wujudkan, karena uang selalu tak bersisa karena gaya hidupnya yang mewah.Setelah mobil Aluna menjauh, aku pun memutar mobilku dan masuk ke area perumahan. Gerbang dengan dua patung malaikat menyambutku. Di pos satpam aku berhenti."Selamat sore Pak. Anak saya di tangani oleh Dokter Aluna yang baru saja masuk. Saya mau konsultasi dengan beliau. Bisa minta nomor rumahnya Pak?" tanyaku ramah."Oh. Dokter Aluna yah. Rumah beliau yang paling ujung di lorong pertama ini Pak. Rumah dengan cat putih gading. Tiga lantai. Rumah paling gede Pak. Ada kolam renang di depannya, nomor 10."Tanpa membuang waktu aku masuk setelah menyerahkan ktpku, untuk dilihat satpam.Aku tercenung di depan rumah dengan ciri-ciri seperti yang dibilang satpam tadi. Ragu hatiku ingin bertamu. Tapi rasa penasaran terus menggedor-gedor hati.Sudah lama aku mencari mereka, tak akan kulewatkan kesempatan ini. Aku membutuhkan bantuan dari Aluna dan adiknya. Aku turun saja.Baru saja pintu mobil mau aku buka, sebuah pajero sport perlahan mendekati gerbang rumah itu. Setelah satpam membuka pintu, aku melihat seorang gadis muda yang tidak kalah cantik dari Aluna, turun dari mobil itu. Kuamati dengan cermat. Anatasya?Anatasya yang dulu duduk di kursi roda, sekarang berdiri lalu berjalan dengan anggun setelah memakirkan mobil.Aku terkesiap. Kaget bukan main. Perubahan luar biasa selama tiga belas tahun dalam hidup anak-anakku. Apakah Anatasya berhasil juga seperti Aluna? Dan sekarang dia juga bukan lagi gadis lumpuh.Tanpa pikir panjang, aku keluar dari mobil. Tekatku sudah bulat. Mereka harus memberi bantuan padaku. Biar bagaimana pun aku adalah ayah mereka. Ada darahku yang mengalir dalam diri mereka."Cari siapa Pak?" tanya satpam."Saya teman Anaya. Bisa saya bertemu dengannya?""Apakah anda sudah buat janji Pak?" tanya satpam itu ramah.Aku mulai gusar. Sepenting apa Anaya, hingga bertemu pun harus membuat janji?"Apakah harus membuat janji dulu?" tanyaku dengan nada jengkel.Satpam itu menarik nafas lalu tersenyum. "Katanya tadi teman Ibu Anaya, masa aturan di sini aja, Bapak gak tau? Semua orang yang mau bertemu beliau harus buat janji dulu Pak. Paling tidak udah nelpon beliau. Nanti sayanya dikasih tau, jam berapa, nama siap yang dateng, langsung saya bukain pintu Pak. Coba deh Bapak telpon Ibu dulu. Nama Bapak siapa? Biar saya nanya Ibu. Soalnya, di dalam ada pertemuan Ibu Anaya dengan rekan-rekan bisnis beliau."Panjang lebar satpam itu menjelaskan. Cuman usaha toko kue saja sudah belagu begitu. Pake ada pertemuan lagi. Ck! Keterlaluan. Tadi, aku juga lupa minta nomor ponselnya.Saat aku ingin berlalu, aku lihat orang yang aku kenal berdiri di teras rumah. Sambil memeluk Anaya dengan mesra. Dia adalah Arga. Investor yang aku temui siang tadi.Ada hubungan apa dia dengan Anaya? Apakah dia suami atau rekan kerja? Anaya menikah dengan anak ingusan? Tidak mungkin. Lalu mengapa mereka bisa berpelukan mesra begitu?Dengan cepat aku meraih ponselku. Mengetik nama Arga, lalu menelponnya."Selamat malam Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah."Maaf mengganggu. Saya sekarang ada di depan rumah di kawasan Bonavit Hills. Saya seperti melihat anda Tuan. Bisa saya berkunjung? Ini rumah anda? Aaya tepat ada di depan gerbang." Ucapku tanpa tedeng aling-aling.Kepalang tanggunglah. Aku harus bisa masuk ke rumah ini bagaimanapun caranya.Kepala anak muda itu celingukan. Lalu tersenyum saat melihatku.Dia memberi kode dari jauh kepada satpam, meminta untuk membuka gerbang untukku. Aku bersorak menang di dalam hati.***Ada beberapa orang pebisnis di ruangan itu. Aku mengenal mereka, karena wajah mereka sering wara wiri di majalah dan koran bisnis.Mataku tajam memindai, melihat kemungkinan, siapa di antara mereka suami dari Anaya. Sudah seperri ini rupanya lingkup pergaulan Anaya. Aku bahkan sangat sungkan, walau hanya menatap mereka. Apalah aku yang hanya pebisnis kecil yang hampir bangkrut.Asik menatap, aku tak menyadari kedatangan Anaya. Dia berjalan dengan anggun ke arahku. Arga mengikuti dari belakang."Selamat malam Pak. Ada yang bisa kami bantu? Arga memanggil saya untuk bertemu dengan anda. Dia bilang anda adalah rekan bisnis Arga yang baru.""Selamat malam Nay. Maaf. Saya tadi mengikuti Aluna dari rumah sakit. Saya hanya ingin memastikan, kalau dia adalah anak kita. Ternyata benar."Anaya tersenyum tipis. Tampak sekali dia sangat terganggu dengan keberadaanku. Dan Arga, aku lihat dia nampak terkejut dengan perkataanku."Aluna memang anak saya. Tapi kami sementara mengadakan pertemuan penting Pak. Jika ingin membahas masalah pribadi, bisakah mencari waktu dan tempat yang lain. Kalau sekarang, saya tidak bisa meladeni anda." Anaya berkata dengan suara rendah namun penuh tekanan. Wajahnya sudah mengeras, dan tidak ada senyum seperti tadi. Kali ini dia benar-benar ingin aku pergi.Arga menoleh ke arah Anaya. Aku melihat Anaya menganggukan kepala kepada Arga. Lalu berbalik badan dan pergi."Mari Tuan, saya antar ke depan!" Tangan Arga mempersilahkan aku untuk keluar ruang tamu. Jika tidak karena suntikan dana yang aku butuhkan, mungkin aku akan membantah dan bersikukuh untuk bertemu Aluna dan Anatasya.Anaya memang keterlaluan! Dia sangat sombong sekarang.Aku hempaskan tubuh di balik kemudi. Memukul setir dengan kencang. Sial! Bisa-bisanya wanita itu memperlakukan aku seperti ini. Harga diriku seakan-akan tidak ada arti di depannya. Bahkan di depan Arga. Dalam tiga belas tahun, dia berhasil hidup seperti seorang bangsawan. Aluna jadi dokter, Anatasya tidak lumpuh lagi, dan dia hidup di kawasan super elit, impian semua orang. Lingkup pergaulannya dengan para pebisnis itu, adalah cita-citaku sedari dulu. Mengapa impianku harus dia yang mendapatkannya? Dia yang biasanya lemah, tidak berdaya di hadapanku, sekarang malah bersikap seperti tidak mengenalku. Kupacu mobil setelah puas mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini, membuat aku menyesali diriku yang lebih memilih Talita dari pada Anaya. Kelebihan Talita hanya wajahnya yang cantik rupawan, dan pelayanannya yang super di atas ranjang. Selebihnya, dia seperti lintah yang menghisap habis darahku. Tanpa peduli aku masih hidup, atau nafasku yang sudah ngeap, atau lebih parah lagi aku mau
Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu. Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku. Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai. "Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir pa
Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P
Suksesnya Aluna dan Anatasya, berpengaruh juga pada bisnisku. Ada beberapa crazy rich, yang tertarik saat mengetahui, aku adalah seorang singel parents. Jadilah, aku mendapatkan investor dari beberapa di antara mereka. Perusahaanku berkembang dengan pesat. Menjadikan kehidupan beranjak naik ke puncak kesuksesan. Setelah Arga lulus SMA, aku memintanya untuk masuk ke perusahaan. Membantu sebisa dia. Mataku tidak salah melihat. Arga punya jiwa bisnis yang mumpuni. Sambil kuliah, dia membantuku mengatur manajemen. Dugaanku tepat. Manager perusahaan berkata, kualitas Arga akan bertambah setelah dia lulus kuliah nanti. Dan itu terbukti. Setiap proyek yang dia tangani, selalu gol. Kami memenangkan tender di mana-mana. Ibu dan bapak di kampung, kami fasilitasi juga. Aku membantu pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan di sana. Aluna menjadwalkan untuk selalu menengok kampung neneknya. Ketiga anakku sering bertanya tentang perasaan pribadiku, "Apa Bunda gak kepengen nikah lagi?" Aku ha
Surya POVTalita sampai di rumah, setelah waktu isya selesai. Dia tersenyum sumringah mendapati rumah yang bersih dan tertata. "Mas. Kamu panggil Mbok Narsih? Akhirnya. Kan sudah aku bilang, lebih baik ada Mbok Narsih. Semua jadi beres kan?" "Ia. Akulah Mbok Narsihnya, Nyonya Talita. Aku dan Radit yang membersihkan rumah. Aku sudah belanja, semua keperluan dapur dan isi kulkas sudah lengkap. Seprei dan gorden pun sudah di ganti. Lanjutkan saja kegiatanmu. Jangan pedulikan kami Nyonya. Jika suatu hari nanti, kamu pulang keluyuran, dan tidak mendapati kami, jangan cari kami lagi!" Aku bicara sambil terus menatap layar tv. Aku dapat informasi dari Jonathan dan Joshua, jika acara konferensi pers Anatasya akan tayang malam ini. Talita mencebik. "Maafkan aku Mas. Tadi tuh ulang tahun salah satu temanku. Kami sudah menjadwalkan pertemuan ini dari jauh-jauh hari. Sayang banget kalo dibatalin kan?""Yah. Dan kau lebih memilih keluar dari pagi hari meninggalkan anak-anakmu yang sedang sak
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta