Aluna berdiri tanpa takut di hadapanku. Aku kembali mengingat hari itu, sewaktu dia masih kecil. Usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku menumpahkan kopi panas ke tangan Anaya, karena dia salah menakar gula dalam kopiku. Piring alas kopi dihempaskan Aluna, dan mengenai kemeja baru hadiah ulang tahunku dari Talita. Sisa kopi di piring itu menodai kemeja yang baru pertama kali aku pakai. Darahku mendidih. Aku seret anak itu ke ruang tengah. Ikat pinggang aku lepaskan. Dan setelahnya aku memukul Aluna dengan membabi buta. Tanpa aku sadar. Anaya juga menerima pukulan itu, karena memeluk tubuh Aluna. Melindungi dia dari ikat pinggang yang terus melayang. Tidak kulihat air mata di pipinya. Atau teriakannya minta ampun. Tidak ada rasa takut sedikitpun di wajahnya, membuat aku sangat tersinggung dan ingin memukulinya lagi. Wajah itu, ada di depanku sekarang. Ekspresinya sama seperti saat dia masih kecil dulu. Tapi kali ini berbeda. Bukan cuma tidak ada rasa takut, yang ada wajahn
Tempat syuting itu ternyata ada di daerah pedesaan. Satu jam berkendara, aku sampai di lokasi yang ditag Anatasya di akun instagramnya. Ratusan hektar sawah menghampar dari awal perjalanan masuk ke desa ini. Ah. Jalannya seperti tidak asing bagiku. Aku memutar ingatanku. Memaksa mengingat tempat ini. Yah. Aku ingat. Ini kampungnya Anaya. Perkembangannya luar biasa. Jalan aspal licin mulus tanpa hambatan. Padahal dulu, lubang di jalan sana sini, makanya kalau Anaya panggil pulang kampung, aku tidak pernah mau. Sakit pinggangku karena jalan yang tidak rata mengguncang mobil. Lagi pula, ini mobil mewah. Nanti rusak lagi. Sawah berderet rapi di kedua sisi jalan. Pagar bambu yang kokoh melindungi sisi jalan tersebut. Dicat warna merah putih. Sederhana, rapi, dan tertata. Mobil dan motor lalu lalang. Boleh juga nih kampung. Sekitar dua kilo meter hamparan sawah, sebelum masuk pemukiman, aku disambut gerbang bambu tinggi menjulang berbentuk pintu candi. Desainnya tidak main-main ini.
Tungkai kakiku serasa mau terlepas saja. Lemas menjalar ke seluruh tubuh, saat mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasiku. Benar yang Anaya bilang? Aku pernah mengeluarkan kalimat kejam seperti itu? Apa dulu aku sangat kejam kepada mereka? Waktu itu, mereka masih anak-anak bukan? Mengapa mereka hanya mengingat semua perlakuan burukku saja?Tidakkah mereka mengingat sesuatu yang baik tentang diriku. Misalnya, aku yang memberi nafkah 400ribu untuk makan dan sekolah mereka? Apakah tidak ada kenangan indah bersama denganku, yang bisa mereka ingat? Aku bersandar di mobil. Mencoba memutar memori jauh ke belakang. Dulu ... Setelah Talita, cinta pertamaku itu kembali di hidupku, aku yang sudah menikahi Anaya, seakan-akan di tarik dari dimensi pernikahan kami. Aku bahkan menikahi Talita, tanpa sepengetahuan Anaya. Anaya kujadikan tempat mengambil pakaian bersih, dan mengisi perut. Karena Talita tidak cakap dalam hal mengurus pakaian dan makananku. Aku akan melampiaskan hasra
Sepintas lalu, ingin rasanya aku membalas atas apa yang sudah di lakukan pria itu kepadaku. Aku menangis di dalam mobil. Menyetir dengan pelan, sambil menikmati luka lama yang tergores lagi. Kedua telingaku berdenging, mengingat kembali teriakan pria itu. Sampai kalimat penyangkalan yang dia teriakan dengan lantang. Di bawah kolong langit, dan di saksikan Allah, Tuhan yang menganugerahkan kami untuknya. Sebagai keturunannya. Air mataku terus berderai. Ternyata, aku belum sepenuhnya sembuh, ya Allah. Sakitku masih mengikutiku hingga sekarang.Aku usap dadaku yang sesak. Sembuh Aluna. Sembuh. Lepaskan. Ikhlaskan. Biarkan berlalu. Kuat. Kalahkan sakit itu dengan tulus hatimu, menerima semua yang terjadi dalam hidupmu, meyakininya, sebagai keputusan Tuhan yang paling adil. Kuusap wajahku yang bersimbah air mata. Berhenti di lampu merah, aku mengambil tissu basah. Membersihkan wajahku. Dan memoles dengan bedak. Sebentar lagi aku sampai di rumah. Jangan sampai bunda lihat wajahku. Apal
Talita POVSatu hal yang selalu aku syukuri. Allah memberikanku fisik yang sempurna. Tinggi, langsing, kulit putih, hidung bangir, rambut hitam legam dan lebat. Wajahku sempurna. Cantik dan menawan. Sedari sekolah menengah pertama, sudah banyak teman-teman pria yang menyukaiku. Mereka bilang aku seperti boneka barbie. Yah. Aku akui itu. Setelah kuliah, aku bertemu dengan seorang pria yang lumayan ganteng menurutku. Dia begitu antusias saat aku menerima pernyataan cintanya. Keadaan ekonomi keluarganya, yang hanya kelas menengah, membuat aku tidak bisa melanjutkan hubungan lebih serius dengannya. Wajar kan? Dengan modal wajah seperti ini, aku harus dapat crazy rich di negara ini. Dan, tentu saja aku berhasil.Seorang pria kaya raya, menyatakan cinta kepadaku. Pacaran kami melebihi batas. Bahkan menginap di hotel dan tidur bareng adalah kegiatan kami menghabiskan libur weekend. Aku difasilitasi dengan lengkap. Mobil, perhiasan, kartu kredit dan tentu saja liburan mewah. Hidupku sem
Waktu untuk temu fans itu tiba. Aku membujuk Melisa supaya mau ikut denganku. Sebenarnya dia enggan. Dia mau bertemu Anatasya secara pribadi saja katanya. Nanti bisa ambil foto, dan diupload di akun instagramnya. Sebegitu sukanya dia, sama adiknya itu. Sayangnya, Anatasya, terlalu sombong, hingga harus membuat jadwal dulu, untuk bertemu Melisa.Akhirnya setelah lama aku bujuk, saat ini, dia sudah duduk denganku di mobil. Aku menyetir dengan pelan dan hati-hati. Aula perusahaan sudah full dengan anak muda. Laki-laki dan perempuan. Memenuhi seluruh kursi. Bahkan ada yang belum kebagian kursi. Sebanyak ini, fansnya Anatasya. Di depan sana, dibuat seperti panggung rendah. Ada kursi sofa berderet. Dengan dekorasi kekinian. Balon serta bunga-bunga. "Hai semuanya. Pasti udah pada kangen sama Acha yah. Bentar lagi. Anaknya lagi maem. Gak sempet sarapan tadi katanya. Kakaknya, ngabisin ikan tongkol buatan Bunda Naya, jadi dia ngambek. Minta dibikinin lagi. Eh. Bunda malah udah berangkat k
Aku mengutarakan keinginanku untuk membuka bisnis kuliner, kepada Talita. Jawabannya sungguh di luar dugaanku. "Bisnis yang ini aja, kamu udah mau koit, mau buka bisnis kuliner. Udah gak usah macem-macem Mas."Huh. Salahku juga minta pendapat Talita. Dia tau apa tentang bisnis. Apalagi kuliner. Dia kan hanya tau menghabiskan uangku. Seminggu kemudian, ibuku datang ke rumah kami. Dengan koper besar, plus muka cemberut. Akhir-akhir ini, semua orang hobi sekali membebaniku dengan uang nafkah.Tidak taukah mereka, aku sudah tidak seperti dulu. Uangku habis, demi membiayai gaya mereka. Ibuku ini juga. Usia sudah uzur, bukannya berhijab dan berusaha hidup baik, ini malah berpakaian seperti artis-artis korea. Dengan rok payung mini, dan blous ketat. Tubuhnya yang keriput sana sini, sungguh sangat tidak enak di pandang mata. "Ibu mau tinggal bareng kamu Surya Anggara. Jangan jadi anak durhaka. Kau pikir, uang dua juta sebulan cukup untuk Ibu? Ibu tinggal di sini, kamu kasih makan Ibu, tap
Aku pulang ke rumah dengan hati yang amat sangat kecewa. Dan selama satu minggu ini, aku uring-uringan. Tidak ada satupun pekerjaanku yang beres. Proyek aku minta ditangani Jonathan dan Joshua. Aku membawa ibu ke rumah sakit. Setelah tau ibu menderita alzaimer, aku memulangkan beliau ke rumah tua kami, Sari yang akan menjaga ibu. Bagaimana bisa ibu tinggal denganku? Talita tidak pernah ikhlas dengan ibuku. Aku maklumi sikap Talita. Dia tidak ikhlas melayani ibu, karena ibu selalu memanggil dia, Anaya. Sering ibu membentak Talita, seperti dulu membentak Anaya. Masakan kurang garam lah, kurang manis lah, kurang bumbu lah. Rumah belom bersih ini. Sapu lagi, pel lagi. Pakaian kurang harum ini. Kusut lagi. Tau strikaan gak? Anaya ... Talita yang terbiasa kumanja, yang tidak terbiasa dibentak. Mau bangun jam berapa pun, aku biarkan. Kadang sarapan di kantor. Makan siang di restoran, makan malam, pesan online. Dan setelah kami pindah, dia mulai masak, mulai bisa cuci dan setrika pakaia