Waktu untuk temu fans itu tiba. Aku membujuk Melisa supaya mau ikut denganku. Sebenarnya dia enggan. Dia mau bertemu Anatasya secara pribadi saja katanya. Nanti bisa ambil foto, dan diupload di akun instagramnya. Sebegitu sukanya dia, sama adiknya itu. Sayangnya, Anatasya, terlalu sombong, hingga harus membuat jadwal dulu, untuk bertemu Melisa.Akhirnya setelah lama aku bujuk, saat ini, dia sudah duduk denganku di mobil. Aku menyetir dengan pelan dan hati-hati. Aula perusahaan sudah full dengan anak muda. Laki-laki dan perempuan. Memenuhi seluruh kursi. Bahkan ada yang belum kebagian kursi. Sebanyak ini, fansnya Anatasya. Di depan sana, dibuat seperti panggung rendah. Ada kursi sofa berderet. Dengan dekorasi kekinian. Balon serta bunga-bunga. "Hai semuanya. Pasti udah pada kangen sama Acha yah. Bentar lagi. Anaknya lagi maem. Gak sempet sarapan tadi katanya. Kakaknya, ngabisin ikan tongkol buatan Bunda Naya, jadi dia ngambek. Minta dibikinin lagi. Eh. Bunda malah udah berangkat k
Aku mengutarakan keinginanku untuk membuka bisnis kuliner, kepada Talita. Jawabannya sungguh di luar dugaanku. "Bisnis yang ini aja, kamu udah mau koit, mau buka bisnis kuliner. Udah gak usah macem-macem Mas."Huh. Salahku juga minta pendapat Talita. Dia tau apa tentang bisnis. Apalagi kuliner. Dia kan hanya tau menghabiskan uangku. Seminggu kemudian, ibuku datang ke rumah kami. Dengan koper besar, plus muka cemberut. Akhir-akhir ini, semua orang hobi sekali membebaniku dengan uang nafkah.Tidak taukah mereka, aku sudah tidak seperti dulu. Uangku habis, demi membiayai gaya mereka. Ibuku ini juga. Usia sudah uzur, bukannya berhijab dan berusaha hidup baik, ini malah berpakaian seperti artis-artis korea. Dengan rok payung mini, dan blous ketat. Tubuhnya yang keriput sana sini, sungguh sangat tidak enak di pandang mata. "Ibu mau tinggal bareng kamu Surya Anggara. Jangan jadi anak durhaka. Kau pikir, uang dua juta sebulan cukup untuk Ibu? Ibu tinggal di sini, kamu kasih makan Ibu, tap
Aku pulang ke rumah dengan hati yang amat sangat kecewa. Dan selama satu minggu ini, aku uring-uringan. Tidak ada satupun pekerjaanku yang beres. Proyek aku minta ditangani Jonathan dan Joshua. Aku membawa ibu ke rumah sakit. Setelah tau ibu menderita alzaimer, aku memulangkan beliau ke rumah tua kami, Sari yang akan menjaga ibu. Bagaimana bisa ibu tinggal denganku? Talita tidak pernah ikhlas dengan ibuku. Aku maklumi sikap Talita. Dia tidak ikhlas melayani ibu, karena ibu selalu memanggil dia, Anaya. Sering ibu membentak Talita, seperti dulu membentak Anaya. Masakan kurang garam lah, kurang manis lah, kurang bumbu lah. Rumah belom bersih ini. Sapu lagi, pel lagi. Pakaian kurang harum ini. Kusut lagi. Tau strikaan gak? Anaya ... Talita yang terbiasa kumanja, yang tidak terbiasa dibentak. Mau bangun jam berapa pun, aku biarkan. Kadang sarapan di kantor. Makan siang di restoran, makan malam, pesan online. Dan setelah kami pindah, dia mulai masak, mulai bisa cuci dan setrika pakaia
POV ArgaMalam pertemuan para pebisnis, teman bunda, diadakan di rumah kami. Orang kaya lama mah begitu. Sederhana. Bukan hotel berbintang tapi rumah salah satu rekannya. Kek arisan emak-emak aja. Pak Surya, seorang pengusaha yang bekerja sama dengan kami, meneleponku. Dia ada di depan pagar rumah. Katanya ingin bertamu. Kupersilahkan saja dia masuk. Aku pergi memanggil bunda. Yang kemudian membuat aku terkejut adalah, dia berkata kepada bunda, Kak Aluna adalah anaknya dengan bunda. Berarti, aku juga anaknya? Bunda memang sudah menceritakan kepadaku tentang ayah kami. Bagaimana bunda menyembunyikan kehamilannya, dan kemudian, melahirkan aku di kampung nenek. Dulu, aku pikir, jika aku bertemu ayahku, akan kusumpal mulutnya dengan uang. Bila perlu aku tendang, aku gebukin. Aku akan marah semarah-marahnya, dan aku akan pelintir tangannya, sambil menyuruh dia minta ampun sama bunda.Aku meracuni pikiranku, bahwa pria itu harus menerima perlakuan yang tidak baik dariku. Aku merespon se
Peganganku mengendur dari daun pintu. Aku masih sempat mendengar suara orang menjerit, memanggil namaku. Semuanya gelap. Aku pingsan. Samar terdengar suara berisik di sekitarku. Aku terbangun karena mendengar teriakan Talita. Ada apa dengannya? Bau obat menyeruak masuk indera penciumanku. Mataku yang baru saja terbuka, melihat ruangan yang di dominasi warna putih. Ini pasti rumah sakit. "Mas, kamu udah sadar," Talita menghentikan celotehannya, lalu mengalihkan perhatian kepadaku. "Kamu bawa aku ke rumah sakit?" lirihku. "Aku ditelepon sama Hilda. Kamu katanya pingsan di depan pintu, ada polisi juga di sana. Ada apa Mas?" Oh. Jadi jeritan tadi, dari Hilda? Aku menarik nafasku. Sesak kembali membuatku susah bernafas. Tenggorokanku tercekat. Pusing kembali mendera. "Mas," panggil Talita. "Kamu bisa ke kantor polisi sekarang Talita? Biar aku di sini, sendirian aja. Virgo asa di kantor polisi. Dia ditahan karena diduga, ikut mengedarkan narkoba," suaraku pelan, menjelaskan kepada
Mobil kami meluncur dengan mulus di jalan. Seandainya, jalan hidupku bisa semulus ini. Kami pulang ke rumah, setelah, menjanjikan kebebasan fiktif kepada Virgo. Mau bagaimana lagi? Jika tidak begitu, dia akan terus berteriak dan mengamuk, kepadaku. Caci maki, dengan gamblang keluar dari mulutnya. Umpatan dan kata-kata kasar, begitu licin di lidahnya. Saat Virgo masih kecil, aku menganggap umpatannya adalah hal yang lucu. Dia terlihat menggemaskan saat mengumpat orang lain. Petugas kepolisian, hanya geleng-geleng kepala, melihat kami yang tidak berkutik, di depan Virgo. Melisa dan Radit sudah menunggu kami dengan pertanyaan, saat pintu rumah terbuka. "Bagaimana Pa? Apa Virgo terlibat?" tanya Radit."Polisi punya buktinya. Dia terlibat. Papa mau istirahat dulu. Capek Nak." Aku menepuk punggung Radit pelan. "Tunggu Pa. Bagaimana dengan pendonor aku?" tanyanya lagi. Aku berbalik. Terpaksa, berdiri di samping Radit lagi. Memaksa tubuh yang belum sepenuhnya sehat ini, untuk menunda i
Ting. Ting. Ting. Bunyi pesan beruntun masuk ke ponselku. Melisa yang mengirimnya. Meski kepalaku masih terasa berat, namun, pesannya tetap aku buka juga. Foto? Mendownload. Loading. Foto Talita yang dipeluk dan dicium seorang pria, di lobi hotel. Aku langsung menelpon Melisa. "Kamu dapet dari mana foto ini, Sayang?"Suara isak tangis, menyambut ucapanku. "Pa. Aku sendiri yang ngambil fotonya. Aku ada di parkiran hotel sekarang,""Udah. Kamu tenang yah. Papa jemput sekarang. Jangan kemana-mana."Aku segera menutup penggilan. Menyambar jaket. Di ruang tamu, aku lihat Radit yamg sedang duduk melamun di samping jendela. "Dit, mau ikut Papa gak? Papa mau jemput Melisa,""Gak Pa. Nanti aku ngerepotin lagi. Aku mau di rumah aja." Dia menjawab, tanpa melihat kepadaku. "Kalo ada apa-apa, langsung telepon Papa yah."Dia mengangguk malas. Aku harus lebih gencar lagi mencari pendonor untuk Radit. Kasihan dia. Tidak lagi kulihat kebahagiaan di wajahnya. Mobil aku keluarkan dari garasi, lal
Tanah merah bertabur bunga, dan sinar mentari senja yang menyirami seluruh tanah pemakaman, angin semilir yang mulai dingin, dan isak tangis yang tak kunjung selesai. Aku duduk bersimpuh di samping nisan, bertuliskan nama anakku. Dia sudah pergi. Jauh. Sejauh harapanku untuknya. Wajahnya yang tampan, masih membayang di pelupuk mataku. Sinar mata yang redup, saat terakhir kali aku bicara dengannya di ruang tamu tadi pagi, masih segar di ingatanku. Aku tidak peka dengan kesendiriannya. Aku tidak pernah menemani sepinya.Aku hanya peduli dengan egoku. Aku hanya berfokus pada masalahku. Tanpa tau, anakku membutuhkan aku. Di hadapanku, Melisa duduk sambil meremas-remas bunga yang bertaburan di atas makam. Matanya bengkak. Tatapan matanya kosong. Aku menggenggam tangannya. "Ayo pulang Sayang. Bentar lagi maghrib,"TPU sudah kosong. Tinggal kami berdua saja. Entah siapa yang akan mengobati siapa. Kami sama-sama terluka. Melisa duduk di balik kemudi. "Biar aku yang nyetir. Jaraknya lumay
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa