Mobil kami meluncur dengan mulus di jalan. Seandainya, jalan hidupku bisa semulus ini. Kami pulang ke rumah, setelah, menjanjikan kebebasan fiktif kepada Virgo. Mau bagaimana lagi? Jika tidak begitu, dia akan terus berteriak dan mengamuk, kepadaku. Caci maki, dengan gamblang keluar dari mulutnya. Umpatan dan kata-kata kasar, begitu licin di lidahnya. Saat Virgo masih kecil, aku menganggap umpatannya adalah hal yang lucu. Dia terlihat menggemaskan saat mengumpat orang lain. Petugas kepolisian, hanya geleng-geleng kepala, melihat kami yang tidak berkutik, di depan Virgo. Melisa dan Radit sudah menunggu kami dengan pertanyaan, saat pintu rumah terbuka. "Bagaimana Pa? Apa Virgo terlibat?" tanya Radit."Polisi punya buktinya. Dia terlibat. Papa mau istirahat dulu. Capek Nak." Aku menepuk punggung Radit pelan. "Tunggu Pa. Bagaimana dengan pendonor aku?" tanyanya lagi. Aku berbalik. Terpaksa, berdiri di samping Radit lagi. Memaksa tubuh yang belum sepenuhnya sehat ini, untuk menunda i
Ting. Ting. Ting. Bunyi pesan beruntun masuk ke ponselku. Melisa yang mengirimnya. Meski kepalaku masih terasa berat, namun, pesannya tetap aku buka juga. Foto? Mendownload. Loading. Foto Talita yang dipeluk dan dicium seorang pria, di lobi hotel. Aku langsung menelpon Melisa. "Kamu dapet dari mana foto ini, Sayang?"Suara isak tangis, menyambut ucapanku. "Pa. Aku sendiri yang ngambil fotonya. Aku ada di parkiran hotel sekarang,""Udah. Kamu tenang yah. Papa jemput sekarang. Jangan kemana-mana."Aku segera menutup penggilan. Menyambar jaket. Di ruang tamu, aku lihat Radit yamg sedang duduk melamun di samping jendela. "Dit, mau ikut Papa gak? Papa mau jemput Melisa,""Gak Pa. Nanti aku ngerepotin lagi. Aku mau di rumah aja." Dia menjawab, tanpa melihat kepadaku. "Kalo ada apa-apa, langsung telepon Papa yah."Dia mengangguk malas. Aku harus lebih gencar lagi mencari pendonor untuk Radit. Kasihan dia. Tidak lagi kulihat kebahagiaan di wajahnya. Mobil aku keluarkan dari garasi, lal
Tanah merah bertabur bunga, dan sinar mentari senja yang menyirami seluruh tanah pemakaman, angin semilir yang mulai dingin, dan isak tangis yang tak kunjung selesai. Aku duduk bersimpuh di samping nisan, bertuliskan nama anakku. Dia sudah pergi. Jauh. Sejauh harapanku untuknya. Wajahnya yang tampan, masih membayang di pelupuk mataku. Sinar mata yang redup, saat terakhir kali aku bicara dengannya di ruang tamu tadi pagi, masih segar di ingatanku. Aku tidak peka dengan kesendiriannya. Aku tidak pernah menemani sepinya.Aku hanya peduli dengan egoku. Aku hanya berfokus pada masalahku. Tanpa tau, anakku membutuhkan aku. Di hadapanku, Melisa duduk sambil meremas-remas bunga yang bertaburan di atas makam. Matanya bengkak. Tatapan matanya kosong. Aku menggenggam tangannya. "Ayo pulang Sayang. Bentar lagi maghrib,"TPU sudah kosong. Tinggal kami berdua saja. Entah siapa yang akan mengobati siapa. Kami sama-sama terluka. Melisa duduk di balik kemudi. "Biar aku yang nyetir. Jaraknya lumay
Mendengar suaraku, Melisa menghentak tangan satpam yang memegang tangannya. Lalu berlari berlindung padaku. "Apa yang terjadi? Kenapa anak saya diseret-seret seperti ini Pak?" tanyaku, geram. "Tanya saja sendiri sama dia. Sejak tadi, dia terus berteriak-teriak mencari Nona Anatasya. Kami sudah bilang, beliau itu, cuma datang satu bulan satu kali kesini, itupun hanya sebentar. Anak Bapak ngeyel sih. Ini bukan pasar Pak. Tolong bawa anak Bapak pulang!" tegas satpam tersebut. Aku menoleh ke belakang. Menatap Melisa, yang menunduk ketakutan. "Yah sudah Pak. Kami permisi. Maaf sudah mengganggu." "Ayo ikut Papa."Melisa berjalan mengikutiku, masuk ke mobil. "Kamu kenapa Sayang? Ngapain cari Anatasya ke situ?" "Tadi aku lihat postingannya di ig. Dia ada di dalam Papa. Sama adeknya."Melisa menunjukkan ponselnya. Benar. Baru dua puluh menit yang lalu. Kemungkinan besar, mereka masih ada di dalam gedung itu. Mereka benar-benar tidak mau berurusan dengan keluargaku. Keluarga mereka send
Seperti apapun penjelasan Hilda, tidak masuk akal bagiku. Aku jadi mainan di antara dua saudara ini. Mereka pikir, aku adalah mahkluk tak berperasaan begitu? "Aku tunggu kamu lima menit di luar Hilda. Cepat pergi, sebelum Melisa bangun," pintaku, sambil, melangkah keluar kamar. Aku ke dapur. Minum satu gelas air hangat, di pagi hari, membuat tubuh terasa fresh. Beranjak ke kulkas. Aku mengambil bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. "Hilda? Ngapain kamu di sini, jam segini?" aku dengar Talita bertanya. Ah. Urusan kalian itu. "Aku? Aku tadi dari kamar Mas Surya. Emangnya kenapa, Mbak?""Ngapain?" "Yah, Mbak mikir aja sendiri, kalo jam segini aku keluar dari kamar, aku habis ngapain," santai, Hilda menjawab Talita. Aku penasaran, hanya mendengar suara mereka. Dengan pelan aku berjalan mendekat. Bersandar di dinding, sambil memainkan penutup botol kecap di tanganku. Hilda berdiri berhadapan dengan Talita. Rambutnya masih awut-awutan. Tidak ada niat dia merapikannya. Untung saja, k
"Kalian bertiga ikut Bunda sama Papa aja. Bunda gak enak ninggalin kalian sendiri di sini, tanpa ada yang mengawasi." Anaya yang sedari tadi membujuk Aluna dan Anatasya, tampak mulai kesal. Anatasya, mengoleskan selai kacang ke roti bakarnya. Sambil memasukkan dua potong lagi, untuk di bakar. "Nanti aja Bun. Papa sama Bunda aja, yang sering-sering ke sini. Aku gak mau ninggalin rumah ini, Bunda. Banyak kenangannya. Rumah hasil kerja keras kita sama-sama." ujar Anatasya. Ting. Roti bakar masak. Aluna mengambil dua potong. Memberi toping abon sapi dan mayonais."Kak. Ayo dong ngomong," desak Anaya, pada putri sulungnya itu. "Bunda. Aku juga tinggal di sini yah, bareng Acha. Kan ada si bontot. Nanti dia yang jagain kita mah. Bunda gak usah kuatir." Anatasya tersenyum manis pada kakaknya. Merasa menang ada yang membela. Mereka memang anak-anak yang mandiri. Walaupun mereka sudah dewasa, dan tentunya sangat bisa melindungi diri sendiri, namun, Anaya sangat keberatan membiarkan mereka
Arga menatap heran preman plontos dan teman-temannya. "Kalau saya boleh tau, maksud kamu apa, dengan bilang berhutang nyawa sama kakak saya?"Si plontos ini tidak langsung menjawab. Tapi malah memperhatikan Arga dari ujung rambut, sampai ujung kakinya. "Kamu adiknya Kak Luna?" tanyanya. "Ia. Adik bungsunya. Kenalkan saya Arga." Dengan santai, Arga mengulurkan tangannya. Langsung saja disambut si plontos. "Maaf yah. Kami ini hanya di sewa orang. Gak bener-bener pengen ngerampok kok. Kak Luna selalu ngasih duit cukup buat kami dan keluarga. Istri saya gak kekurangan uang belanja dan gamis yang bagus. Kak Luna memperhatikan kami, layaknya keluarga sendiri. Bahkan sejak saya masih remaja."Anaya dan Arga saling pandang. Mereka tidak menyangka Aluna punya teman-teman preman, yang dia nafkahi. Lagi si plontos berkata. "Tolong jangan kasih tau Kak Luna yah. Takutnya, nanti dia murka sama saya. Habislah saya dia goreng." Meski kata-katanya terdengar lucu, namun, melihat wajah serius si
"Kamu itu gimana sih? Survei kamu tentang Anaya itu kurang banget tau gak. Kamu belum tau aja, kalo keluarga mereka itu keluarga yang luar biasa." Alex meradang. Menatap wanita di depannya yang terlihat begitu santai, dengan apa yang baru saja dilalui Alex. "Sekali lagi kamu muji itu perempuan, aku bikin kamu gak bisa bicara seumur hidup.""Kerjaanmu hanya ngancem aja. Kalo kamu berani, ngapain harus minta aku y.ang jadi umpan? Sebenarnya, kamu takut kan, berurusan langsung sama Anaya?" Wanita itu tertawa. "Apa? Niken Asharya takut sama orang? Gak mungkin. Aku hanya ingin mempermainkan Anaya.""Tapi kenyataannya, malah kita yang dipermainkan." Geram Alex. Bagaimana tidak. Malunya sudah menggunung, saat proposalnya ditolak dengan tegas oleh Anaya. "Aku akui, terlalu memandang rendah, wanita lulusan SMA itu. Ternyata, dia lebih teliti dari yang kita duga. Anaknya juga. Makanya, kamu harus bisa, mengambil hati si dokter itu. Buat dia klepek-klepek sama kamu. Lalu serang Anaya, lewat