Aku mengutarakan keinginanku untuk membuka bisnis kuliner, kepada Talita. Jawabannya sungguh di luar dugaanku. "Bisnis yang ini aja, kamu udah mau koit, mau buka bisnis kuliner. Udah gak usah macem-macem Mas."Huh. Salahku juga minta pendapat Talita. Dia tau apa tentang bisnis. Apalagi kuliner. Dia kan hanya tau menghabiskan uangku. Seminggu kemudian, ibuku datang ke rumah kami. Dengan koper besar, plus muka cemberut. Akhir-akhir ini, semua orang hobi sekali membebaniku dengan uang nafkah.Tidak taukah mereka, aku sudah tidak seperti dulu. Uangku habis, demi membiayai gaya mereka. Ibuku ini juga. Usia sudah uzur, bukannya berhijab dan berusaha hidup baik, ini malah berpakaian seperti artis-artis korea. Dengan rok payung mini, dan blous ketat. Tubuhnya yang keriput sana sini, sungguh sangat tidak enak di pandang mata. "Ibu mau tinggal bareng kamu Surya Anggara. Jangan jadi anak durhaka. Kau pikir, uang dua juta sebulan cukup untuk Ibu? Ibu tinggal di sini, kamu kasih makan Ibu, tap
Aku pulang ke rumah dengan hati yang amat sangat kecewa. Dan selama satu minggu ini, aku uring-uringan. Tidak ada satupun pekerjaanku yang beres. Proyek aku minta ditangani Jonathan dan Joshua. Aku membawa ibu ke rumah sakit. Setelah tau ibu menderita alzaimer, aku memulangkan beliau ke rumah tua kami, Sari yang akan menjaga ibu. Bagaimana bisa ibu tinggal denganku? Talita tidak pernah ikhlas dengan ibuku. Aku maklumi sikap Talita. Dia tidak ikhlas melayani ibu, karena ibu selalu memanggil dia, Anaya. Sering ibu membentak Talita, seperti dulu membentak Anaya. Masakan kurang garam lah, kurang manis lah, kurang bumbu lah. Rumah belom bersih ini. Sapu lagi, pel lagi. Pakaian kurang harum ini. Kusut lagi. Tau strikaan gak? Anaya ... Talita yang terbiasa kumanja, yang tidak terbiasa dibentak. Mau bangun jam berapa pun, aku biarkan. Kadang sarapan di kantor. Makan siang di restoran, makan malam, pesan online. Dan setelah kami pindah, dia mulai masak, mulai bisa cuci dan setrika pakaia
POV ArgaMalam pertemuan para pebisnis, teman bunda, diadakan di rumah kami. Orang kaya lama mah begitu. Sederhana. Bukan hotel berbintang tapi rumah salah satu rekannya. Kek arisan emak-emak aja. Pak Surya, seorang pengusaha yang bekerja sama dengan kami, meneleponku. Dia ada di depan pagar rumah. Katanya ingin bertamu. Kupersilahkan saja dia masuk. Aku pergi memanggil bunda. Yang kemudian membuat aku terkejut adalah, dia berkata kepada bunda, Kak Aluna adalah anaknya dengan bunda. Berarti, aku juga anaknya? Bunda memang sudah menceritakan kepadaku tentang ayah kami. Bagaimana bunda menyembunyikan kehamilannya, dan kemudian, melahirkan aku di kampung nenek. Dulu, aku pikir, jika aku bertemu ayahku, akan kusumpal mulutnya dengan uang. Bila perlu aku tendang, aku gebukin. Aku akan marah semarah-marahnya, dan aku akan pelintir tangannya, sambil menyuruh dia minta ampun sama bunda.Aku meracuni pikiranku, bahwa pria itu harus menerima perlakuan yang tidak baik dariku. Aku merespon se
Peganganku mengendur dari daun pintu. Aku masih sempat mendengar suara orang menjerit, memanggil namaku. Semuanya gelap. Aku pingsan. Samar terdengar suara berisik di sekitarku. Aku terbangun karena mendengar teriakan Talita. Ada apa dengannya? Bau obat menyeruak masuk indera penciumanku. Mataku yang baru saja terbuka, melihat ruangan yang di dominasi warna putih. Ini pasti rumah sakit. "Mas, kamu udah sadar," Talita menghentikan celotehannya, lalu mengalihkan perhatian kepadaku. "Kamu bawa aku ke rumah sakit?" lirihku. "Aku ditelepon sama Hilda. Kamu katanya pingsan di depan pintu, ada polisi juga di sana. Ada apa Mas?" Oh. Jadi jeritan tadi, dari Hilda? Aku menarik nafasku. Sesak kembali membuatku susah bernafas. Tenggorokanku tercekat. Pusing kembali mendera. "Mas," panggil Talita. "Kamu bisa ke kantor polisi sekarang Talita? Biar aku di sini, sendirian aja. Virgo asa di kantor polisi. Dia ditahan karena diduga, ikut mengedarkan narkoba," suaraku pelan, menjelaskan kepada
Mobil kami meluncur dengan mulus di jalan. Seandainya, jalan hidupku bisa semulus ini. Kami pulang ke rumah, setelah, menjanjikan kebebasan fiktif kepada Virgo. Mau bagaimana lagi? Jika tidak begitu, dia akan terus berteriak dan mengamuk, kepadaku. Caci maki, dengan gamblang keluar dari mulutnya. Umpatan dan kata-kata kasar, begitu licin di lidahnya. Saat Virgo masih kecil, aku menganggap umpatannya adalah hal yang lucu. Dia terlihat menggemaskan saat mengumpat orang lain. Petugas kepolisian, hanya geleng-geleng kepala, melihat kami yang tidak berkutik, di depan Virgo. Melisa dan Radit sudah menunggu kami dengan pertanyaan, saat pintu rumah terbuka. "Bagaimana Pa? Apa Virgo terlibat?" tanya Radit."Polisi punya buktinya. Dia terlibat. Papa mau istirahat dulu. Capek Nak." Aku menepuk punggung Radit pelan. "Tunggu Pa. Bagaimana dengan pendonor aku?" tanyanya lagi. Aku berbalik. Terpaksa, berdiri di samping Radit lagi. Memaksa tubuh yang belum sepenuhnya sehat ini, untuk menunda i
Ting. Ting. Ting. Bunyi pesan beruntun masuk ke ponselku. Melisa yang mengirimnya. Meski kepalaku masih terasa berat, namun, pesannya tetap aku buka juga. Foto? Mendownload. Loading. Foto Talita yang dipeluk dan dicium seorang pria, di lobi hotel. Aku langsung menelpon Melisa. "Kamu dapet dari mana foto ini, Sayang?"Suara isak tangis, menyambut ucapanku. "Pa. Aku sendiri yang ngambil fotonya. Aku ada di parkiran hotel sekarang,""Udah. Kamu tenang yah. Papa jemput sekarang. Jangan kemana-mana."Aku segera menutup penggilan. Menyambar jaket. Di ruang tamu, aku lihat Radit yamg sedang duduk melamun di samping jendela. "Dit, mau ikut Papa gak? Papa mau jemput Melisa,""Gak Pa. Nanti aku ngerepotin lagi. Aku mau di rumah aja." Dia menjawab, tanpa melihat kepadaku. "Kalo ada apa-apa, langsung telepon Papa yah."Dia mengangguk malas. Aku harus lebih gencar lagi mencari pendonor untuk Radit. Kasihan dia. Tidak lagi kulihat kebahagiaan di wajahnya. Mobil aku keluarkan dari garasi, lal
Tanah merah bertabur bunga, dan sinar mentari senja yang menyirami seluruh tanah pemakaman, angin semilir yang mulai dingin, dan isak tangis yang tak kunjung selesai. Aku duduk bersimpuh di samping nisan, bertuliskan nama anakku. Dia sudah pergi. Jauh. Sejauh harapanku untuknya. Wajahnya yang tampan, masih membayang di pelupuk mataku. Sinar mata yang redup, saat terakhir kali aku bicara dengannya di ruang tamu tadi pagi, masih segar di ingatanku. Aku tidak peka dengan kesendiriannya. Aku tidak pernah menemani sepinya.Aku hanya peduli dengan egoku. Aku hanya berfokus pada masalahku. Tanpa tau, anakku membutuhkan aku. Di hadapanku, Melisa duduk sambil meremas-remas bunga yang bertaburan di atas makam. Matanya bengkak. Tatapan matanya kosong. Aku menggenggam tangannya. "Ayo pulang Sayang. Bentar lagi maghrib,"TPU sudah kosong. Tinggal kami berdua saja. Entah siapa yang akan mengobati siapa. Kami sama-sama terluka. Melisa duduk di balik kemudi. "Biar aku yang nyetir. Jaraknya lumay
Mendengar suaraku, Melisa menghentak tangan satpam yang memegang tangannya. Lalu berlari berlindung padaku. "Apa yang terjadi? Kenapa anak saya diseret-seret seperti ini Pak?" tanyaku, geram. "Tanya saja sendiri sama dia. Sejak tadi, dia terus berteriak-teriak mencari Nona Anatasya. Kami sudah bilang, beliau itu, cuma datang satu bulan satu kali kesini, itupun hanya sebentar. Anak Bapak ngeyel sih. Ini bukan pasar Pak. Tolong bawa anak Bapak pulang!" tegas satpam tersebut. Aku menoleh ke belakang. Menatap Melisa, yang menunduk ketakutan. "Yah sudah Pak. Kami permisi. Maaf sudah mengganggu." "Ayo ikut Papa."Melisa berjalan mengikutiku, masuk ke mobil. "Kamu kenapa Sayang? Ngapain cari Anatasya ke situ?" "Tadi aku lihat postingannya di ig. Dia ada di dalam Papa. Sama adeknya."Melisa menunjukkan ponselnya. Benar. Baru dua puluh menit yang lalu. Kemungkinan besar, mereka masih ada di dalam gedung itu. Mereka benar-benar tidak mau berurusan dengan keluargaku. Keluarga mereka send