Talita POVSatu hal yang selalu aku syukuri. Allah memberikanku fisik yang sempurna. Tinggi, langsing, kulit putih, hidung bangir, rambut hitam legam dan lebat. Wajahku sempurna. Cantik dan menawan. Sedari sekolah menengah pertama, sudah banyak teman-teman pria yang menyukaiku. Mereka bilang aku seperti boneka barbie. Yah. Aku akui itu. Setelah kuliah, aku bertemu dengan seorang pria yang lumayan ganteng menurutku. Dia begitu antusias saat aku menerima pernyataan cintanya. Keadaan ekonomi keluarganya, yang hanya kelas menengah, membuat aku tidak bisa melanjutkan hubungan lebih serius dengannya. Wajar kan? Dengan modal wajah seperti ini, aku harus dapat crazy rich di negara ini. Dan, tentu saja aku berhasil.Seorang pria kaya raya, menyatakan cinta kepadaku. Pacaran kami melebihi batas. Bahkan menginap di hotel dan tidur bareng adalah kegiatan kami menghabiskan libur weekend. Aku difasilitasi dengan lengkap. Mobil, perhiasan, kartu kredit dan tentu saja liburan mewah. Hidupku sem
Waktu untuk temu fans itu tiba. Aku membujuk Melisa supaya mau ikut denganku. Sebenarnya dia enggan. Dia mau bertemu Anatasya secara pribadi saja katanya. Nanti bisa ambil foto, dan diupload di akun instagramnya. Sebegitu sukanya dia, sama adiknya itu. Sayangnya, Anatasya, terlalu sombong, hingga harus membuat jadwal dulu, untuk bertemu Melisa.Akhirnya setelah lama aku bujuk, saat ini, dia sudah duduk denganku di mobil. Aku menyetir dengan pelan dan hati-hati. Aula perusahaan sudah full dengan anak muda. Laki-laki dan perempuan. Memenuhi seluruh kursi. Bahkan ada yang belum kebagian kursi. Sebanyak ini, fansnya Anatasya. Di depan sana, dibuat seperti panggung rendah. Ada kursi sofa berderet. Dengan dekorasi kekinian. Balon serta bunga-bunga. "Hai semuanya. Pasti udah pada kangen sama Acha yah. Bentar lagi. Anaknya lagi maem. Gak sempet sarapan tadi katanya. Kakaknya, ngabisin ikan tongkol buatan Bunda Naya, jadi dia ngambek. Minta dibikinin lagi. Eh. Bunda malah udah berangkat k
Aku mengutarakan keinginanku untuk membuka bisnis kuliner, kepada Talita. Jawabannya sungguh di luar dugaanku. "Bisnis yang ini aja, kamu udah mau koit, mau buka bisnis kuliner. Udah gak usah macem-macem Mas."Huh. Salahku juga minta pendapat Talita. Dia tau apa tentang bisnis. Apalagi kuliner. Dia kan hanya tau menghabiskan uangku. Seminggu kemudian, ibuku datang ke rumah kami. Dengan koper besar, plus muka cemberut. Akhir-akhir ini, semua orang hobi sekali membebaniku dengan uang nafkah.Tidak taukah mereka, aku sudah tidak seperti dulu. Uangku habis, demi membiayai gaya mereka. Ibuku ini juga. Usia sudah uzur, bukannya berhijab dan berusaha hidup baik, ini malah berpakaian seperti artis-artis korea. Dengan rok payung mini, dan blous ketat. Tubuhnya yang keriput sana sini, sungguh sangat tidak enak di pandang mata. "Ibu mau tinggal bareng kamu Surya Anggara. Jangan jadi anak durhaka. Kau pikir, uang dua juta sebulan cukup untuk Ibu? Ibu tinggal di sini, kamu kasih makan Ibu, tap
Aku pulang ke rumah dengan hati yang amat sangat kecewa. Dan selama satu minggu ini, aku uring-uringan. Tidak ada satupun pekerjaanku yang beres. Proyek aku minta ditangani Jonathan dan Joshua. Aku membawa ibu ke rumah sakit. Setelah tau ibu menderita alzaimer, aku memulangkan beliau ke rumah tua kami, Sari yang akan menjaga ibu. Bagaimana bisa ibu tinggal denganku? Talita tidak pernah ikhlas dengan ibuku. Aku maklumi sikap Talita. Dia tidak ikhlas melayani ibu, karena ibu selalu memanggil dia, Anaya. Sering ibu membentak Talita, seperti dulu membentak Anaya. Masakan kurang garam lah, kurang manis lah, kurang bumbu lah. Rumah belom bersih ini. Sapu lagi, pel lagi. Pakaian kurang harum ini. Kusut lagi. Tau strikaan gak? Anaya ... Talita yang terbiasa kumanja, yang tidak terbiasa dibentak. Mau bangun jam berapa pun, aku biarkan. Kadang sarapan di kantor. Makan siang di restoran, makan malam, pesan online. Dan setelah kami pindah, dia mulai masak, mulai bisa cuci dan setrika pakaia
POV ArgaMalam pertemuan para pebisnis, teman bunda, diadakan di rumah kami. Orang kaya lama mah begitu. Sederhana. Bukan hotel berbintang tapi rumah salah satu rekannya. Kek arisan emak-emak aja. Pak Surya, seorang pengusaha yang bekerja sama dengan kami, meneleponku. Dia ada di depan pagar rumah. Katanya ingin bertamu. Kupersilahkan saja dia masuk. Aku pergi memanggil bunda. Yang kemudian membuat aku terkejut adalah, dia berkata kepada bunda, Kak Aluna adalah anaknya dengan bunda. Berarti, aku juga anaknya? Bunda memang sudah menceritakan kepadaku tentang ayah kami. Bagaimana bunda menyembunyikan kehamilannya, dan kemudian, melahirkan aku di kampung nenek. Dulu, aku pikir, jika aku bertemu ayahku, akan kusumpal mulutnya dengan uang. Bila perlu aku tendang, aku gebukin. Aku akan marah semarah-marahnya, dan aku akan pelintir tangannya, sambil menyuruh dia minta ampun sama bunda.Aku meracuni pikiranku, bahwa pria itu harus menerima perlakuan yang tidak baik dariku. Aku merespon se
Peganganku mengendur dari daun pintu. Aku masih sempat mendengar suara orang menjerit, memanggil namaku. Semuanya gelap. Aku pingsan. Samar terdengar suara berisik di sekitarku. Aku terbangun karena mendengar teriakan Talita. Ada apa dengannya? Bau obat menyeruak masuk indera penciumanku. Mataku yang baru saja terbuka, melihat ruangan yang di dominasi warna putih. Ini pasti rumah sakit. "Mas, kamu udah sadar," Talita menghentikan celotehannya, lalu mengalihkan perhatian kepadaku. "Kamu bawa aku ke rumah sakit?" lirihku. "Aku ditelepon sama Hilda. Kamu katanya pingsan di depan pintu, ada polisi juga di sana. Ada apa Mas?" Oh. Jadi jeritan tadi, dari Hilda? Aku menarik nafasku. Sesak kembali membuatku susah bernafas. Tenggorokanku tercekat. Pusing kembali mendera. "Mas," panggil Talita. "Kamu bisa ke kantor polisi sekarang Talita? Biar aku di sini, sendirian aja. Virgo asa di kantor polisi. Dia ditahan karena diduga, ikut mengedarkan narkoba," suaraku pelan, menjelaskan kepada
Mobil kami meluncur dengan mulus di jalan. Seandainya, jalan hidupku bisa semulus ini. Kami pulang ke rumah, setelah, menjanjikan kebebasan fiktif kepada Virgo. Mau bagaimana lagi? Jika tidak begitu, dia akan terus berteriak dan mengamuk, kepadaku. Caci maki, dengan gamblang keluar dari mulutnya. Umpatan dan kata-kata kasar, begitu licin di lidahnya. Saat Virgo masih kecil, aku menganggap umpatannya adalah hal yang lucu. Dia terlihat menggemaskan saat mengumpat orang lain. Petugas kepolisian, hanya geleng-geleng kepala, melihat kami yang tidak berkutik, di depan Virgo. Melisa dan Radit sudah menunggu kami dengan pertanyaan, saat pintu rumah terbuka. "Bagaimana Pa? Apa Virgo terlibat?" tanya Radit."Polisi punya buktinya. Dia terlibat. Papa mau istirahat dulu. Capek Nak." Aku menepuk punggung Radit pelan. "Tunggu Pa. Bagaimana dengan pendonor aku?" tanyanya lagi. Aku berbalik. Terpaksa, berdiri di samping Radit lagi. Memaksa tubuh yang belum sepenuhnya sehat ini, untuk menunda i
Ting. Ting. Ting. Bunyi pesan beruntun masuk ke ponselku. Melisa yang mengirimnya. Meski kepalaku masih terasa berat, namun, pesannya tetap aku buka juga. Foto? Mendownload. Loading. Foto Talita yang dipeluk dan dicium seorang pria, di lobi hotel. Aku langsung menelpon Melisa. "Kamu dapet dari mana foto ini, Sayang?"Suara isak tangis, menyambut ucapanku. "Pa. Aku sendiri yang ngambil fotonya. Aku ada di parkiran hotel sekarang,""Udah. Kamu tenang yah. Papa jemput sekarang. Jangan kemana-mana."Aku segera menutup penggilan. Menyambar jaket. Di ruang tamu, aku lihat Radit yamg sedang duduk melamun di samping jendela. "Dit, mau ikut Papa gak? Papa mau jemput Melisa,""Gak Pa. Nanti aku ngerepotin lagi. Aku mau di rumah aja." Dia menjawab, tanpa melihat kepadaku. "Kalo ada apa-apa, langsung telepon Papa yah."Dia mengangguk malas. Aku harus lebih gencar lagi mencari pendonor untuk Radit. Kasihan dia. Tidak lagi kulihat kebahagiaan di wajahnya. Mobil aku keluarkan dari garasi, lal