Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat.
Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung.Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi."Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya.Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit.Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor untuk Radit jika kami memberi mereka sedikit uang.Aku lupa, jika apa saja bisa terjadi selama tiga belas tahun. Bahkan sekarang, aku gagal bangkrut karena uang dari mereka. Memalukan.Jika aku utarakan maksudku untuk meminta Aluna atau Anatasya menjadi pendonor, apakah mereka akan mau? Sekarang saja, mereka tidak mengenali aku.Mereka sangat susah untuk dijangkau. Sungguh tidak bisa kusentuh.Di sandaran kursi mobil, aku menyandarkan kepalaku. Dengan mata terpejam. Mengingat, bagaimana aku memperlakukan Anaya."Mas. Aku sudah tidak mempermasalahkan pernikahan keduamu itu. Lalu mengapa kau mau menceraikan aku? Apa salahku?""Talita sudah tak tahan denganmu Anaya. Dengan adanya kamu dan anak-anakmu, keuanganku harus terbagi juga. Dari pada kehilangan Talita, aku lebih memilih menceraikanmu!"Anaya hanya tertunduk dalam isak tangisnya.Tet.. Tet.. Klakson bus membuyarkan lamunanku.***"Gimana? Kamu gak jadi bangkrut kan Mas? Kalo udah dapet uang, aku minta jatah bulananku. Udah lama aku gak belanja!" Talita memberondongku dengan pertanyaan, saat aku masuk ke dalam ruangan Melisa.Melisa sudah tampak membaik. Aku belum bisa mencerca dia dengan banyak pertanyaan. Takutnya, dia malah stress lagi."Apa kata Dokter mengenai kesehatan Melisa?" aku jawab pertanyaan Talita dengan pertanyaan juga. Dia selalu seperti itu. Uang dan uang. Aku sudah berjanji dalam hatiku. Tak akan aku biarkan Talita merongrong uang perusahaan."Mas. Jawab dulu pertanyaanku!""Apa yang harus aku jawab Talita? Aku memang mendapatkan suntikan dana. Tapi itu hanya untuk satu buah proyek. Kau hanya akan mendapatkan jatah 3juta untuk keperluan rumah. Berhematlah jika tidak mau jadi gelandangan. Rumah yang kita tempati akan aku jual untuk tambahan modal. Kita akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Terima atau tidak, terserah kau!" untuk bertahun-tahun lamanya, baru sekarang aku berani mengambil sikap tegas kepada istri dolarku itu."Apa maksudmu Mas? 3juta? Bahkan itu hanya untuk uang jajan Virgo. Kau mau membunuh kami? Bagaimana dengan keperluan Melisa, keperluanku. Bapak dan Ibuku, adik-adikku?""Aku tidak tau Talita. Atur uang itu agar cukup. Jangan beri jajan anak-anakmu. Berikan uang seadanya sama keluargamu. Beri pengertian kepada mereka, bagaimana keadaan ekonomi kita sekarang!""Mana bisa begitu Mas. Mereka tanggung jawab aku. Aku gak mau tau yah. Uang bulanan aku harus tetap stabil. Tidak ada pengurangan!""Baguslah kalau kamu sadar. Jika mereka adalah tanggung jawabmu, maka bertanggung jawablah Talita! Kamu kan gak bisa cari uang. Aku saranin, jual aja perhiasan dan tas-tas brandedmu itu. Penuhi kebutuhan keluargamu.""Saran kek apa itu Mas? Masa aku harus jual perhiasanku. Gak akan!""Yah udah. Cukupkan kebutuhan rumah dan keluargamu dengan 3juta itu!"***"Mbak Melisa, saya periksa dulu yah." suara lembut itu membangunkanku yang tertidur di sofa ruangan inap Melisa.Dua orang suster dan dua orang dokter sedang memeriksa Melisa. Talita duduk di samping ranjang Melisa, mengamati para dokter muda itu bekerja."Keadaan Mbak sudah lebih baik. Minum obat teratur, dan jangan stress yah. Besok sore, Mbak sudah boleh pulang."Aku senang Melisa cepat pulih. Dan lebih senang lagi karena yang memeriksa Melisa adalah Aluna.Gegas aku berdiri saat rombongan para medis itu hendak keluar ruangan."Dokter Aluna, bisa minta waktu sebentar?" dengan cepat aku menahannya.Teman-temannya sudah keluar ruangan. Aluna berdiri menungguku. Setelan jas putih di tubuhnya, membuat wajah manisnya, kian terlihat berkharisma.Senyum manis milik Anaya di wajahnya, semakin membuat dia mempesona. Aluna memang mirip sekali dengan Anaya."Ada yang bisa saya bantu Pak? Pasien saya banyak pagi ini." Dia melirik jam yang melingkar di lengannya."Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepada Dokter. Bisakah nanti sore, kita minum kopi di cafe depan. Saya yang traktir.""Saya tidak bisa janji Pak. Sebenarnya, nanti sore saya ada acara keluarga, yang tidak bisa saya tinggalkan.""Oh. Jadi, kapan Dokter punya waktu?""Saya belum tau Pak. Jadwal saya padat. Maaf, saya harus pergi. Selamat pagi Pak."Aku menatap tubuh anakku itu menjauh dariku. Betapa kau tidak dapat ayah jangkau nak. Kau, adikmu, ibumu. Ah ... Aku menyugar rambutku.Saat berbalik, aku melihat Melisa dan Talita menatapku dengan tatapan tajam."Wah. Sudah berani bikin janji dengan wanita muda di depan istri sendiri kamu Mas," cerocos Talita."Jangan curiga yang tidak-tidak Talita. Memangnya kau tidak memperhatikan Dokter itu dengan seksama? Dia adalah Aluna. Anak sulungku dengan Anaya. Aku ingin bertemu dengannya karena mau bertanya tentang Radit. Bukannya kita sudah lama mencari mereka?"Talita membekap mulutnya dengan ekspresi kaget yang luar biasa berlebihan."Dokter tadi anak Anaya? Ah ... Masa sih Mas? Kamu gak salah orang kan? Masa anak Anaya bisa menjadi Dokter? Apa Anaya sudah menikah lagi? Dari mana kamu tau Mas?""Aku sudah menemukan Anaya dan anak-anaknya.""Baguslah. Jadi, kita akan minta salah satu dari mereka untuk mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit kan?" senyum Talita mengembang.Aku menarik nafas berat. Keadaan sungguh berbeda sekarang. Jangankan meminta mendonorkan sumsum tulang belakang, untuk bicara dengan mereka saja, aku tidak memiliki cela."Entahlah Talita. Mereka berbeda sekarang. Kau tau? Uang yang aku dapatkan untuk perusahaan adalah uang Anaya. Uang dari perusahaan yang di pimpin Anaya. Anaya adalah seorang CEO sekarang. Mereka bukan lagi orang miskin. Sangat susah untuk aku jangkau."Aku menunduk. Rasa sesal dan kesedihan membaur menjadi satu. Ingin sekali ngotot di depan Anaya, dengan alasan, Aluna dan Anatasya adalah darah dagingku, namun, saat mendapati respon Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku, bahkan membangun tembok pembatas yang tinggi, membuatku menyadari, mereka tidak ingin menjalin hubungan denganku, ayah mereka."Luar biasa yah si Burik itu. Aku yakin dia menikah dengan pria kaya, dengan jalan guna-guna atau pelet. Pria mana coba yang suka sama janda anak dua, dengan tampang pas-pasan seperti Anaya?""Jangan bicara sembarangan Talita. Nanti kau akan malu sendiri.""Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P
Suksesnya Aluna dan Anatasya, berpengaruh juga pada bisnisku. Ada beberapa crazy rich, yang tertarik saat mengetahui, aku adalah seorang singel parents. Jadilah, aku mendapatkan investor dari beberapa di antara mereka. Perusahaanku berkembang dengan pesat. Menjadikan kehidupan beranjak naik ke puncak kesuksesan. Setelah Arga lulus SMA, aku memintanya untuk masuk ke perusahaan. Membantu sebisa dia. Mataku tidak salah melihat. Arga punya jiwa bisnis yang mumpuni. Sambil kuliah, dia membantuku mengatur manajemen. Dugaanku tepat. Manager perusahaan berkata, kualitas Arga akan bertambah setelah dia lulus kuliah nanti. Dan itu terbukti. Setiap proyek yang dia tangani, selalu gol. Kami memenangkan tender di mana-mana. Ibu dan bapak di kampung, kami fasilitasi juga. Aku membantu pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan di sana. Aluna menjadwalkan untuk selalu menengok kampung neneknya. Ketiga anakku sering bertanya tentang perasaan pribadiku, "Apa Bunda gak kepengen nikah lagi?" Aku ha
Surya POVTalita sampai di rumah, setelah waktu isya selesai. Dia tersenyum sumringah mendapati rumah yang bersih dan tertata. "Mas. Kamu panggil Mbok Narsih? Akhirnya. Kan sudah aku bilang, lebih baik ada Mbok Narsih. Semua jadi beres kan?" "Ia. Akulah Mbok Narsihnya, Nyonya Talita. Aku dan Radit yang membersihkan rumah. Aku sudah belanja, semua keperluan dapur dan isi kulkas sudah lengkap. Seprei dan gorden pun sudah di ganti. Lanjutkan saja kegiatanmu. Jangan pedulikan kami Nyonya. Jika suatu hari nanti, kamu pulang keluyuran, dan tidak mendapati kami, jangan cari kami lagi!" Aku bicara sambil terus menatap layar tv. Aku dapat informasi dari Jonathan dan Joshua, jika acara konferensi pers Anatasya akan tayang malam ini. Talita mencebik. "Maafkan aku Mas. Tadi tuh ulang tahun salah satu temanku. Kami sudah menjadwalkan pertemuan ini dari jauh-jauh hari. Sayang banget kalo dibatalin kan?""Yah. Dan kau lebih memilih keluar dari pagi hari meninggalkan anak-anakmu yang sedang sak
Aluna berdiri tanpa takut di hadapanku. Aku kembali mengingat hari itu, sewaktu dia masih kecil. Usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku menumpahkan kopi panas ke tangan Anaya, karena dia salah menakar gula dalam kopiku. Piring alas kopi dihempaskan Aluna, dan mengenai kemeja baru hadiah ulang tahunku dari Talita. Sisa kopi di piring itu menodai kemeja yang baru pertama kali aku pakai. Darahku mendidih. Aku seret anak itu ke ruang tengah. Ikat pinggang aku lepaskan. Dan setelahnya aku memukul Aluna dengan membabi buta. Tanpa aku sadar. Anaya juga menerima pukulan itu, karena memeluk tubuh Aluna. Melindungi dia dari ikat pinggang yang terus melayang. Tidak kulihat air mata di pipinya. Atau teriakannya minta ampun. Tidak ada rasa takut sedikitpun di wajahnya, membuat aku sangat tersinggung dan ingin memukulinya lagi. Wajah itu, ada di depanku sekarang. Ekspresinya sama seperti saat dia masih kecil dulu. Tapi kali ini berbeda. Bukan cuma tidak ada rasa takut, yang ada wajahn
Tempat syuting itu ternyata ada di daerah pedesaan. Satu jam berkendara, aku sampai di lokasi yang ditag Anatasya di akun instagramnya. Ratusan hektar sawah menghampar dari awal perjalanan masuk ke desa ini. Ah. Jalannya seperti tidak asing bagiku. Aku memutar ingatanku. Memaksa mengingat tempat ini. Yah. Aku ingat. Ini kampungnya Anaya. Perkembangannya luar biasa. Jalan aspal licin mulus tanpa hambatan. Padahal dulu, lubang di jalan sana sini, makanya kalau Anaya panggil pulang kampung, aku tidak pernah mau. Sakit pinggangku karena jalan yang tidak rata mengguncang mobil. Lagi pula, ini mobil mewah. Nanti rusak lagi. Sawah berderet rapi di kedua sisi jalan. Pagar bambu yang kokoh melindungi sisi jalan tersebut. Dicat warna merah putih. Sederhana, rapi, dan tertata. Mobil dan motor lalu lalang. Boleh juga nih kampung. Sekitar dua kilo meter hamparan sawah, sebelum masuk pemukiman, aku disambut gerbang bambu tinggi menjulang berbentuk pintu candi. Desainnya tidak main-main ini.
Tungkai kakiku serasa mau terlepas saja. Lemas menjalar ke seluruh tubuh, saat mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasiku. Benar yang Anaya bilang? Aku pernah mengeluarkan kalimat kejam seperti itu? Apa dulu aku sangat kejam kepada mereka? Waktu itu, mereka masih anak-anak bukan? Mengapa mereka hanya mengingat semua perlakuan burukku saja?Tidakkah mereka mengingat sesuatu yang baik tentang diriku. Misalnya, aku yang memberi nafkah 400ribu untuk makan dan sekolah mereka? Apakah tidak ada kenangan indah bersama denganku, yang bisa mereka ingat? Aku bersandar di mobil. Mencoba memutar memori jauh ke belakang. Dulu ... Setelah Talita, cinta pertamaku itu kembali di hidupku, aku yang sudah menikahi Anaya, seakan-akan di tarik dari dimensi pernikahan kami. Aku bahkan menikahi Talita, tanpa sepengetahuan Anaya. Anaya kujadikan tempat mengambil pakaian bersih, dan mengisi perut. Karena Talita tidak cakap dalam hal mengurus pakaian dan makananku. Aku akan melampiaskan hasra