Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu.
Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku.Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai."Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir panjang aku akan memberikannya. Meskipun uang perusahaan yang jadi korban.Kalau saja Talita bisa seperti Anaya. Pasti aku tidak akan seperti ini. Dulu, saat bersamaku, Anaya hanya mendapatkan nafkah 400ribu satu bulan.Dengan dua orang anak, ditambah ibuku yang selalu minta makan di rumah kami. Kami selalu makan makanan bergizi dan tidak pernah kekurangan.Dan Talita, dia kuberi jatah empat juta perbulan, tapi pertengahan bulan, dia sudah berteriak minta uang lagi. Alasannya, karena kebutuhan pokok yang semakin mahal. Entahlah. Anaya yang pintar mengatur keuangan, atau Talita yang terlalu boros."Anda siap untuk tanda tangan Tuan Surya?" suara Arga mengembalikanku dari lamunan masa lalu."I-iya Tuan. Saya siap!"Penandatanganan surat selesai. Aku lega perusahaanku selamat. Syukurlah. Kejadian semalam dan masa lalu, tidak membuat Anaya membatalkan bantuan."Silahkan minum dulu Tuan. Saya permisi karena ada janji." Anaya berdiri dari kursinya.Ingin hatiku menahannya untuk menjawab semua pertanyaanku. Ingin sekali mengatakan bisakah bersikap biasa saja seperti dulu? Mengapa kau begitu susah untuk kujangkau Anaya?"Terima kasih sudah mau membantu saya." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku mengulurkan tangan, ingin bersalaman, namun Anaya menangkupkan tangan di depan dada. Sambil tersenyum.Belum sempat dia keluar. Pintu ruangan diketuk. Dengan setengah berlari seorang gadis masuk ke dalam ruangan, dan langsung memeluk Anaya. Mencium ke dua pipinya, lalu tangannya."Bunda. Novel aku dipinang untuk film. Novel aku yang kepilih Bun. Aku seneng banget. Akhirnya!" suaranya penuh kegembiraan.Tubuhnya lebih tinggi dari Anaya. Bahkan menyamai Arga. Padahal, dia tidak memakai high hills.Hidung bangir dan mata agak sipit. Satu lesung pipit di pipi kanannya, menambah kecantikannya. Dia anak yang aku buang itu. Gadis kecil cacat, yang menjadi salah satu pemicu berakhirnya rumah tanggaku dengan Anaya.Aku yang dulu sangat malu memiliki anak cacat. Tidak pernah aku menggendong atau mencium anak ini sejak dia lahir. Dan setelah dia cacat, aku bahkan tidak mengakui dia sebagai anakku.Sekarang dia ada di hadapanku. Dengan keadaan yang sangat berbeda. Berdiri tegak dengan kedua kakinya yang jenjang. Dan memiliki tubuh dan paras bak seorang model profesional.Saat ini aku benar-benar menyesali apa yang telah aku lakukan dulu. Aluna dan Anatasya, tumbuh menjadi anak yang cantik dan sukses. Anaya benar-benar berhasil menjadi seorang ibu.Anaya memeluk putrinya itu. Tangannya dengan lembut membelai rambut Anatasya."Bunda bangga Sayang. Apapun dari dirimu, Bunda bangga. So, mau hadiah apa untuk prestasi besar ini?""Aku mau ikan tongkol kuah kuning yang pedes buatan Bunda. Aku juga udah selesai memeriksa keuangan perusahaan Bunda. Aku pengen pulang dan makan. Bunda pulang juga yah?" mata agak sipit itu mengerjap berulang kali dengan ekspresi memohon yang lucu dan menggemaskan.Dia tidak peduli dengan sekitarnya. Aku pikir. Apakah Anatasya juga tidak ingat dengan wajahku? Saat berpisah dia berusia sepuluh tahun. Tidak mungkin dia lupa dengan wajahku."Kak. Gak mau hadiah dari aku?" suara Arga bertanya. Saat itulah dia mengangkat wajahnya. Dan menatap Arga dan aku.Dia tersenyum ke arahku. Sepintas saja. Lalu menganggukkan kepala dengan sopan."Maaf Tuan Direktur. Anda punya klien sekarang. Saya tidak akan mengganggu. Malam ini, jangan menginap di apartemenmu. Tidurlah di rumah. Saya tantang anda dan Ibu CEO ini main Ludo. Saya dan Si Kakak Dokter yang dingin itu akan mengalahkan kalian berdua dalam satu putaran." katanya dengan ekspresi menggemaskan, sambil melipat tangan di dada."Baiklah Nona. Tantangan anda, saya terima dengan senang hati!" Balas Arga dengan suara dan ekpresi yang dibuat-buat serius. Setelah itu dia berdiri dan memeluk Anatasya dengan erat.Aku mematung. Suasana ini terasa mendamaikan hati. Pelukan kasih sayang dari keluarga, tutur kata yang lembut dan saling menghargai.Sungguh sangat jauh berbeda dengan keadaan keluargaku. Jika berada di ruangan yang sama, hanya pertengkaran saja yang terjadi. Pokok masalahnya, tidak lain uang dan uang.Talita yang tidak peduli dengan anak-anaknya.Melisa dengan segala permintaanya, entah itu tas branded, atau perhiasan. Virgo yang selalu keluyuran dan pulang dalam keadaan mabuk. Selalu mengamuk, jika dimarahi Talita.Dan satu lagi. Anak cacat itu. Yah ... Tangisan dan umpatan Radit, karena kami belum mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang untuknya. Dia frustasi dengan keadaannya yang cacat.Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P
Suksesnya Aluna dan Anatasya, berpengaruh juga pada bisnisku. Ada beberapa crazy rich, yang tertarik saat mengetahui, aku adalah seorang singel parents. Jadilah, aku mendapatkan investor dari beberapa di antara mereka. Perusahaanku berkembang dengan pesat. Menjadikan kehidupan beranjak naik ke puncak kesuksesan. Setelah Arga lulus SMA, aku memintanya untuk masuk ke perusahaan. Membantu sebisa dia. Mataku tidak salah melihat. Arga punya jiwa bisnis yang mumpuni. Sambil kuliah, dia membantuku mengatur manajemen. Dugaanku tepat. Manager perusahaan berkata, kualitas Arga akan bertambah setelah dia lulus kuliah nanti. Dan itu terbukti. Setiap proyek yang dia tangani, selalu gol. Kami memenangkan tender di mana-mana. Ibu dan bapak di kampung, kami fasilitasi juga. Aku membantu pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan di sana. Aluna menjadwalkan untuk selalu menengok kampung neneknya. Ketiga anakku sering bertanya tentang perasaan pribadiku, "Apa Bunda gak kepengen nikah lagi?" Aku ha
Surya POVTalita sampai di rumah, setelah waktu isya selesai. Dia tersenyum sumringah mendapati rumah yang bersih dan tertata. "Mas. Kamu panggil Mbok Narsih? Akhirnya. Kan sudah aku bilang, lebih baik ada Mbok Narsih. Semua jadi beres kan?" "Ia. Akulah Mbok Narsihnya, Nyonya Talita. Aku dan Radit yang membersihkan rumah. Aku sudah belanja, semua keperluan dapur dan isi kulkas sudah lengkap. Seprei dan gorden pun sudah di ganti. Lanjutkan saja kegiatanmu. Jangan pedulikan kami Nyonya. Jika suatu hari nanti, kamu pulang keluyuran, dan tidak mendapati kami, jangan cari kami lagi!" Aku bicara sambil terus menatap layar tv. Aku dapat informasi dari Jonathan dan Joshua, jika acara konferensi pers Anatasya akan tayang malam ini. Talita mencebik. "Maafkan aku Mas. Tadi tuh ulang tahun salah satu temanku. Kami sudah menjadwalkan pertemuan ini dari jauh-jauh hari. Sayang banget kalo dibatalin kan?""Yah. Dan kau lebih memilih keluar dari pagi hari meninggalkan anak-anakmu yang sedang sak
Aluna berdiri tanpa takut di hadapanku. Aku kembali mengingat hari itu, sewaktu dia masih kecil. Usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku menumpahkan kopi panas ke tangan Anaya, karena dia salah menakar gula dalam kopiku. Piring alas kopi dihempaskan Aluna, dan mengenai kemeja baru hadiah ulang tahunku dari Talita. Sisa kopi di piring itu menodai kemeja yang baru pertama kali aku pakai. Darahku mendidih. Aku seret anak itu ke ruang tengah. Ikat pinggang aku lepaskan. Dan setelahnya aku memukul Aluna dengan membabi buta. Tanpa aku sadar. Anaya juga menerima pukulan itu, karena memeluk tubuh Aluna. Melindungi dia dari ikat pinggang yang terus melayang. Tidak kulihat air mata di pipinya. Atau teriakannya minta ampun. Tidak ada rasa takut sedikitpun di wajahnya, membuat aku sangat tersinggung dan ingin memukulinya lagi. Wajah itu, ada di depanku sekarang. Ekspresinya sama seperti saat dia masih kecil dulu. Tapi kali ini berbeda. Bukan cuma tidak ada rasa takut, yang ada wajahn
Tempat syuting itu ternyata ada di daerah pedesaan. Satu jam berkendara, aku sampai di lokasi yang ditag Anatasya di akun instagramnya. Ratusan hektar sawah menghampar dari awal perjalanan masuk ke desa ini. Ah. Jalannya seperti tidak asing bagiku. Aku memutar ingatanku. Memaksa mengingat tempat ini. Yah. Aku ingat. Ini kampungnya Anaya. Perkembangannya luar biasa. Jalan aspal licin mulus tanpa hambatan. Padahal dulu, lubang di jalan sana sini, makanya kalau Anaya panggil pulang kampung, aku tidak pernah mau. Sakit pinggangku karena jalan yang tidak rata mengguncang mobil. Lagi pula, ini mobil mewah. Nanti rusak lagi. Sawah berderet rapi di kedua sisi jalan. Pagar bambu yang kokoh melindungi sisi jalan tersebut. Dicat warna merah putih. Sederhana, rapi, dan tertata. Mobil dan motor lalu lalang. Boleh juga nih kampung. Sekitar dua kilo meter hamparan sawah, sebelum masuk pemukiman, aku disambut gerbang bambu tinggi menjulang berbentuk pintu candi. Desainnya tidak main-main ini.
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa