Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu.
Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku.Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai."Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir panjang aku akan memberikannya. Meskipun uang perusahaan yang jadi korban.Kalau saja Talita bisa seperti Anaya. Pasti aku tidak akan seperti ini. Dulu, saat bersamaku, Anaya hanya mendapatkan nafkah 400ribu satu bulan.Dengan dua orang anak, ditambah ibuku yang selalu minta makan di rumah kami. Kami selalu makan makanan bergizi dan tidak pernah kekurangan.Dan Talita, dia kuberi jatah empat juta perbulan, tapi pertengahan bulan, dia sudah berteriak minta uang lagi. Alasannya, karena kebutuhan pokok yang semakin mahal. Entahlah. Anaya yang pintar mengatur keuangan, atau Talita yang terlalu boros."Anda siap untuk tanda tangan Tuan Surya?" suara Arga mengembalikanku dari lamunan masa lalu."I-iya Tuan. Saya siap!"Penandatanganan surat selesai. Aku lega perusahaanku selamat. Syukurlah. Kejadian semalam dan masa lalu, tidak membuat Anaya membatalkan bantuan."Silahkan minum dulu Tuan. Saya permisi karena ada janji." Anaya berdiri dari kursinya.Ingin hatiku menahannya untuk menjawab semua pertanyaanku. Ingin sekali mengatakan bisakah bersikap biasa saja seperti dulu? Mengapa kau begitu susah untuk kujangkau Anaya?"Terima kasih sudah mau membantu saya." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku mengulurkan tangan, ingin bersalaman, namun Anaya menangkupkan tangan di depan dada. Sambil tersenyum.Belum sempat dia keluar. Pintu ruangan diketuk. Dengan setengah berlari seorang gadis masuk ke dalam ruangan, dan langsung memeluk Anaya. Mencium ke dua pipinya, lalu tangannya."Bunda. Novel aku dipinang untuk film. Novel aku yang kepilih Bun. Aku seneng banget. Akhirnya!" suaranya penuh kegembiraan.Tubuhnya lebih tinggi dari Anaya. Bahkan menyamai Arga. Padahal, dia tidak memakai high hills.Hidung bangir dan mata agak sipit. Satu lesung pipit di pipi kanannya, menambah kecantikannya. Dia anak yang aku buang itu. Gadis kecil cacat, yang menjadi salah satu pemicu berakhirnya rumah tanggaku dengan Anaya.Aku yang dulu sangat malu memiliki anak cacat. Tidak pernah aku menggendong atau mencium anak ini sejak dia lahir. Dan setelah dia cacat, aku bahkan tidak mengakui dia sebagai anakku.Sekarang dia ada di hadapanku. Dengan keadaan yang sangat berbeda. Berdiri tegak dengan kedua kakinya yang jenjang. Dan memiliki tubuh dan paras bak seorang model profesional.Saat ini aku benar-benar menyesali apa yang telah aku lakukan dulu. Aluna dan Anatasya, tumbuh menjadi anak yang cantik dan sukses. Anaya benar-benar berhasil menjadi seorang ibu.Anaya memeluk putrinya itu. Tangannya dengan lembut membelai rambut Anatasya."Bunda bangga Sayang. Apapun dari dirimu, Bunda bangga. So, mau hadiah apa untuk prestasi besar ini?""Aku mau ikan tongkol kuah kuning yang pedes buatan Bunda. Aku juga udah selesai memeriksa keuangan perusahaan Bunda. Aku pengen pulang dan makan. Bunda pulang juga yah?" mata agak sipit itu mengerjap berulang kali dengan ekspresi memohon yang lucu dan menggemaskan.Dia tidak peduli dengan sekitarnya. Aku pikir. Apakah Anatasya juga tidak ingat dengan wajahku? Saat berpisah dia berusia sepuluh tahun. Tidak mungkin dia lupa dengan wajahku."Kak. Gak mau hadiah dari aku?" suara Arga bertanya. Saat itulah dia mengangkat wajahnya. Dan menatap Arga dan aku.Dia tersenyum ke arahku. Sepintas saja. Lalu menganggukkan kepala dengan sopan."Maaf Tuan Direktur. Anda punya klien sekarang. Saya tidak akan mengganggu. Malam ini, jangan menginap di apartemenmu. Tidurlah di rumah. Saya tantang anda dan Ibu CEO ini main Ludo. Saya dan Si Kakak Dokter yang dingin itu akan mengalahkan kalian berdua dalam satu putaran." katanya dengan ekspresi menggemaskan, sambil melipat tangan di dada."Baiklah Nona. Tantangan anda, saya terima dengan senang hati!" Balas Arga dengan suara dan ekpresi yang dibuat-buat serius. Setelah itu dia berdiri dan memeluk Anatasya dengan erat.Aku mematung. Suasana ini terasa mendamaikan hati. Pelukan kasih sayang dari keluarga, tutur kata yang lembut dan saling menghargai.Sungguh sangat jauh berbeda dengan keadaan keluargaku. Jika berada di ruangan yang sama, hanya pertengkaran saja yang terjadi. Pokok masalahnya, tidak lain uang dan uang.Talita yang tidak peduli dengan anak-anaknya.Melisa dengan segala permintaanya, entah itu tas branded, atau perhiasan. Virgo yang selalu keluyuran dan pulang dalam keadaan mabuk. Selalu mengamuk, jika dimarahi Talita.Dan satu lagi. Anak cacat itu. Yah ... Tangisan dan umpatan Radit, karena kami belum mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang untuknya. Dia frustasi dengan keadaannya yang cacat.Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P
Suksesnya Aluna dan Anatasya, berpengaruh juga pada bisnisku. Ada beberapa crazy rich, yang tertarik saat mengetahui, aku adalah seorang singel parents. Jadilah, aku mendapatkan investor dari beberapa di antara mereka. Perusahaanku berkembang dengan pesat. Menjadikan kehidupan beranjak naik ke puncak kesuksesan. Setelah Arga lulus SMA, aku memintanya untuk masuk ke perusahaan. Membantu sebisa dia. Mataku tidak salah melihat. Arga punya jiwa bisnis yang mumpuni. Sambil kuliah, dia membantuku mengatur manajemen. Dugaanku tepat. Manager perusahaan berkata, kualitas Arga akan bertambah setelah dia lulus kuliah nanti. Dan itu terbukti. Setiap proyek yang dia tangani, selalu gol. Kami memenangkan tender di mana-mana. Ibu dan bapak di kampung, kami fasilitasi juga. Aku membantu pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan di sana. Aluna menjadwalkan untuk selalu menengok kampung neneknya. Ketiga anakku sering bertanya tentang perasaan pribadiku, "Apa Bunda gak kepengen nikah lagi?" Aku ha
Surya POVTalita sampai di rumah, setelah waktu isya selesai. Dia tersenyum sumringah mendapati rumah yang bersih dan tertata. "Mas. Kamu panggil Mbok Narsih? Akhirnya. Kan sudah aku bilang, lebih baik ada Mbok Narsih. Semua jadi beres kan?" "Ia. Akulah Mbok Narsihnya, Nyonya Talita. Aku dan Radit yang membersihkan rumah. Aku sudah belanja, semua keperluan dapur dan isi kulkas sudah lengkap. Seprei dan gorden pun sudah di ganti. Lanjutkan saja kegiatanmu. Jangan pedulikan kami Nyonya. Jika suatu hari nanti, kamu pulang keluyuran, dan tidak mendapati kami, jangan cari kami lagi!" Aku bicara sambil terus menatap layar tv. Aku dapat informasi dari Jonathan dan Joshua, jika acara konferensi pers Anatasya akan tayang malam ini. Talita mencebik. "Maafkan aku Mas. Tadi tuh ulang tahun salah satu temanku. Kami sudah menjadwalkan pertemuan ini dari jauh-jauh hari. Sayang banget kalo dibatalin kan?""Yah. Dan kau lebih memilih keluar dari pagi hari meninggalkan anak-anakmu yang sedang sak
Aluna berdiri tanpa takut di hadapanku. Aku kembali mengingat hari itu, sewaktu dia masih kecil. Usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku menumpahkan kopi panas ke tangan Anaya, karena dia salah menakar gula dalam kopiku. Piring alas kopi dihempaskan Aluna, dan mengenai kemeja baru hadiah ulang tahunku dari Talita. Sisa kopi di piring itu menodai kemeja yang baru pertama kali aku pakai. Darahku mendidih. Aku seret anak itu ke ruang tengah. Ikat pinggang aku lepaskan. Dan setelahnya aku memukul Aluna dengan membabi buta. Tanpa aku sadar. Anaya juga menerima pukulan itu, karena memeluk tubuh Aluna. Melindungi dia dari ikat pinggang yang terus melayang. Tidak kulihat air mata di pipinya. Atau teriakannya minta ampun. Tidak ada rasa takut sedikitpun di wajahnya, membuat aku sangat tersinggung dan ingin memukulinya lagi. Wajah itu, ada di depanku sekarang. Ekspresinya sama seperti saat dia masih kecil dulu. Tapi kali ini berbeda. Bukan cuma tidak ada rasa takut, yang ada wajahn
Tempat syuting itu ternyata ada di daerah pedesaan. Satu jam berkendara, aku sampai di lokasi yang ditag Anatasya di akun instagramnya. Ratusan hektar sawah menghampar dari awal perjalanan masuk ke desa ini. Ah. Jalannya seperti tidak asing bagiku. Aku memutar ingatanku. Memaksa mengingat tempat ini. Yah. Aku ingat. Ini kampungnya Anaya. Perkembangannya luar biasa. Jalan aspal licin mulus tanpa hambatan. Padahal dulu, lubang di jalan sana sini, makanya kalau Anaya panggil pulang kampung, aku tidak pernah mau. Sakit pinggangku karena jalan yang tidak rata mengguncang mobil. Lagi pula, ini mobil mewah. Nanti rusak lagi. Sawah berderet rapi di kedua sisi jalan. Pagar bambu yang kokoh melindungi sisi jalan tersebut. Dicat warna merah putih. Sederhana, rapi, dan tertata. Mobil dan motor lalu lalang. Boleh juga nih kampung. Sekitar dua kilo meter hamparan sawah, sebelum masuk pemukiman, aku disambut gerbang bambu tinggi menjulang berbentuk pintu candi. Desainnya tidak main-main ini.