Suara gaduh terdengar saat kakiku menginjak lantai keramik teras rumah. Berkas penting yang tertinggal di ruangan kerja, membuat aku harus memutar balik arah mobil. Jam masih menunjukkan pukul 08.15.
Apa yang terjadi? Mbok Narsih berlari turun dari lantai dua. Wajahnya pusat pasi. Dasternya basah kuyup."Tolong. Tolong. Tuan! Non Melisa, Tuan," tubuh wanita paruh baya itu gemetar."Ada apa dengan Melisa?""Non Melisa pingsan di kamar mandinya. Tangannya berdarah-darah. Saya takut Tuan." Wajah pucat itu di penuhi air mata.Mbok Narsih memang sangat menyayangi Melisa, putri sulungku. Karena sejak balita, Mbok Narsih yang mengasuh Melisa.Aku berlari ke lantai dua, letak kamar Melisa ada di pojok setelah kamar utama. Aku terkejut bukan main, saat melihat lantai kamar mandi yang sudah penuh dengan darah. Tubuh Melisa pun bersimbah darah.Ada darah keluar dari balik dressnya, dan darah di pergelangan tangannya.Tanpa pikir panjang, aku menggendong tubuh semok Melisa. Membawanya ke mobil. Mbok Narsih masih mengikutiku dari belakang."Mbok. Tolong bangunin Nyonya. Suruh menyusul saya ke rumah sakit!""Baik Tuan!"Aku memacu mobil dengan kencang. Mencari rumah sakit terdekat dari perumahan elit yang kami tinggali. Sesampainya di sana, dengan sigap aku masuk ke dalam lobi rumah sakit berteriak dengan kencang memanggil bantuan.Dengan sigap, seorang dokter muda, mendorong brangkar, mendekatiku dan berkata,"Mana pasiennya Pak?" matanya menatapku penuh.Seketika sekujur tubuhku bergetar. Wajah ini? Wajah milik seseorang yang begitu aku kenal. Selama belasan tahun terakhir, aku berusaha mencari sosok dengan wajah ini."Pak! Gimana?" suaranya yang sedikit menghentak, berhasil mengembalikan kesadaranku."Ma-maaf. Itu. Di mobil saya Dok." Aku menunjuk keluar.Dokter muda dan dua orang perawat berlari cepat keluar pintu. Aku membuka pintu mobil, dan membantu para perawat itu menurunkan tubuh Melisa.Melihat keadaan Melisa, brangkar kemudian di dorong sambil berlari oleh para tenaga medis itu, masuk ke ruangan UGD."Bapak tunggu sebentar di luar yah. Saya akan kabari keadaan pasien." Dengan senyum ramah dan tenang, dokter muda itu memintaku menunggu, saat tubuhku hampir masuk ke dalam ruangan itu.Aku mengangguk patuh. Berjalan mondar mandir di depan pintu ruangan. Bagaimana Melisa bisa berdarah seperti itu? Apakah selama ini keadaannya tidak baik-baik saja? Talita. Dia harus menjelaskan semua ini.Yang aku tau, darah yang mengalir dari kedua paha Melisa, menandakan bahwa anak itu mengalami pendarahan. Di tambah lagi dengan sayatan di pergelangan tangannya.Akh! Kepalaku pusing. Mana istri dolarku itu?Belum juga muncul. Pertanyaan demi pertanyaan mengerubungi kepalaku.Ponsel di saku jas berdering."Ya. Saya terlambat. Anak saya masuk rumah sakit."..."Ia ... Dia kecelakaan. Tolong urus meetingnya Jo. Ambil berkas di rumah sakit ARTAMA. Saya tidak bisa meninggalkan Melisa sendiri. Jika istri saya sudah tiba di sini, saya akan usahakan segera ke sana."Aku menyugar rambutku. Ini adalah meeting yang penting. Jika investor itu gagal mengulurkan bantuan dana untuk perusahaanku, aku pastikan perusahaan keluargaku akan kolaps.Astaga. Talita. Lama sekali.Apa dia tidak mengkuatirkan keadaan anaknya?Waktu semakin beranjak. Sementara aku berkutat dengan ponsel untuk menghubungi Talita, dokter muda tadi keluar dengan dua orang perawat."Maaf Pak. Pasien mengalami pendarahan hebat akibat keguguran. Kami butuh persetujuan anda untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim. Jika tindakan ini tidak dilakukan dengan segera, kami takut, nyawa pasien dalam bahaya,"Aku terkesiap. Apa tadi? Pengangkatan rahim?"Maaf Dok. Tapi anak saya masih gadis. Dia belum menikah!" suaraku tercekat di tenggorokanku.Dokter dan perawat itu saling pandang. Dia berbalik dan tersenyum dengan ramah."Pasien sudah mengalami keguguran berkali-kali Pak. Tindakan ini adalah langkah terakhir yang bisa kami sarankan kepada keluarga pasien. Jika Bapak setuju, tolong tanda tangani berkas ini, dan segera urus admistrasinya. Kami berjanji akan bekerja dengan maksimal untuk kesembuhan pasien."Duniaku seakan runtuh, mendengar penjelasan dokter ini. Melisa. Anak yang selalu aku banggakan. Ternyata, sudah mengalami keguguran beberapa kali? Dengan siapa dia hamil? Apa yang aku lewatkan dalam keluarga ini?"Baiklah Dokter. Lakukan saja yang terbaik. Saya akan menandatangani surat persetujuan ini," dengan tangan gemetar, aku menyambut berkas di tangan suster di samping dokter tersebut.Setelah menandatanganinya, mereka masuk kembali. Lima menit kemudian, brangkar dengan tubuh Melisa yang terbaring lemah, keluar dari ruang UGD, masuk ke ruangan operasi.Aku menggapai ponsel di saku. Kembali menelpon Talita. Pada dering ke tiga, panggilanku di jawab."Apa Mas?" suara Talita terdengar malas, dari seberang sana."Ke rumah sakit sekarang Talita. Melisa akan melakukan operasi pengangkatan rahim. Jika dalam tiga puluh menit kau belum tiba di sini, aku pastikan, akan mencabut semua fasilitas untukmu, anakmu dan keluargamu!"Klik. Kuusap kasar layar ponsel. Mematikan panggilan sepihak. Lihat saja. Aku tidak main-main dengan ancamanku. Jika Talita tidak datang dalam kurun waktu setengah jam, aku akan melakukan apa yang aku katakan padanya tadi.Apa yang paling ditakuti istri dolarku itu, selain dari berkurangnya jaminan hidup bagi dia dan keluarganya? Dia bahkan akan tiba di sini, lima menit lagi setelah ponsel aku kembalikan ke dalam saku."Mas!" suara Talita memanggilku. Dia berlari di lorong ruangan. Celana jeans, kaos oblong, dan sandal. Tanpa make up, tanpa perhiasan.Aku menarik nafas. Aku yakin mbok Narsih sudah memberitahukannya tentang Melisa, tapi dia masih enggan menyusulku. Giliran diancam akan mengambil fasilitas, dia langsung datang dengan keadaan berantakan."Apa maksudmu Mas? Melisa akan dioperasi? Bagaimana bisa? Operasi pengangkatan rahim lagi. Ck! Yang benar aja. Pacar aja gak punya." Talita menghempaskan tubuhnya di sampingku. "Bagaimana bisa kau tau tentang anakmu, jika kau di rumah hanya untuk mandi dan tidur. Setiap hari kau pergi dengan geng sosialitamu itu. Menghamburkan uang dan pulang setelah limitnya kandas." "Jadi kamu nyalahin aku Mas? Lalu kamu selama ini kemana aja? Kamu sibuk dengan proyek, sibuk mencari mantan istrimu itu kan?" Aku menoleh ke arah Talita. Menatap wajah tanpa make up yang tetap cantik dan mulus. Di usia kami yang hampir menyentuh setengah abad, dia masih terlihat menawan. "Jangan menutupi kesalahanmu, dengan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anak kita. Bahkan semua keluargamu hidup dari usahaku Talita. Dan perkara mencari Anaya, bukankah kita sudah bicarakan itu? Kita butuh anak-anak Anaya. Juga untuk kelangsungan hidupmu dan keluargamu bukan? Jad
Satu jam kemudian, kami bubar. Arga, pengusaha muda itu akan mentransfer sejumlah uang, setelah besok, kami mengesahkan perjanjian yang akan di tandatangani di kantornya. Aku lega. Setidaknya pengorbananku meninggalkan Melisa yang sedang menjalani operasi, terbayarkan dengan mendapatkan kucuran dana dari Arga dan perusahaannya. Kupacu mobil kembali ke rumah sakit. Melewati kawasan ruko karena jalan biasanya sedang ada pembersihan. Saat melewati sebuah toko kue yang sedang viral, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Anaya. Wanita yang tiga belas tahun yang lalu hidup denganku. Gegas, kubelokan mobil. Memarkir di depan toko. Toko kue Ar4Cake. Mungkin Anaya datang membeli kue di sini. Desain ruko yang di hias dengan ornamen-ornamen kekinian, membuat suasana terasa nyaman untuk segala kalangan. Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pengunjung. Tak kudapati wanita itu. Aku tidak mungkin salah melihat. Tadi Anaya masuk ke sini. "Maaf Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sap
Aku mengejar Aluna. Ingin tau dimana dia tinggal. Aku akan membuntutinya saja. Rasa penasaran akan kehidupan mereka bertambah, setelah melihat Aluna yang sudah berhasil menjadi seorang dokter. Aku pikir, Melisa akan lebih berhasil dari Aluna, nyatanya, bahkan Melisa sekarang di rawat oleh Aluna.Aluna menyetir alphard putih dengan lincah. Keluar parkiran rumah sakit, setelah itu meluncur mulus di aspal. Aku memberi jarak dua mobil di belakangnya. Kembali aku berpikir, jika Ayana tidak menikah lagi, lalu dengan apa dia menyekolahkan Aluna? Pendidikan kedokteran adalah salah satu yang paling mahal di negeri ini. Pasti Ayana sudah mendapatkan suami yang kaya. Apa bisa? Aku ragu. Ayana bukan wanita yang cantik seperti Talita. Mana bisa pria kaya menyukainya? Apalagi Ayana hanya seorang janda dengan dua orang anak. Dan salah satunya cacat. Mobil Aluna masuki kawasan perumahan super elit di kota ini. Perumahan ini adalah impian Talita sejak dulu. Belum bisa aku wujudkan, karena uang sela
Aku hempaskan tubuh di balik kemudi. Memukul setir dengan kencang. Sial! Bisa-bisanya wanita itu memperlakukan aku seperti ini. Harga diriku seakan-akan tidak ada arti di depannya. Bahkan di depan Arga. Dalam tiga belas tahun, dia berhasil hidup seperti seorang bangsawan. Aluna jadi dokter, Anatasya tidak lumpuh lagi, dan dia hidup di kawasan super elit, impian semua orang. Lingkup pergaulannya dengan para pebisnis itu, adalah cita-citaku sedari dulu. Mengapa impianku harus dia yang mendapatkannya? Dia yang biasanya lemah, tidak berdaya di hadapanku, sekarang malah bersikap seperti tidak mengenalku. Kupacu mobil setelah puas mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini, membuat aku menyesali diriku yang lebih memilih Talita dari pada Anaya. Kelebihan Talita hanya wajahnya yang cantik rupawan, dan pelayanannya yang super di atas ranjang. Selebihnya, dia seperti lintah yang menghisap habis darahku. Tanpa peduli aku masih hidup, atau nafasku yang sudah ngeap, atau lebih parah lagi aku mau
Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu. Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku. Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai. "Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir pa
Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah