“Harganya 100 juta dan harus dibayarkan paling lambat besok.”
Suara petugas administrasi terngiang-ngiang di kepala Nia.
"Apa yang harus kulakukan?” Sisa-sisa penyesalan kini begitu terasa, cinta yang tulus ternyata tidak ada harganya.
Ketika semua terbalas dengan sakit hati dan air mata, terpuruk sendiri tanpa ada yang peduli pada keadaannya.
Di tengah keterpurukannya Nia merasa haus, mungkin dengan meneguk mineral dan memakan makan bisa sedikit membantu.
Sebab, dirinya harus sehat disaat ini. Tidak ada yang dapat membantu ibunya selain dirinya sendiri.
Nia kemudian memutuskan ke kantin.
Saat sedang duduk, Nia menemukan Bunga yang hampir terpeleset di depan mejanya. Seketika perempuan paruh baya itu tersadar bahwa Nia adalah orang yang pernah membantunya.
“Kamu Nia kan yang pernah menolong saya saat kejambretan di Pasar Lama?”
Nia lalu teringat pernah menolong Ibu ini. Kejadian di mana wanita itu dijambret seakan terputar di kepalanya. Sungguh hebat perempuan ini mampu mengingatnya.
Nia pun mengangguk.
"Kita duduk dulu ya, Bu. Waktu itu kita belum sempat kenalan juga."
Nia membantu wanita itu untuk duduk di kursi dan memberikan air mineral agar membuat wanita itu merasa lebih baik--setelah hampir terjatuh.
"Terima kasih banyak, ya. Sudah dua kali kamu menolong saya. Perkenalkan, nama saya Bunga." Dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Nia.
Nia pun membalasnya. "Nama saya, Nia, Bu."
"Ya, saya sudah tahu. Nama yang bagus."
Nia pun membalas dengan senyuman. Namun, wajahnya menyimpan keresahan tidak dapat ditutupi.
"Kamu sedang apa di sini. Ada yang sakit?"
"Iya, Bu. Ibu saya sedang sakit. Kalau Ibu?" Nia bertanya kembali. Tapi percayalah, itu hanya basa basi saja. Pikirannya sedang terkuras habis memikirkan nominal rupiah yang cukup banyak baginya demi pengobatan sang Ibu.
"Saya sedang mengantarkan cucu saya. Dia terkena leukemia dan hari ini jadwal kemoterapi." Terlihat jelas Bunga membayangkan wajah pucat cucunya, "Dia masih sangat kecil, usianya masih 10 Tahun. Tapi, penyakit yang dideritanya begitu hebat."
Tak lama, Bunga menarik napas berat. Perempuan itu sepertinya sangat berharap agar sang cucu bisa segera pulih.
Nia pun mengangguk mengerti. "Betul, Bu! Melihat orang yang kita sayangi sakit itu, sangat menyakitkan. Terlebih, kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka."
Tanpa sadar, Nia pun menitikan air mata.
Dengan cepat, Bunga dapat menyimpulkan bahwa Nia juga sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Maaf ya, Bu. Saya jadi curhat." Nia kembali menata senyum, merasa malu karena menunjukkan kesedihannya pada orang yang baru dikenalnya itu.
Namun, Bunga sudah terlanjur penasaran, sehingga mencoba untuk bertanya, "Sepertinya kamu sedang dalam masalah, ya? Kamu bisa cerita pada saya. Tidak apa-apa."
Nia pun menatap Bunga lebih dalam. Dirinya menggeleng dan merasa malu untuk menceritakan masalahnya. Namun, Nia lagi-lagi menitihkan air mata, membayangkan wajah Farah yang pucat dan harus segera mendapatkan pertolongan.
Sayang, semua terhalang biaya.
Bunga memberikan tisu pada Nia untuk menghapus air mata yang terus turun begitu saja.
"Maaf ya, Bu. Saya tidak tahu kenapa air mata ini terus saja tumpah," tutur Nia di sela-sela mengusap air mata yang menetes tanpa hentinya.
"Cerita ke saya saja. Siapa tahu, kamu bisa lebih lega."
Setelah menimbang, akhirnya Nia pun mengatakan bahwa ibunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kemudian, Bunga bertanya berapa jumlah biaya yang dibutuhkan.
Nia kembali terdiam tanpa ingin mengatakan. Lagi-lagi, Bunga pun membujuknya, hingga akhirnya mengatakan jumlah uang yang dibutuhkannya.
"Seratus juta, Bu."
"Hmm... 100 juta, ya?" kata Bunga seakan menggantung, "Baiklah! Kalau kamu mau, saya bisa melunasi semuanya."
Mendengar itu, Nia begitu terkejut. Wajah Nia yang tertunduk pun kini menatap Bunga, bingung.
Apakah telinganya tidak salah mendengar?
Apakah terlalu stres membuat pendengarannya pun jadi terganggu?
"Saya serius." Bunga kembali bersuara agar Nia tidak kebingungan.
Kali ini, Nia yakin telinganya benar-benar tidak rusak.
Bunga benar-benar mengatakan bersedia?
"Bu! Ibu, serius?" tanya Nia dengan suara terbata-bata, masih tidak percaya bahwa Bunga bersedia membantunya.
"Iya. Sampai Ibumu benar-benar pulih," tegas Bunga kembali.
Nia pun segera bangkit dari duduknya dan bersimpuh di kaki Bunga, sehingga Bunga terkejut melihatnya. "Apa yang kamu lakukan? Bangun!" Bunga benar-benar tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Nia.
"Duduk, Nia!" perintah Bunga.
"Terima kasih, Bu!" Cepat-cepat Nia mengusap air matanya dan kembali duduk.
"Tapi, saya punya syarat."
"Apapun syaratnya, saya siap. Bu." Nia menjawab dengan yakin tanpa keraguan.
Kesehatan ibunya jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, tidak perduli harus berkorban apa.
Jika Farah saja bisa berkorban nyawa untuk melahirkannya, maka, kenapa Nia tidak mau berkorban nyawa untuk Farah?
“Baiklah. Aku akan segera mengurus operasi Ibumu.”
"Ya, Bu. Apapun syarat dari Ibu, semuanya akan saya lakukan, Bu. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya."
"Tidak usah mengucapkan terima kasih berlebihan. Lagipula, ini ada harganya."
Nia pun mengangguk cepat, dirinya hanya membayangkan sebentar lagi ibunya akan tertolong.
Mata indah Ibunya akan terbuka kembali. Sungguh, tidak ada yang lebih indah selain wanita yang dipanggil Ibu.
"Kamu benar-benar tidak mau mengetahui syaratnya? Atau, mungkin kamu ingin bernegosiasi terlebih dahulu?" Bunga pun ingin memastikan bahwa Nia benar-benar siap dengan syarat yang diajukannya.
"Bu Bunga, Ibu saya harus segera mendapatkan penanganan. Apapun syaratnya, tidak akan saya tolak." Nia meyakinkan Bunga bahwa dirinya benar-benar membutuhkan uang demi kesembuhan Ibunya.
"Yakin tidak mau mendengarkan syaratnya?" Bunga pun mengulang pertanyaannya, memberi Nia kesempatan terakhir untuk berpikir.
Nia menggeleng cepat. Dirinya benar-benar yakin, tanpa ada keraguan sedikit pun.
"Baiklah. Kalau begitu, saya akan segera urus pengobatan ibumu"
Kesepakatan antara keduanya pun terjadi. Terlihat Bunga kini melangkah menuju bagian Administrasi diikuti oleh Nia.
“Operasi berjalan lancar. Kita hanya perlu menunggu Nyonya Farah sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Tak lama setelah pengumuman dari tim medis, Nia kembali didatangi dan ditagih Bunga untuk menepati janji untuk mengikuti syarat perempuan tua itu. Namun, Nia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjadi Istri untuk anaknya yang Duda beranak satu. Bahkan, semua keperluan pernikahan telah disiapkan oleh Bunga di rumah sakit!Bagaimana perempuan itu dapat melakukannya?Saat sedangmenunggu pengantinnya, Nia tiba-tiba terkejut setelah melihat siapa yang menikahinya. “Pak Dion?” ucap Nia tanpa sadar.Pria berwajah tampan di hadapannya adalah Dion Abraham Winata, paman dari Reza. Tunggu! Bagaimana mungkin ini terjadi?“Bapak, yakin menikahi saya?” Mengingat betapa hinanya Nia dan keluarga di mata keluarga Reza, bukankah seharusnya Pak Dion juga sama?“Menurutmu?” jawab pria itu datar, tidak peduli dengan kegundahan hati Nia.*****Pernikahan mendadak itu segera dilaksanakan di rumah saki
Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut. Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh."Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan meng
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita
"MAMI!" seru Dila.Dila yang terbangun dari tidurnya, kemudian mencari Nia saat mengetahui dirinya hanya sendirian berada di kamar.Lagi-lagi Nia pun harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Dion."Cepat!" Dion pun menyadarkan Nia.Dengan segera Nia pun berjalan menghampiri Dila dan kembali membawanya ke dalam kamar. "Dila, bobo lagi ya." "Ya, Mami!" Dila pun menurut, kemudian memeluk leher Nia.Sesaat kemudian terdengar napas Dila yang beraturan, tandanya Dila sudah terlelap kembali.Dion pun memasuki kamar Dila, seharian ini tidak bertemu membuatnya merasa begitu rindu.Setelah mencium kening Dila, Dion pun berniat keluar."Tuan, aku benar-benar ingin bicara," Nia tidak patah semangat.Sekalipun terus saja ditolak, tetapi terus berusaha untuk didengarkan.Dirinya benar-benar sudah yakin untuk mengatakan kehamilannya, bahkan siapa Ayah dari janinnya.Biarlah nantinya menjadi urusan nanti, saat ini kejujuran adalah hal utama.Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh Nia, sehingg
Nia pun terbangun dari lelap saat cahaya mentari menyentuh wajahnya. Seketika itu, Nia terkejut mendapati diri di atas ranjang.Dengan gerakan cepat, Nia pun turun dari atas ranjang, kemudian menatap Dion yang masih terlelap di sana.Tunggu! Artinya, dirinya tidur bersama Dion? Nia seketika merasa takut.Tetapi, bukankah dirinya kemarin tidur di bawah.Nia tidak menyadari bahwa geraka-gerakan kecilnya dapat dirasakan Dion, sehingga pria itu tiba-tiba membuka matanya."Maaf tuan, saya tidak tahu kenapa bisa tidur di atas ranjang Anda." Nia pun menutup mulutnya cepat-cepat, sambil melihat reaksi Dion.Tetapi, tak ada yang terjadi.Dion tidak marah sama sekali, membuat Nia bingung."Mami!" Pintu kamar terbuka, tampak Dila yang sudah memakai seragam sekolah.Nia pun menghampiri putri sambungan tersebut, kemudian bertanya siapa yang sudah memakaikan seragam sekolah."Dila, sudah pakai seragam?" Nia sedikit berjongkok agar mengimbangi Dila, "Siapa yang memakaikannya?""Oma," jawab Dila deng