Share

Bab 4

“Harganya 100 juta dan harus dibayarkan paling lambat besok.”

Suara petugas administrasi terngiang-ngiang di kepala Nia.

"Apa yang harus kulakukan?” Sisa-sisa penyesalan kini begitu terasa, cinta yang tulus ternyata tidak ada harganya.

Ketika semua terbalas dengan sakit hati dan air mata, terpuruk sendiri tanpa ada yang peduli pada keadaannya.

Di tengah keterpurukannya Nia merasa haus, mungkin dengan meneguk mineral dan memakan makan bisa sedikit membantu.

Sebab, dirinya harus sehat disaat ini. Tidak ada yang dapat membantu ibunya selain dirinya sendiri.

Nia kemudian memutuskan ke kantin. 

Saat sedang duduk, Nia menemukan Bunga yang hampir terpeleset di depan mejanya. Seketika perempuan paruh baya itu tersadar bahwa Nia adalah orang yang pernah membantunya.

“Kamu Nia kan yang pernah menolong saya saat kejambretan di Pasar Lama?”

Nia lalu teringat pernah menolong Ibu ini. Kejadian di mana wanita itu dijambret seakan terputar di kepalanya. Sungguh hebat perempuan ini mampu mengingatnya.

Nia pun mengangguk.

"Kita duduk dulu ya, Bu. Waktu itu kita belum sempat kenalan juga."

Nia membantu wanita itu untuk duduk di kursi dan memberikan air mineral agar membuat wanita itu merasa lebih baik--setelah hampir terjatuh.

"Terima kasih banyak, ya. Sudah dua kali kamu menolong saya. Perkenalkan, nama saya Bunga." Dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Nia.

Nia pun membalasnya. "Nama saya, Nia, Bu."

"Ya, saya sudah tahu. Nama yang bagus."

Nia pun membalas dengan senyuman. Namun, wajahnya menyimpan keresahan tidak dapat ditutupi.

"Kamu sedang apa di sini. Ada yang sakit?"

"Iya, Bu. Ibu saya sedang sakit. Kalau Ibu?" Nia bertanya kembali. Tapi percayalah, itu hanya basa basi saja. Pikirannya sedang terkuras habis memikirkan nominal rupiah yang cukup banyak baginya demi pengobatan sang Ibu.

"Saya sedang mengantarkan cucu saya. Dia terkena leukemia dan hari ini jadwal kemoterapi." Terlihat jelas Bunga membayangkan wajah pucat cucunya, "Dia masih sangat kecil, usianya masih 10 Tahun. Tapi, penyakit yang dideritanya begitu hebat."

Tak lama, Bunga menarik napas berat. Perempuan itu sepertinya sangat berharap agar sang cucu bisa segera pulih.

Nia pun mengangguk mengerti. "Betul, Bu! Melihat orang yang kita sayangi sakit itu, sangat menyakitkan. Terlebih, kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka."

Tanpa sadar, Nia pun menitikan air mata.

Dengan cepat, Bunga dapat menyimpulkan bahwa Nia juga sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Maaf ya, Bu. Saya jadi curhat." Nia kembali menata senyum, merasa malu karena menunjukkan kesedihannya pada orang yang baru dikenalnya itu.

Namun, Bunga sudah terlanjur penasaran, sehingga mencoba untuk bertanya, "Sepertinya kamu sedang dalam masalah, ya? Kamu bisa cerita pada saya. Tidak apa-apa."

Nia pun menatap Bunga lebih dalam. Dirinya menggeleng dan merasa malu untuk menceritakan masalahnya. Namun, Nia lagi-lagi menitihkan air mata, membayangkan wajah Farah yang pucat dan harus segera mendapatkan pertolongan.

Sayang, semua terhalang biaya.

Bunga memberikan tisu pada Nia untuk menghapus air mata yang terus turun begitu saja.

"Maaf ya, Bu. Saya tidak tahu kenapa air mata ini terus saja tumpah," tutur Nia di sela-sela mengusap air mata yang menetes tanpa hentinya.

"Cerita ke saya saja. Siapa tahu, kamu bisa lebih lega."

Setelah menimbang, akhirnya Nia pun mengatakan bahwa ibunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kemudian, Bunga bertanya berapa jumlah biaya yang dibutuhkan.

Nia kembali terdiam tanpa ingin mengatakan. Lagi-lagi, Bunga pun membujuknya, hingga akhirnya mengatakan jumlah uang yang dibutuhkannya.

"Seratus juta, Bu."

"Hmm... 100 juta, ya?" kata Bunga seakan menggantung, "Baiklah! Kalau kamu mau, saya bisa melunasi semuanya." 

Mendengar itu, Nia begitu terkejut. Wajah Nia yang tertunduk pun kini menatap Bunga, bingung.

Apakah telinganya tidak salah mendengar?

Apakah terlalu stres membuat pendengarannya pun jadi terganggu?

"Saya serius." Bunga kembali bersuara agar Nia tidak kebingungan.

Kali ini, Nia yakin telinganya benar-benar tidak rusak.

Bunga benar-benar mengatakan bersedia?

"Bu! Ibu, serius?" tanya Nia dengan suara terbata-bata, masih tidak percaya bahwa Bunga bersedia membantunya.

"Iya. Sampai Ibumu benar-benar pulih," tegas Bunga kembali.

Nia pun segera bangkit dari duduknya dan bersimpuh di kaki Bunga, sehingga Bunga terkejut melihatnya. "Apa yang kamu lakukan? Bangun!" Bunga benar-benar tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Nia.

"Duduk, Nia!" perintah Bunga.

"Terima kasih, Bu!" Cepat-cepat Nia mengusap air matanya dan kembali duduk. 

"Tapi, saya punya syarat."

"Apapun syaratnya, saya siap. Bu." Nia menjawab dengan yakin tanpa keraguan.

Kesehatan ibunya jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, tidak perduli harus berkorban apa.

Jika Farah saja bisa berkorban nyawa untuk melahirkannya, maka, kenapa Nia tidak mau berkorban nyawa untuk Farah?

“Baiklah. Aku akan segera mengurus operasi Ibumu.”

"Ya, Bu. Apapun syarat dari Ibu, semuanya akan saya lakukan, Bu. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya."

"Tidak usah mengucapkan terima kasih berlebihan. Lagipula, ini ada harganya."

Nia pun mengangguk cepat, dirinya hanya membayangkan sebentar lagi ibunya akan tertolong.

Mata indah Ibunya akan terbuka kembali. Sungguh, tidak ada yang lebih indah selain wanita yang dipanggil Ibu.

"Kamu benar-benar tidak mau mengetahui syaratnya? Atau, mungkin kamu ingin bernegosiasi terlebih dahulu?" Bunga pun ingin memastikan bahwa Nia benar-benar siap dengan syarat yang diajukannya.

"Bu Bunga, Ibu saya harus segera mendapatkan penanganan. Apapun syaratnya, tidak akan saya tolak." Nia  meyakinkan Bunga bahwa dirinya benar-benar membutuhkan uang demi kesembuhan Ibunya.

"Yakin tidak mau mendengarkan syaratnya?" Bunga pun mengulang pertanyaannya, memberi Nia kesempatan terakhir untuk berpikir.

Nia menggeleng cepat. Dirinya benar-benar yakin, tanpa ada keraguan sedikit pun.

"Baiklah. Kalau begitu, saya akan segera urus pengobatan ibumu"

Kesepakatan antara keduanya pun terjadi. Terlihat Bunga kini melangkah menuju bagian Administrasi diikuti oleh Nia.

Comments (17)
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
basi alur ceritanya.. dan terlihat bakal membosankan
goodnovel comment avatar
Li Hua Nineten
semoga ibu nia segera sembuh dari sakitnya.
goodnovel comment avatar
Duma Candrakasi Harahap
dewa penolong dateng
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status