Sesampainya di sekolah, Dila begitu bahagia memperkenalkan Nia pada teman-temannya. Gadis kecil itu menceritakan banyak hal yang kini dilaluinya bersama dengan Mami Nia.Sama seperti saat-saat temannya yang bercerita tentang keseharian mereka bersama kedua orang tuanya.Wajah Dila begitu berseri-seri hingga keadaannya pun semakin membaik."Mami, pulang dulu. Nanti, Mami yang akan menjemput Dila lagi."Dila pun mengangguk cepat, takut kehilangan Nia membuat Dila menurut pada apa saja yang dikatakan oleh Nia."Hati-hati Mami!" seru Dila sebelum akhirnya memasuki kelas.Nia melambaikan tangan, kemudian berjalan ke arah mobil."Tuan, saya pulang naik ojol saja," ucap Nia yang tidak ingin merepotkan Dion. Lagi pula, sangat besar kemungkinan Dion tidak mau pulang bersamanya.Atau, mungkin ada pekerjaan penting?Bukankah merepotkan hanya untuk mengantarkan dirinya pulang?'Ingat Nia, kamu hanya seorang pembantu yang memainkan peran sebagai seorang Ibu untuk Dila, bukan seorang istri untuk Tu
"Dion!"Dion pun menghentikan langkah kakinya, menoleh pada Bunga yang sedang duduk di teras.Bunga melihat penampilan Dion. Baju santai dengan sepatu olahraga. Lalu, ada handuk kecil di tangannya."Kamu nggak ke kantor?" tanya Bunga."Nanti Ma, setelah menjemput Dila.""Setelah menjemput Dila?" Bunga pun mendadak bingung.Dion sering kali menjemput Dila, tetapi tetap saja pergi ke kantor juga. Kemudian nantinya langsung ke sekolah, setelah mengantarkan Dila ke rumah. Maka, Dion akan kembali ke kantor lagi.Tetapi, untuk pagi ini tampaknya ada yang berbeda. Bahkan, wajah Dion pun terlihat lebih bercahaya dari biasanya.Kini, Bunga merasa bersyukur. Kehadiran Nia bukan hanya membuat Dila yang murung menjadi penun tawa. Namun, Dion pun seakan mendapatkan kebahagiaan setelah selama ini hanya memikirkan tentang putrinya saja."Dion, pergi dulu ya, Ma."Bunga pun mengangguk diiringi senyum bahagia.Dion terus saja berlari kecil, mengelilingi kompleks perumahan yang sudah lama tidak pernah
Sesampainya di dalam kamar, Dion pun melepaskan tangan Nia. Pria itu menatap Nia yang sedang menggigit bibir bawahnya."Cepat siapkan pakaian untuk saya!" titah Dion.Nia pun mengangguk dengan cepat, kemudian melaksanakan perintah Dion dengan secepat mungkin.Setelah mendapatkan baju yang diminta oleh Dion, Nia pun meletakan pada ranjang.Kemudian bersiap-siap untuk pergi, tetapi pintu yang terkunci membuatnya tidak bisa keluar."Cepat gosok punggung saya!" Terdengar suara Dion dari arah kamar mandi, Nia hanya diam di depan daun pintu.Nia bingung Dion berbicara pada siapa. Rasanya, tidak mungkin padanya, kan?"Nia!" Dion pun memilih memanggil nama karena sadar Nia yang lelet tidak akan mengerti dengan maksudnya.Nia pun semakin kebingungan. Sesaat kemudian, Dion pun keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya.Mulut Nia terbuka lebar menatap perut kotak-kotak Dion. Segera, dia pun membalikkan tubuhnya."Tuan, maaf. Saya tidak sengaja melihatnya. Lagi pula, saya tida
Nia menggigil kedinginan. Dia terlalu lama berendam, hingga membuatnya masuk angin.Setelah membuatkan secangkir teh hangat, Nia pun duduk di kursi meja makan. Sesekali, dia menghirup aroma teh yang membuatnya lebih segar.Dion yang mencari keberadaan Nia akhirnya menemukan di dapur. Seketika itu juga, Dion pun tersenyum, kemudian menghampiri Nia."Buatkan aku secangkir kopi!" Kemunculan Dion yang tiba-tiba membuat Nia terkejut. Oleh karena itu, Nia segera menyemburkan teh dari mulutnya, tepat mengenai kemeja Dion.Nia pun menyadari kesalahan apa yang barusan dilakukannya.Dengan panik, Nia bangkit dari duduknya menghampiri Dion. Kemudian, membersihkan kemeja dengan tisu.Dion hanya terdiam tanpa ingin marah. Sekarang, dia menyimpulkan jika Nia bukan hanya sekedar wanita lugu, tetapi juga ceroboh."Tuan, maaf. Saya terkejut," kata Nia dengan panik sambil terus berusaha mengeringkan kemeja Dion."Kapan kau bisa menjadi wanita normal?" tanya Dion."Saya normal, Tuan?" Nia pun berkata
Secangkir kopi sudah diseduh, sesuai dengan perintah Dion.Dengan segera, Nia membawanya ke kamar. Nia pun mengetuk pintu kamar terlebih dahulu yang sebenarnya tidak tertutup rapat. Setelah mengintip dari celah pintu yang terbuka, Nia pun perlahan mendorong pintu kemudian masuk. Dia meletakan secangkir kopi di atas meja, sedangkan Dion hanya diam saja.Sesaat kemudian, Nia merasa pusing. Terlalu lama basah, membuatnya masuk angin, hingga merasa mual."Kamu kenapa?" tanya Dion sesaat menyeruput kopi buatan Nia."Saya masuk angin, Tuan." Secepat mungkin, Nia menuju kamar mandi--memuntahkan cairan.Dion hanya diam dan mendengar suara Nia dari arah kamar mandi, merasa kasihan pada Nia. Sekaligus, merasa bersalah sudah mengajarkan Nia terlalu lama berendam.Tak lama, Nia pun tampak keluar dari kamar mandi. Dion pun memanggilnya dan meminta Nia untuk berbaring di atas ranjang."Tidur saja. Nanti, setelah hangat, baru bangun.""Tapi, Dila harus dijemput, Tuan," ucap Nia, mengingatkan. "Bi
Dion masih saja menatap perut Nia. Rasanya, dirinya begitu kecewa pada Nia. Padahal, perempuan itu baru saja membuatnya tertarik."Dia hamil, Ma," jelas Dion."Hamil?" Bunga terkejut mendengarnya.Seketika, Bunga menatap perut Nia. Namun, ada juga yang membuat Bunga bingung.Dion dan Nia baru tidur di kamar yang sama beberapa hari ini. Akan tetapi, dirinya juga tidak bisa menyimpulkan apakah semuanya sudah terjadi sejak awal menikah?Lagi pula, keduanya suami istri. Siapa yang dapat melarangnya?Tunggu ... usia pernikahan Dion dan Nia masih satu bulan, sedangkan perut Nia sudah tampak begitu menonjol?"Dari mana Mama membawa wanita ini? Kemudian, menikahkan kami mendadak?" Kali ini Dion bertanya pada Bunga. Sorotan matanya tajam sebab Bungalah yang memintanya menikahi Nia."Dion, coba sedikit dijelaskan lagi." Bunga tidak mengerti. Dirinya memang sedang kebingungan. Namun, tidak mengetahui secara pasti.Entah mengapa, Bunga merasa bahwa jika pun Nia hamil, pastilah dia hamil anak Dio
"Reza."Nia tidak tahu entah seperti apa ekspresi wajah Dion saat ini ketika dirinya menyebutkan nama tersebut. Nia pun tidak bisa menerima kenyataan pahit itu sampai detik ini.Dion mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan apa yang dikatakan oleh Nia.Sejenak, dia menepis pikirannya jika Reza yang dimaksud oleh Nia adalah anak dari Chandra--kakaknya.Bukankah dunia ini begitu luas? Nama Reza pun tidak hanya dimiliki oleh satu orang saja."Tuan, aku tidak pernah berniat untuk menjadikan Anda sebagaimana tumbal. Saya juga tidak ingin menjadikan Anda yang tidak bersalah sebagai Ayah dari anakku ini. Aku pun sadar aku hanya seorang wanita bayaran untuk merawat putri Anda. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk mencari keuntungan, Tuan," jelas Nia lagi.Perlahan, Nia pun menjelaskan segalanya mulai dari penyebab dirinya mengandung.Saat kejadian malang itu menimpanya, Nia sudah berusaha untuk menolak. Bahkan melarikan diri, namun siapa sangka ternyata Reza begitu bernafsu padanya.Meren
Dion pun menarik lengan Nia dengan paksa agar Nia keluar dari kamarnya."Tuan, aku mohon." Nia kembali bersimpuh di bawah kaki Dion, berharap dikasihani.Hingga pintu pun terbuka. Dila tampak berdiri di ambang pintu dengan seragam sekolahnya.Matanya membulat karena melihat Nia sedang bersimpuh di bawah kaki Dion.Dila bingung dengan apa yang sedang terjadi, tetapi air mata Nia membuatnya menjadi marah."Pergi dari rumah ini!" perintah Dion yang dapat didengar Dila.Dila pun segera berlari menghampiri Nia, kemudian memeluk Nia.Seketika, keduanya tersadar karena kini ada Dila di antara mereka."Papi marahin Mami, ya?" Dila menatap Dion dengan tajam.Tidak ada ampun bagi siapapun yang menyakiti Nia.Dila yang masih polos dan merasa diberikan kasih sayang penuh oleh Nia, tidak akan membiarkan Nia disakiti--walaupun Dionlah yang menyakitinya."PAPI JAHAT!" teriak Dila sekencang-kencangnya.Melihat wajah Dila yang bersedih, membuat perasaan Dion menjadi kacau. "Biarkan dia pergi dari sin
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan