Share

Bab 3

Ayahnya telah tiada.

Hati Nia masih begitu sesak menatap pusara sang Bapak.

Nia pun memeluk Farah, berusaha menguatkan perasaan sang Ibu walaupun hanya hancur lebur tanpa sisa.

"Kenapa Bapak pergi? Bagaimana dengan kami?" Sebagai seorang istri, pastinya Farah begitu hancur kehilangan suaminya untuk selamanya.

Dengan langkah yang berat, Nia berusaha menuntun Ibunya ke rumah.

Ketika mereka sudah sampai, Nia langsung berlutut di depan Farah. "Maaf, Bu. Maafkan, aku!"

Farah hanya terdiam menatapnya. Kini, dia hanya memiliki Nia dalam hidupnya. Haruskah dia menyalahkan putrinya ini?

Saat masih berpikir, tiba-tiba seorang perempuan masuk ke rumah mereka tanpa permisi dan berkata, "Kamu wanita murahan! Kenapa kamu menemui Reza dan Ibunya? Jangan coba-coba mengganggu pernikahan kami, ya!"

Raya datang menemui Nia langsung ke rumahnya. Perempuan itu terlihat tidak peduli bahwa mereka sedang berduka karena kehilangan Anwar.

"Raya, bisakah bicara baik-baik? Kamu duduk dulu," Nia pun berniat untuk memegang tangan Raya, tapi ditepis begitu saja.

Raya benar-benar tidak ingin disentuh sama sekali.

"Aku tidak bisa berbasa-basi! Sekarang aku tahu, kamu bersahabat denganku hanya karena kami orang kaya! Sayangnya, kau itu sudah ditakdirkan menjadi gembel, tidak usah bermimpi menjadi tuan putri!" Dengan kasar, Raya pun mendorong Nia.

Tubuh Nia pun kehilangan keseimbangan, hampir saja terjatuh pada sandaran kursi.

Beruntung, Farah menahan tubuh anaknya secepat mungkin.

Nia pun mengeluarkan keringat dingin, entah apa yang terjadi jika saja perutnya mengenai benda keras tersebut.

"Raya, kalian sudah berteman lama. Bukankah bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan cara baik-baik dan kepala dingin?" Farah pun mencoba menengahi perdebatan, tidak ingin menjadi tontonan warga yang mendatangi kediamannya dalam suasana duka ini.

Mendengar perkataan Farah, bukannya menjadi lebih baik, Raya justru menunjuk wajah Farah dengan tangan kirinya. "Hey, kamu! Ajarkan anakmu sopan santun, ya! Ajarkan dia menjadi wanita berharga! Jangan murahan!"

Perkataan Raya membuat Farah merasa kehilangan oksigen, mendadak kepalanya terasa sakit.

Semua terjadi begitu cepat. Tekanan darah tinggi pun menyerangnya, sehingga Farah terjatuh di lantai.

"Ibu!" teriak Nia.

Mendengar teriakan putrinya, Farah memegangi kepalanya, tetap berusaha sadar. Sayup-sayup dia mendengar Nia juga menjerit minta tolong.

"Raya, tolong bantu aku! Beri aku dan ibu tumpangan ke rumah sakit," pinta Nia dengan memohon.

Sayangnya, kebencian terhadap Nia sudah pada puncaknya. Raya tidak akan pernah mau menolong Nia.

"Ck, acting!" ejek Raya.

Raya bahkan yakin jika Farah tengah bersandiwara. Oleh sebab itu, segera Raya pergi. Dia juga tidak ingin disalahkan nantinya.

"RAYA!" Nia berteriak, berharap Raya yang sudah menyalakan mesin mobilnya bisa berubah pikiran lalu mengantarkan Farah menuju rumah sakit agar mendapatkan pertolongan secepat mungkin.

Nia sungguh takut kehilangan Farah. Baru saja, dia kehilangan Anwar yang membuat dunia seakan hancur. Apa mungkin harus kehilangan Farah juga?

Tidak, Nia tidak bisa!

Melihat Nia yang menjerit, warga sekitar pun berkumpul, hingga akhirnya memberikan pertolongan dan membawa Farah menuju rumah sakit.

******

"Ada masalah serius. Pasien mengalami masalah pada jantung karena tekanan darahnya begitu tinggi. Dia harus melakukan pencangkokan jantung secepat mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien," jelas sang dokter.

Angin terasa berhembus kencang, tubuh Nia mendadak menggigil mengetahui keadaan sang Ibu.

Kepergian sang Ayah benar-benar membuat Farah menjadi lemah. Dan, Nia adalah penyebab utamanya.

"Berapa biayanya, Dok?" tanya Nia berusaha tetap kuat.

"Anda bisa bicarakan pada bagian administrasi, saya permisi."

Setelah dokter itu berlalu, kaki Nia terasa lemas dengan hati yang penuh luka. Dia bahkan terduduk di lantai tanpa peduli keadaan sekitarnya.

Sungguh, dia menyesal karena naif dan percaya pada Reza dan Raya.

Dua sahabat yang dia kasihi sepenuh hati, ternyata adalah sumber penderitaannya. Saat Nia sibuk memikirkan perasaan mereka, keduanya bahkan tidak peduli sama sekali.

Mereka menunjukkan wajah asli mereka yang ternyata memandang harta dalam pertemanan.

Tangan Nia mengepal. Buku-buku jarinya bahkan memutih.

Seketika dia menyadari sesuatu. Saat ini, penyesalan pun sudah tidak berguna. Dia harus segera menemukan cara untuk menyelamatkan Ibunya.

Nia pun melangkah dan bertanya pada pihak administrasi. Namun, kakinya melemas mendengar pernyataan selanjutnya, “Harganya 100 juta dan harus dibayarkan segera.”

Nia begitu stress memikirkan nominal rupiah tersebut.

Tapi apa yang bisa dilakukannya saat ini, dari mana Nia bisa mendapatkan uang yang banyak? Bahkan, rumah yang mereka tempati saja masih mengontrak dan bukanlah peninggalan Bapaknya.

Nia memang memiliki satu sepeda motor, tapi berapa harganya?

Tidak! Nia tidak mau kehilangan ibu. Dirinya akan menjadi sebatang kara jika ditinggalkan oleh Farah juga.

Sampai di sini, Nia kembali menjernihkan pikiran walaupun sebenarnya sudah begitu buntu.

Dengan segera, Nia mengambil ponselnya, masih berharap Raya mau membantunya.

Sayangnya tidak, bahkan Raya dan Reza sudah memblokir nomor ponselnya.

"Apa yang aku harapkan?" Kepingan ingatan saat-saat Nia menolong Reza dan Raya pun terulang kembali. Saat-saat Reza terpuruk karena Raya meninggalkan tanpa alasan.

Datang dan pergi dengan sesukanya.

"Aku mencintainya Nia, aku sangat mencintainya," Reza memeluk Nia, meminta sedikit kehangatan agar dapat tenang dalam perasaan yang penuh kerinduan.

Sebagai seorang sahabat yang berhati tulus, Nia pun memberikan pundaknya, berharap Reza bisa segera pulih kembali seperti sedia kala.

Nia memberikan pundaknya untuk Reza bersandar, hingga pria yang tengah terpuruk karena ditinggalkan oleh kekasihnya tersebut bisa bangkit kembali.

Begitu pun dengan Raya. Saat dirinya ingin kembali pada Reza, Nia yang dijadikan alat. Sahabatnya itu memohon pada Nia untuk menolongnya--menjadi perantara antara dirinya dan Reza.

Namun, Nia terlupakan setelah keduanya bersatu kembali.

Mereka bahkan bersamaan menghina dirinya, mengkhianati persahabatan tulus ketiganya.

Nia kembali memejamkan mata. Dia tidak ingin mengingat setiap masa sakit itu, masa-masa bersama yang dipenuhi dengan ketulusan hatinya.

Ketika mereka terluka, Nia ada di sisi mereka. Saat Nia terluka?

Jangan ditanya! Mereka tidak ada. Hanya dirinya sendiri yang Nia punya.

Sudah cukup jelas jika Raya dan Reza adalah manusia berhati iblis.

"Aku tidak akan pernah memaafkan kalian," lirih Nia.

Comments (21)
goodnovel comment avatar
Suherni 123
Nia nya terlalu naif
goodnovel comment avatar
Suherni 123
betul,,,di jaman sekolah aja mereka milih milih teman apalagi udah dewasa
goodnovel comment avatar
Yai Siti aminah
bangkit nia kamu harus mebuktikan ke mereka bahwa kamu bisa merubah nasib
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status