Ayahnya telah tiada.
Hati Nia masih begitu sesak menatap pusara sang Bapak.
Nia pun memeluk Farah, berusaha menguatkan perasaan sang Ibu walaupun hanya hancur lebur tanpa sisa.
"Kenapa Bapak pergi? Bagaimana dengan kami?" Sebagai seorang istri, pastinya Farah begitu hancur kehilangan suaminya untuk selamanya.
Dengan langkah yang berat, Nia berusaha menuntun Ibunya ke rumah.
Ketika mereka sudah sampai, Nia langsung berlutut di depan Farah. "Maaf, Bu. Maafkan, aku!"
Farah hanya terdiam menatapnya. Kini, dia hanya memiliki Nia dalam hidupnya. Haruskah dia menyalahkan putrinya ini?
Saat masih berpikir, tiba-tiba seorang perempuan masuk ke rumah mereka tanpa permisi dan berkata, "Kamu wanita murahan! Kenapa kamu menemui Reza dan Ibunya? Jangan coba-coba mengganggu pernikahan kami, ya!"
"Aku tidak bisa berbasa-basi! Sekarang aku tahu, kamu bersahabat denganku hanya karena kami orang kaya! Sayangnya, kau itu sudah ditakdirkan menjadi gembel, tidak usah bermimpi menjadi tuan putri!" Dengan kasar, Raya pun mendorong Nia.
Tubuh Nia pun kehilangan keseimbangan, hampir saja terjatuh pada sandaran kursi.
Beruntung, Farah menahan tubuh anaknya secepat mungkin.
Nia pun mengeluarkan keringat dingin, entah apa yang terjadi jika saja perutnya mengenai benda keras tersebut.
"Raya, kalian sudah berteman lama. Bukankah bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan cara baik-baik dan kepala dingin?" Farah pun mencoba menengahi perdebatan, tidak ingin menjadi tontonan warga yang mendatangi kediamannya dalam suasana duka ini.
Mendengar perkataan Farah, bukannya menjadi lebih baik, Raya justru menunjuk wajah Farah dengan tangan kirinya. "Hey, kamu! Ajarkan anakmu sopan santun, ya! Ajarkan dia menjadi wanita berharga! Jangan murahan!"
Perkataan Raya membuat Farah merasa kehilangan oksigen, mendadak kepalanya terasa sakit.
Semua terjadi begitu cepat. Tekanan darah tinggi pun menyerangnya, sehingga Farah terjatuh di lantai.
"Ibu!" teriak Nia.
Mendengar teriakan putrinya, Farah memegangi kepalanya, tetap berusaha sadar. Sayup-sayup dia mendengar Nia juga menjerit minta tolong.
"Raya, tolong bantu aku! Beri aku dan ibu tumpangan ke rumah sakit," pinta Nia dengan memohon.
Sayangnya, kebencian terhadap Nia sudah pada puncaknya. Raya tidak akan pernah mau menolong Nia.
"Ck, acting!" ejek Raya.
Raya bahkan yakin jika Farah tengah bersandiwara. Oleh sebab itu, segera Raya pergi. Dia juga tidak ingin disalahkan nantinya.
"RAYA!" Nia berteriak, berharap Raya yang sudah menyalakan mesin mobilnya bisa berubah pikiran lalu mengantarkan Farah menuju rumah sakit agar mendapatkan pertolongan secepat mungkin.
Nia sungguh takut kehilangan Farah. Baru saja, dia kehilangan Anwar yang membuat dunia seakan hancur. Apa mungkin harus kehilangan Farah juga?
Tidak, Nia tidak bisa!
Melihat Nia yang menjerit, warga sekitar pun berkumpul, hingga akhirnya memberikan pertolongan dan membawa Farah menuju rumah sakit.
******
"Ada masalah serius. Pasien mengalami masalah pada jantung karena tekanan darahnya begitu tinggi. Dia harus melakukan pencangkokan jantung secepat mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien," jelas sang dokter.
Angin terasa berhembus kencang, tubuh Nia mendadak menggigil mengetahui keadaan sang Ibu.
Kepergian sang Ayah benar-benar membuat Farah menjadi lemah. Dan, Nia adalah penyebab utamanya.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Nia berusaha tetap kuat.
"Anda bisa bicarakan pada bagian administrasi, saya permisi."
Setelah dokter itu berlalu, kaki Nia terasa lemas dengan hati yang penuh luka. Dia bahkan terduduk di lantai tanpa peduli keadaan sekitarnya.
Sungguh, dia menyesal karena naif dan percaya pada Reza dan Raya.
Dua sahabat yang dia kasihi sepenuh hati, ternyata adalah sumber penderitaannya. Saat Nia sibuk memikirkan perasaan mereka, keduanya bahkan tidak peduli sama sekali.
Mereka menunjukkan wajah asli mereka yang ternyata memandang harta dalam pertemanan.
Tangan Nia mengepal. Buku-buku jarinya bahkan memutih.
Seketika dia menyadari sesuatu. Saat ini, penyesalan pun sudah tidak berguna. Dia harus segera menemukan cara untuk menyelamatkan Ibunya.
Nia pun melangkah dan bertanya pada pihak administrasi. Namun, kakinya melemas mendengar pernyataan selanjutnya, “Harganya 100 juta dan harus dibayarkan segera.”
Nia begitu stress memikirkan nominal rupiah tersebut.
Tapi apa yang bisa dilakukannya saat ini, dari mana Nia bisa mendapatkan uang yang banyak? Bahkan, rumah yang mereka tempati saja masih mengontrak dan bukanlah peninggalan Bapaknya.
Nia memang memiliki satu sepeda motor, tapi berapa harganya?
Tidak! Nia tidak mau kehilangan ibu. Dirinya akan menjadi sebatang kara jika ditinggalkan oleh Farah juga.
Sampai di sini, Nia kembali menjernihkan pikiran walaupun sebenarnya sudah begitu buntu.
Dengan segera, Nia mengambil ponselnya, masih berharap Raya mau membantunya.
Sayangnya tidak, bahkan Raya dan Reza sudah memblokir nomor ponselnya.
"Apa yang aku harapkan?" Kepingan ingatan saat-saat Nia menolong Reza dan Raya pun terulang kembali. Saat-saat Reza terpuruk karena Raya meninggalkan tanpa alasan.
Datang dan pergi dengan sesukanya."Aku mencintainya Nia, aku sangat mencintainya," Reza memeluk Nia, meminta sedikit kehangatan agar dapat tenang dalam perasaan yang penuh kerinduan.
Sebagai seorang sahabat yang berhati tulus, Nia pun memberikan pundaknya, berharap Reza bisa segera pulih kembali seperti sedia kala.
Nia memberikan pundaknya untuk Reza bersandar, hingga pria yang tengah terpuruk karena ditinggalkan oleh kekasihnya tersebut bisa bangkit kembali.
Begitu pun dengan Raya. Saat dirinya ingin kembali pada Reza, Nia yang dijadikan alat. Sahabatnya itu memohon pada Nia untuk menolongnya--menjadi perantara antara dirinya dan Reza.
Namun, Nia terlupakan setelah keduanya bersatu kembali.
Mereka bahkan bersamaan menghina dirinya, mengkhianati persahabatan tulus ketiganya.
Nia kembali memejamkan mata. Dia tidak ingin mengingat setiap masa sakit itu, masa-masa bersama yang dipenuhi dengan ketulusan hatinya.
Ketika mereka terluka, Nia ada di sisi mereka. Saat Nia terluka?
Jangan ditanya! Mereka tidak ada. Hanya dirinya sendiri yang Nia punya.
Sudah cukup jelas jika Raya dan Reza adalah manusia berhati iblis.
"Aku tidak akan pernah memaafkan kalian," lirih Nia.
“Harganya 100 juta dan harus dibayarkan paling lambat besok.”Suara petugas administrasi terngiang-ngiang di kepala Nia."Apa yang harus kulakukan?” Sisa-sisa penyesalan kini begitu terasa, cinta yang tulus ternyata tidak ada harganya.Ketika semua terbalas dengan sakit hati dan air mata, terpuruk sendiri tanpa ada yang peduli pada keadaannya.Di tengah keterpurukannya Nia merasa haus, mungkin dengan meneguk mineral dan memakan makan bisa sedikit membantu.Sebab, dirinya harus sehat disaat ini. Tidak ada yang dapat membantu ibunya selain dirinya sendiri.Nia kemudian memutuskan ke kantin. Saat sedang duduk, Nia menemukan Bunga yang hampir terpeleset di depan mejanya. Seketika perempuan paruh baya itu tersadar bahwa Nia adalah orang yang pernah membantunya. “Kamu Nia kan yang pernah menolong saya saat kejambretan di Pasar Lama?” Nia lalu teringat pernah menolong Ibu ini. Kejadian di mana wanita itu dijambret seakan terputar di kepalanya. Sungguh hebat perempuan ini mampu mengingatny
“Operasi berjalan lancar. Kita hanya perlu menunggu Nyonya Farah sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Tak lama setelah pengumuman dari tim medis, Nia kembali didatangi dan ditagih Bunga untuk menepati janji untuk mengikuti syarat perempuan tua itu. Namun, Nia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjadi Istri untuk anaknya yang Duda beranak satu. Bahkan, semua keperluan pernikahan telah disiapkan oleh Bunga di rumah sakit!Bagaimana perempuan itu dapat melakukannya?Saat sedangmenunggu pengantinnya, Nia tiba-tiba terkejut setelah melihat siapa yang menikahinya. “Pak Dion?” ucap Nia tanpa sadar.Pria berwajah tampan di hadapannya adalah Dion Abraham Winata, paman dari Reza. Tunggu! Bagaimana mungkin ini terjadi?“Bapak, yakin menikahi saya?” Mengingat betapa hinanya Nia dan keluarga di mata keluarga Reza, bukankah seharusnya Pak Dion juga sama?“Menurutmu?” jawab pria itu datar, tidak peduli dengan kegundahan hati Nia.*****Pernikahan mendadak itu segera dilaksanakan di rumah saki
Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut. Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh."Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan meng
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita
"MAMI!" seru Dila.Dila yang terbangun dari tidurnya, kemudian mencari Nia saat mengetahui dirinya hanya sendirian berada di kamar.Lagi-lagi Nia pun harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Dion."Cepat!" Dion pun menyadarkan Nia.Dengan segera Nia pun berjalan menghampiri Dila dan kembali membawanya ke dalam kamar. "Dila, bobo lagi ya." "Ya, Mami!" Dila pun menurut, kemudian memeluk leher Nia.Sesaat kemudian terdengar napas Dila yang beraturan, tandanya Dila sudah terlelap kembali.Dion pun memasuki kamar Dila, seharian ini tidak bertemu membuatnya merasa begitu rindu.Setelah mencium kening Dila, Dion pun berniat keluar."Tuan, aku benar-benar ingin bicara," Nia tidak patah semangat.Sekalipun terus saja ditolak, tetapi terus berusaha untuk didengarkan.Dirinya benar-benar sudah yakin untuk mengatakan kehamilannya, bahkan siapa Ayah dari janinnya.Biarlah nantinya menjadi urusan nanti, saat ini kejujuran adalah hal utama.Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh Nia, sehingg