"Kau dengar sendiri, kan? Pergi dari rumah kami! Dasar, kalian pemulung gila! Anakku Reza yang tampan dan kaya raya itu, tidak akan sudi tidur dengan putri gembel milikmu! Banyak wanita di luaran sana yang lebih baik dan rela memberikan dirinya. Lalu, kenapa harus putrimu?" Liana pun mengerakkan kipas di tangannya, seakan tidak peduli pada lelaki yang mengharapkan tangung jawab atas anaknya.
Merasa tidak dihargai, Anwar pun masih mencoba untuk membela putrinya. Sekalipun sudah membuatnya kecewa, tapi rasa cinta seorang Ayah tidak akan mungkin berubah walaupun secuil.
"Mohon maaf Nyonya, kami memang orang miskin --"
"--Bagus kalau sadar." Liana tersenyum miring menatap sendal jepit milik Anwar.
Anwar tahu Liana dan Reza tidak menghargai dirinya dan anaknya yang mengharapkan pertanggung jawaban. Tetapi, dirinya masih sangat berharap jika hati Liana maupun Reza bisa terbuka.
Apa jadinya jika putrinya mengandung tanpa seorang suami, bagaimana nantinya nasib janin itu setelah lahir tanpa seorang Ayah?
"Nyonya, saya yakin jika janin yang ada di rahim putri saya adalah cucu Anda. Saya mohon. Jika kalian mau, silakan melakukan tes DNA setelah bayinya lahir." Anwar berbicara dengan nada suara rendah, berharap hati Liana terketuk dan bisa membuat Reza menikahi Nia.
Sekalipun itu adalah hinaan untuk dirinya dan juga putrinya, tidak apa. Meski nantinya Nia dinikahi pun, rasanya sudah begitu terhina. Namun, itu lebih baik dari pada putrinya dihina orang-orang karena hamil tanpa suami.
"Hey! Jangan lagi mengatakan bahwa anakmu ini dihamili anakku! Sadarlah! Lihat tadi sikapnya? Melihat anakmu saja, dia jijik. Mana mungkin menyentuh? Kalian ini dua gembel yang entah dari mana, tapi ingin kaya dengan cara instan. Dasar, Licik!"
Tidak ada rasakasihan, apa lagi pertanggung jawaban. Liana tidak mungkin mau menikahkan putranya dengan Nia.
"Satpam! Seret mereka keluar dari rumah ini! Jangan pernah membiarkan dua gembel menjijikan ini, menginjakkan kaki di rumah ini!"
Anwar pun diseret paksa, kemudian dilemparkan ke tengah jalanan.
Dengan mata kepalanya, Nia menyaksikan jika Anwar diperlukan layaknya seekor binatang. Bahkan, binatang bisa jadi lebih mulia daripada perlakuan mereka yang kaya terhadap orang miskin.
Di sini Nia tahu alasan dari Bapaknya yang selalu mengingatkan nya untuk tidak berteman apa lagi berpacaran dengan orang kaya. Namun, semua terlambat.
Sesaat kemudian, giliran Nia di seret paksa oleh satpam.
Dari ujung matanya, Nia dapat melihat ada mobil yang melaju dari arah barat, sedangkan Anwar masih berada di tengah jalan. Kakinya yang terbentur pada batu membuatnya sulit untuk bergerak.
"Bapak!" teriak Nia saat melihat mobil sport mewah yang begitu kencang.
"Aaaaaa!" Anwar akhirnya berteriak dengan kencang saat menyadari situasinya.
Tabrakan pun tidak bisa dihindari, kaki Anwar terhantam ban mobil di depannya.
Liana juga ikut menyaksikan semua itu dengan jelas dari ambang pintu.
Sesaat kemudian, pemilik mobil pun turun. Ternyata, itu adalah Chandra Winata, ayah dari Reza.
"Mampus!" Liana berseru dan tersenyum puas melihat penderita Anwar yang sudah lancang menghinanya.
"Mama, kenal mereka?" Chandra pun bertanya langsung kepada istrinya.
"Dia ini gembel yang ngaku-ngaku sedang mengandung anak dari Reza, Pa," jelas Liana pada suaminya.
Chandra pun menatap pakaian lusuh Anwar, berlanjut seorang wanita yang tengah menangis memeluk Ayahnya.
"Cih! Orang susah! Kalau begitu, menyingkirlah kalian!" sergah Chandra Winata penuh kebencian. Tadinya, dia ingin meminta maaf pada orang yang dtabraknya. Namun, ternyata dia adalah orang gila yang bermimpi untuk menipu keluarga mereka.
"Terakhir kali, kami peringatkan, ya! Jangan pernah datang ke sini! Apalagi, Reza akan menikahi calon istrinya yang jauh darimu! Raya adalah calon menantu kami, anak pengusaha tambang batubara. Kau siapa? Berkacalah!" Puas menghina Nia, Liana pun berlalu pergi bersama dengan suaminya. Mereka masuk ke dalam rumah tanpa peduli pada lelaki yang tengah menahan sakit akibat tabrakan yang dilakukan oleh Chandra.
"Bapak!!!" Nia menjerit sambil memeluk Anwar, berharap ada yang bisa menolongnya. Hingga, tanpa sengaja, mata Nia menatap ke arah balkon. Reza ada di sana,
tersenyum miring dan bahkan meludah. Menunjukan betapa dirinya sangat jijik pada Nia.
Anwar pun memegang dadanya, merasa sesak.
"Bapak!!!!" Nia kembali menangis melihat kondisi Anwar.
Melihat ada taxi yang lewat, Nia segera menghentikannya dan membawa Anwar menuju puskesmas terdekat. Salah satu kaki Anwar pun diperban.
Keduanya lalu kembali pulang ke rumah dengan keadaan yang begitu memperhatikan, ditambah perasaan yang campur aduk.
Bukan pertanggungjawaban yang didapat, melainkan hinaan. Bahkan, kaki Anwar kini pincang dan dadanya begitu sesak. Pria tua itu berusaha untuk tetap kuat.
"Bagaimana, Pak? Apa mereka mau bertanggungjawab?"
Dengan mata sembab, Farah, Ibu dari Nia yang menunggu di rumah dengan cemas, langsung bertanya pada Nia dan Anwar.
Sesaat kemudian, Farah menyadari suaminya yang pulang dipapah oleh Nia dengan perban di kaki.
"Tunggu! Bapak, kenapa begini?" Panik, Farah pun membantu suaminya untuk duduk di kursi reot di ruang tamu.
"Maaf, Pak! Maaf, Bu!" Nia bersimpuh di hadapan Bapaknya, tertunduk dengan perasaan penuh rasa bersalah.
Anwar masih saja tidak putus asa. Baginya, Reza harus bertanggung jawab atas anaknya. Tiba-tiba, dia teringat nama seseorang yang disebutkan oleh keluarga kaya itu dengan bangganya.
"Apa Raya yang dimaksud oleh mereka tadi adalah Raya sahabatmu?"
Nia pun mengangguk sebagai jawaban.
"Telepon Raya! Mintalah padanya untuk menggagalkan pernikahannya!" papar Anwar.
Deg!
Nia tersentak mendengar keinginan Anwar, seketika mendongkak menatap wajah Anwar. Meyakinkan dirinya bahwa apa yang didengar barusan rusaklah salah.
"Kenapa?" tanya Anwar.
"Enggak Pak, Raya sama Nia bersahabat!" Pada dasarnya, Nia memiliki hati yang baik, sehingga tidak akan bisa menyakiti orang di sekitarnya. Meskipun Raya tidak terlalu mencintai Reza seperti dirinya, tetapi Nia tidak ingin menghancurkan acara penting di hidupnya itu.
"Nia--" Tangan Anwar memegang dadanya yang terasa sakit. "Kenapa kau masih saja memikirkan orang lain?"
"Bapak, bapak kenapa?" Farah panik melihat keadaan suaminya.
Berkali-kali, pria itu mengambil udara dari mulut untuk bernapas.
"BAPAK!" Nia menangis, menjerit sekencang mungkin menyaksikan itu semua.
Tak lama, Anwar pun jatuh.
Ayahnya telah tiada.Hati Nia masih begitu sesak menatap pusara sang Bapak. Nia pun memeluk Farah, berusaha menguatkan perasaan sang Ibu walaupun hanya hancur lebur tanpa sisa. "Kenapa Bapak pergi? Bagaimana dengan kami?" Sebagai seorang istri, pastinya Farah begitu hancur kehilangan suaminya untuk selamanya. Dengan langkah yang berat, Nia berusaha menuntun Ibunya ke rumah. Ketika mereka sudah sampai, Nia langsung berlutut di depan Farah. "Maaf, Bu. Maafkan, aku!" Farah hanya terdiam menatapnya. Kini, dia hanya memiliki Nia dalam hidupnya. Haruskah dia menyalahkan putrinya ini? Saat masih berpikir, tiba-tiba seorang perempuan masuk ke rumah mereka tanpa permisi dan berkata, "Kamu wanita murahan! Kenapa kamu menemui Reza dan Ibunya? Jangan coba-coba mengganggu pernikahan kami, ya!" Raya datang menemui Nia langsung ke rumahnya. Perempuan itu terlihat tidak peduli bahwa mereka sedang berduka karena kehilangan Anwar. "Raya, bisakah bicara baik-baik? Kamu duduk dulu," Nia pun be
“Harganya 100 juta dan harus dibayarkan paling lambat besok.”Suara petugas administrasi terngiang-ngiang di kepala Nia."Apa yang harus kulakukan?” Sisa-sisa penyesalan kini begitu terasa, cinta yang tulus ternyata tidak ada harganya.Ketika semua terbalas dengan sakit hati dan air mata, terpuruk sendiri tanpa ada yang peduli pada keadaannya.Di tengah keterpurukannya Nia merasa haus, mungkin dengan meneguk mineral dan memakan makan bisa sedikit membantu.Sebab, dirinya harus sehat disaat ini. Tidak ada yang dapat membantu ibunya selain dirinya sendiri.Nia kemudian memutuskan ke kantin. Saat sedang duduk, Nia menemukan Bunga yang hampir terpeleset di depan mejanya. Seketika perempuan paruh baya itu tersadar bahwa Nia adalah orang yang pernah membantunya. “Kamu Nia kan yang pernah menolong saya saat kejambretan di Pasar Lama?” Nia lalu teringat pernah menolong Ibu ini. Kejadian di mana wanita itu dijambret seakan terputar di kepalanya. Sungguh hebat perempuan ini mampu mengingatny
“Operasi berjalan lancar. Kita hanya perlu menunggu Nyonya Farah sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Tak lama setelah pengumuman dari tim medis, Nia kembali didatangi dan ditagih Bunga untuk menepati janji untuk mengikuti syarat perempuan tua itu. Namun, Nia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjadi Istri untuk anaknya yang Duda beranak satu. Bahkan, semua keperluan pernikahan telah disiapkan oleh Bunga di rumah sakit!Bagaimana perempuan itu dapat melakukannya?Saat sedangmenunggu pengantinnya, Nia tiba-tiba terkejut setelah melihat siapa yang menikahinya. “Pak Dion?” ucap Nia tanpa sadar.Pria berwajah tampan di hadapannya adalah Dion Abraham Winata, paman dari Reza. Tunggu! Bagaimana mungkin ini terjadi?“Bapak, yakin menikahi saya?” Mengingat betapa hinanya Nia dan keluarga di mata keluarga Reza, bukankah seharusnya Pak Dion juga sama?“Menurutmu?” jawab pria itu datar, tidak peduli dengan kegundahan hati Nia.*****Pernikahan mendadak itu segera dilaksanakan di rumah saki
Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut. Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh."Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan meng
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita