Share

Bab 2

"Kau dengar sendiri, kan? Pergi dari rumah kami! Dasar, kalian pemulung gila! Anakku Reza yang tampan dan kaya raya itu, tidak akan sudi tidur dengan putri gembel milikmu! Banyak wanita di luaran sana yang lebih baik dan rela memberikan dirinya. Lalu, kenapa harus putrimu?" Liana pun mengerakkan kipas di tangannya, seakan tidak peduli pada lelaki yang mengharapkan tangung jawab atas anaknya.

Merasa tidak dihargai, Anwar pun masih mencoba untuk membela putrinya. Sekalipun sudah membuatnya kecewa, tapi rasa cinta seorang Ayah tidak akan mungkin berubah walaupun secuil.

"Mohon maaf Nyonya, kami memang orang miskin --"

"--Bagus kalau sadar." Liana tersenyum miring menatap sendal jepit milik Anwar.

Anwar tahu Liana dan Reza tidak menghargai dirinya dan anaknya yang mengharapkan pertanggung jawaban. Tetapi, dirinya masih sangat berharap jika hati Liana maupun Reza bisa terbuka.

Apa jadinya jika putrinya mengandung tanpa seorang suami, bagaimana nantinya nasib janin itu setelah lahir tanpa seorang Ayah?

"Nyonya, saya yakin jika janin yang ada di rahim putri saya adalah cucu Anda. Saya mohon. Jika kalian mau, silakan melakukan tes DNA setelah bayinya lahir." Anwar berbicara dengan nada suara rendah, berharap hati Liana terketuk dan bisa membuat Reza menikahi Nia.

Sekalipun itu adalah hinaan untuk dirinya dan juga putrinya, tidak apa. Meski nantinya Nia dinikahi pun, rasanya sudah begitu terhina. Namun, itu lebih baik dari pada putrinya dihina orang-orang karena hamil tanpa suami.

"Hey! Jangan lagi mengatakan bahwa anakmu ini dihamili anakku! Sadarlah! Lihat tadi sikapnya? Melihat anakmu saja, dia jijik. Mana mungkin menyentuh? Kalian ini dua gembel yang entah dari mana, tapi ingin kaya dengan cara instan. Dasar, Licik!"

Tidak ada rasakasihan, apa lagi pertanggung jawaban. Liana tidak mungkin mau menikahkan putranya dengan Nia.

"Satpam! Seret mereka keluar dari rumah ini! Jangan pernah membiarkan dua gembel menjijikan ini, menginjakkan kaki di rumah ini!"

Anwar pun diseret paksa, kemudian dilemparkan ke tengah jalanan.

Dengan mata kepalanya, Nia menyaksikan jika Anwar diperlukan layaknya seekor binatang. Bahkan, binatang bisa jadi lebih mulia daripada perlakuan mereka yang kaya terhadap orang miskin.

Di sini Nia tahu alasan dari Bapaknya yang selalu mengingatkan nya untuk tidak berteman apa lagi berpacaran dengan orang kaya. Namun, semua terlambat. 

Sesaat kemudian, giliran Nia di seret paksa oleh satpam.

Dari ujung matanya, Nia dapat melihat ada mobil yang melaju dari arah barat, sedangkan Anwar masih berada di tengah jalan. Kakinya yang terbentur pada batu membuatnya sulit untuk bergerak.

"Bapak!" teriak Nia saat melihat mobil sport mewah yang begitu kencang.

"Aaaaaa!" Anwar akhirnya berteriak dengan kencang saat menyadari situasinya.

Tabrakan pun tidak bisa dihindari, kaki Anwar terhantam ban mobil di depannya.

Liana juga ikut menyaksikan semua itu dengan jelas dari ambang pintu.

Sesaat kemudian, pemilik mobil pun turun. Ternyata, itu adalah Chandra Winata, ayah dari Reza.

"Mampus!" Liana berseru dan tersenyum puas melihat penderita Anwar yang sudah lancang menghinanya.

"Mama, kenal mereka?" Chandra pun bertanya langsung kepada istrinya.

"Dia ini gembel yang ngaku-ngaku sedang mengandung anak dari Reza, Pa," jelas Liana pada suaminya.

Chandra pun menatap pakaian lusuh Anwar, berlanjut seorang wanita yang tengah menangis memeluk Ayahnya.

"Cih! Orang susah! Kalau begitu, menyingkirlah kalian!" sergah Chandra Winata penuh kebencian. Tadinya, dia ingin meminta maaf pada orang yang dtabraknya. Namun, ternyata dia adalah orang gila yang bermimpi untuk menipu keluarga mereka.

"Terakhir kali, kami peringatkan, ya! Jangan pernah datang ke sini! Apalagi, Reza akan menikahi calon istrinya yang jauh darimu! Raya adalah calon menantu kami, anak pengusaha tambang batubara. Kau siapa? Berkacalah!" Puas menghina Nia, Liana pun berlalu pergi bersama dengan suaminya. Mereka masuk ke dalam rumah tanpa peduli pada lelaki yang tengah menahan sakit akibat tabrakan yang dilakukan oleh Chandra.

"Bapak!!!" Nia menjerit sambil memeluk Anwar, berharap ada yang bisa menolongnya. Hingga, tanpa sengaja, mata Nia menatap ke arah balkon. Reza ada di sana, 

tersenyum miring dan bahkan meludah. Menunjukan betapa dirinya sangat jijik pada Nia.

Anwar pun memegang dadanya, merasa sesak.

"Bapak!!!!" Nia kembali menangis melihat kondisi Anwar.

Melihat ada taxi yang lewat, Nia segera menghentikannya dan membawa Anwar menuju puskesmas terdekat. Salah satu kaki Anwar pun diperban.

Keduanya lalu kembali pulang ke rumah dengan keadaan yang begitu memperhatikan, ditambah perasaan yang campur aduk.

Bukan pertanggungjawaban yang didapat, melainkan hinaan. Bahkan, kaki Anwar kini pincang dan dadanya begitu sesak. Pria tua itu berusaha untuk tetap kuat.

"Bagaimana, Pak? Apa mereka mau bertanggungjawab?"

Dengan mata sembab, Farah, Ibu dari Nia yang menunggu di rumah dengan cemas, langsung bertanya pada Nia dan Anwar.

Sesaat kemudian, Farah menyadari suaminya yang pulang dipapah oleh Nia dengan perban di kaki.

"Tunggu! Bapak, kenapa begini?" Panik, Farah pun membantu suaminya untuk duduk di kursi reot di ruang tamu.

"Maaf, Pak! Maaf, Bu!" Nia bersimpuh di hadapan Bapaknya, tertunduk dengan perasaan penuh rasa bersalah.

Anwar masih saja tidak putus asa. Baginya, Reza harus bertanggung jawab atas anaknya. Tiba-tiba, dia teringat nama seseorang yang disebutkan oleh keluarga kaya itu dengan bangganya.

"Apa Raya yang dimaksud oleh mereka tadi adalah Raya sahabatmu?"

Nia pun mengangguk sebagai jawaban.

"Telepon Raya! Mintalah padanya untuk menggagalkan pernikahannya!" papar Anwar.

Deg!

Nia tersentak mendengar keinginan Anwar, seketika mendongkak menatap wajah Anwar. Meyakinkan dirinya bahwa apa yang didengar barusan rusaklah salah.

"Kenapa?" tanya Anwar.

"Enggak Pak, Raya sama Nia bersahabat!" Pada dasarnya, Nia memiliki hati yang baik, sehingga tidak akan bisa menyakiti orang di sekitarnya. Meskipun Raya tidak terlalu mencintai Reza seperti dirinya, tetapi Nia tidak ingin menghancurkan acara penting di hidupnya itu.

"Nia--" Tangan Anwar memegang dadanya yang terasa sakit. "Kenapa kau masih saja memikirkan orang lain?"

"Bapak, bapak kenapa?" Farah panik melihat keadaan suaminya.

Berkali-kali, pria itu mengambil udara dari mulut untuk bernapas.

"BAPAK!" Nia menangis, menjerit sekencang mungkin menyaksikan itu semua.

Tak lama, Anwar pun jatuh.

Comments (19)
goodnovel comment avatar
Yane Mandena
yang sabar ya nia
goodnovel comment avatar
Surnila Watii
ceritanya bagus di tunggu kelanjutnnya
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
kenapa ga dibuat mati aja bapaknya pas di tabrak, biar mambah seru penderitannya.. kok maksa banget alurnya, bapaknya tiba2 ditabrak..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status