“Operasi berjalan lancar. Kita hanya perlu menunggu Nyonya Farah sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
Tak lama setelah pengumuman dari tim medis, Nia kembali didatangi dan ditagih Bunga untuk menepati janji untuk mengikuti syarat perempuan tua itu.
Namun, Nia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjadi Istri untuk anaknya yang Duda beranak satu. Bahkan, semua keperluan pernikahan telah disiapkan oleh Bunga di rumah sakit!
Bagaimana perempuan itu dapat melakukannya?
Saat sedangmenunggu pengantinnya, Nia tiba-tiba terkejut setelah melihat siapa yang menikahinya.
“Pak Dion?” ucap Nia tanpa sadar.
Pria berwajah tampan di hadapannya adalah Dion Abraham Winata, paman dari Reza. Tunggu! Bagaimana mungkin ini terjadi?
“Bapak, yakin menikahi saya?” Mengingat betapa hinanya Nia dan keluarga di mata keluarga Reza, bukankah seharusnya Pak Dion juga sama?
“Menurutmu?” jawab pria itu datar, tidak peduli dengan kegundahan hati Nia.
*****
Pernikahan mendadak itu segera dilaksanakan di rumah sakit meski Farah masih terbaring lemah. Nia begitu syok dengan semua ini.
Dion yang begitu dingin, ternyata menuruti perkataan Bunga. Berbanding terbalik dengan anak Dion yang awalnya tidak menerima pernikahan ini.
“Dila cuma mau Mami Dila saja!”
Melihat itu, Bunga menggelengkan kepalanya dan menekan Nia untuk mendekati cucunya. Dia juga menyuruh Nia untuk bersiap ke kediaman Winata.
“Bersiaplah kalian bertiga harus satu mobil!”
Mata Nia membulat, terkejut.
"Satu mobil, Bu?" tanya Nia kembali dengan suara bergetar.
Tidak ada keberanian untuk itu. Terlebih, wajah lelaki itu sangatlah datar.
Sesaat Nia kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
Nia memasuki lobby kantor dengan terburu-buru, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Sekalipun mengenal baik Reza yang menjadi Manager, tapi Nia tidak pernah memanfaatkan kedekatan mereka. Terburu-buru, Nia sampai menabrak dada seseorang.
Brak!!!
"Aduh....." Nia terjatuh dan meringis. Nia mendongkak menatap pria tersebut lalu, bangun dengan sendirinya. Meneguk saliva dengan pahit setelah mengetahui siapa orang yang barusan ditabraknya.
Nia tidak tahu apakah dirinya masih bisa bertahan menjadi OG setelah ini karena yang ditabraknya adalah Dion Abraham Winata!
Meski Nia tidak tahu pasti tentang pria tersebut karena dia hanyalah karyawan rendah, tetapi dari gosip yang beredar, tidak ada satu pun karyawan yang berani menatap pria dingin tersebut!
Presiden direktur itu bagaikan lemari es.
"Saya minta maaf, Pak," ujar Nia dengan perasaan takut, mengingat Dion adalah orang yang memiliki kekuasaan besar.
Sudah pasti Nia hanya abu baginya. Apalagi, wajah Dion yang dingin membuatnya merasa tidak baik-baik saja.
"Nia, kamu baik-baik saja?" tanya Bunga yang membuat lamunan Nia buyar seketika.
Nia pun mengangguk, seakan dirinya baik-baik saja.
Namun, otaknya masih terus berpikir. Apa jadinya setelah ini? Nia kini sudah menikah dengan anggota keluarga Reza. Kemudian, Nia mencoba beralih menatap Bunga yang berdiri di samping Dion.
Nia tidak pernah tahu ternyata Bunga adalah ibu dari Dion. Mungkinkah, wanita menutupi siapa dirinya sebenarnya sejak awal?
Jadi, Nia benar-benar tidak tahu sama sekali. Lihatlah! Bahkan, Bunga begitu sederhana dengan pakaian biasa saat ini.
Jangan lupakan juga jika Bunga suka berbelanja di pasar--tempat pertemuan pertama Nia dengannya dulu.
Mungkin, jarang sekali, bahkan tidak ada orang "berada" mau melakukan tersebut.
'Kacau.' Nia pun membatin, merasa hari-harinya kini penuh dengan kejutan yang begitu luar biasa.
Dion adalah adik dari Ayah kandung Reza, yang berarti Nia akan menjadi tante dari Reza?
Tunggu, janinnya? Nia baru sadar dirinya yang tengah hamil dan malah menikah dengan seorang pria yang jelas bukan Ayah janinnya tersebut.
Oh tidak! Apa yang akan terjadi ke depannya setelah ini semua?
Kenapa Nia lupa? Seharusnya, dia mengatakan dari awal pada Bunga tentang keadaannya.
Perasaan Nia benar-benar campur aduk. Menjelaskan pun, sudah tidak mungkin. Tetapi, Nia juga takut dianggap sebagai seorang penipu.
"Kamu harus bisa mengambil hati cucu saya, membuatnya merasa memiliki Ibu. Paham?" Wajah Bunga begitu serius, sehingga Nia pun cepat-cepat mengangguk.
Nia kemudian mencoba mendekati Dila walaupun bibir anak itu terlihat mengerucut. Gadis kecil itu terang-terangan menunjukkan bahwa kehadiran Nia benar-benar tidak diharapkannya sama sekali.
"Dila," Nia pun sedikit ragu, sebab Dila langsung memunggunginya.
"Nggak, mau!" seru Dila.
"Dila!" Kini Bunga yang berbicara. Wanita itu mengerti keinginan cucunya, tapi apa daya?
Tampaknya, semua yang diinginkan oleh Dila mungkin bisa tercapai dengan menghadirkan seorang ibu pengganti.
"Nggak mau! Maminya Dila bukan dia!" seru Dila menolak dengan nyaring.
Nia melihat Dion yang tidak bergeming. Pria itu tidak melirik Nia sama sekali. Mungkin juga, dia tidak mengetahui wajah wanita yang sudah dinikahinya seperti apa. Nia tidak tahu.
Baru beberapa saat Nia melihat Dion, ternyata Dila sudah berlari secepat mungkin walaupun sebenarnya tenaganya tidak seberapa.
"Dion, kejar Dila!" Bunga panik melihat cucunya yang berlari begitu kencang, kemudian melihat Nia, "susul Dion, pulanglah bersama ke rumah!"
Nia mengangguk lemah. Dengan langkah kaki yang tidak pasti, Nia pun terus melangkah menyusul Dion yang mengejar Dila.
Ketika Dion berhasil membujuk putrinya untuk masuk ke dalam mobil, Nia tertegun. Perempuan itu berada di dekat mobil sambil meremas bajunya.
"Apa yang kau lakukan? Cepat naik!" titah Dion dengan wajah penuh amarah setelah membuka kaca mobilnya. Dila telah duduk di depan--bersampingan dengan Dion.
"Iya, Tuan!" Dengan cepat, Nia pun memasuki mobil. Duduk di jok belakang dalam diam, memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut. Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh."Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan meng
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita
"MAMI!" seru Dila.Dila yang terbangun dari tidurnya, kemudian mencari Nia saat mengetahui dirinya hanya sendirian berada di kamar.Lagi-lagi Nia pun harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Dion."Cepat!" Dion pun menyadarkan Nia.Dengan segera Nia pun berjalan menghampiri Dila dan kembali membawanya ke dalam kamar. "Dila, bobo lagi ya." "Ya, Mami!" Dila pun menurut, kemudian memeluk leher Nia.Sesaat kemudian terdengar napas Dila yang beraturan, tandanya Dila sudah terlelap kembali.Dion pun memasuki kamar Dila, seharian ini tidak bertemu membuatnya merasa begitu rindu.Setelah mencium kening Dila, Dion pun berniat keluar."Tuan, aku benar-benar ingin bicara," Nia tidak patah semangat.Sekalipun terus saja ditolak, tetapi terus berusaha untuk didengarkan.Dirinya benar-benar sudah yakin untuk mengatakan kehamilannya, bahkan siapa Ayah dari janinnya.Biarlah nantinya menjadi urusan nanti, saat ini kejujuran adalah hal utama.Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh Nia, sehingg
Nia pun terbangun dari lelap saat cahaya mentari menyentuh wajahnya. Seketika itu, Nia terkejut mendapati diri di atas ranjang.Dengan gerakan cepat, Nia pun turun dari atas ranjang, kemudian menatap Dion yang masih terlelap di sana.Tunggu! Artinya, dirinya tidur bersama Dion? Nia seketika merasa takut.Tetapi, bukankah dirinya kemarin tidur di bawah.Nia tidak menyadari bahwa geraka-gerakan kecilnya dapat dirasakan Dion, sehingga pria itu tiba-tiba membuka matanya."Maaf tuan, saya tidak tahu kenapa bisa tidur di atas ranjang Anda." Nia pun menutup mulutnya cepat-cepat, sambil melihat reaksi Dion.Tetapi, tak ada yang terjadi.Dion tidak marah sama sekali, membuat Nia bingung."Mami!" Pintu kamar terbuka, tampak Dila yang sudah memakai seragam sekolah.Nia pun menghampiri putri sambungan tersebut, kemudian bertanya siapa yang sudah memakaikan seragam sekolah."Dila, sudah pakai seragam?" Nia sedikit berjongkok agar mengimbangi Dila, "Siapa yang memakaikannya?""Oma," jawab Dila deng
Sesampainya di sekolah, Dila begitu bahagia memperkenalkan Nia pada teman-temannya. Gadis kecil itu menceritakan banyak hal yang kini dilaluinya bersama dengan Mami Nia.Sama seperti saat-saat temannya yang bercerita tentang keseharian mereka bersama kedua orang tuanya.Wajah Dila begitu berseri-seri hingga keadaannya pun semakin membaik."Mami, pulang dulu. Nanti, Mami yang akan menjemput Dila lagi."Dila pun mengangguk cepat, takut kehilangan Nia membuat Dila menurut pada apa saja yang dikatakan oleh Nia."Hati-hati Mami!" seru Dila sebelum akhirnya memasuki kelas.Nia melambaikan tangan, kemudian berjalan ke arah mobil."Tuan, saya pulang naik ojol saja," ucap Nia yang tidak ingin merepotkan Dion. Lagi pula, sangat besar kemungkinan Dion tidak mau pulang bersamanya.Atau, mungkin ada pekerjaan penting?Bukankah merepotkan hanya untuk mengantarkan dirinya pulang?'Ingat Nia, kamu hanya seorang pembantu yang memainkan peran sebagai seorang Ibu untuk Dila, bukan seorang istri untuk Tu