Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.
Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?
"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut.
Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.
Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh.
"Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.
Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan mengoreksi, "Telur mata sapi!"
"Oh iya, aku lupa. Kamu pintar sekali ternyata," Nia tertawa kecil, kemudian berpamitan menuju dapur
Setelah berhasil memasak nasi goreng dan juga telur, Nia pun tersenyum puas melihat hasil kerjanya.
Nia kembali ke kamar Dila, membujuk anak sambungnya itu untuk makan.
Walaupun begitu sulit, tapi Nia tidak menyerah sedikitpun.
"Dila, suka makan apa?" Nia pun duduk di lantai dengan bersila. Sedangkan Dila berada di atas kursi roda, memandang ke luar melalui balkon kamarnya.
Dila tidaklah tertarik sama sekali, sehingga lebih memilih diam.
"Tadi, aku sudah membuatkan ini untukmu. Padahal, ini sangat enak sekali. Aku yakin nasi goreng ini pasti sebentar lagi akan berair." Nia mendengus, seakan begitu putus asa.
Dila pun merasa bingung, kemudian bertanya langsung, "Kenapa bisa?"
"Karena, kalau dia tidak dimakan, akan menangis. Kasihan sekali. Oh ya, apa kamu mau mendengarkan sebuah cerita?"
"Apa?" Suara dan tingkah Nia akhirnya berhasil menarik rasa penasaran sang gadis kecil.
Melihat itu, Nia tersenyum. "Jadi begini, suatu hari pernah ada seekor kucing. Kucing tersebut tidak memiliki Ibu, kasihan sekali." Nia pun sejenak berhenti berbicara, matanya menatap wajah Dila.
"Setelah itu?" tanya Dila masih menunggu.
"Dia terus mencari ibunya, bahkan sampai ke dalam hutan dan lupa jalan pulang. Terus, dia lapar. Dia melihat ada buah berwarna merah. Tidak tahu itu buah apa. Langsung saja di makan dan........" Nia sengaja menjeda ceritanya, agar Dila penasaran.
Benar saja Dila langsung bertanya, sebab sudah tidak sabar mendengar kelanjutannya. "Terus?"
Nia kembali tersenyum. "Dan akhirnya......Tunggu dulu, sudah sampai mana tadi?" Nia berpura-pura lupa, agar bisa lebih banyak berkomunikasi dengan Dila.
"Sampai dimakan!"
"Oh iya, kamu benar! Langsung dimakan dan akhirnya dia merasa pedas. Huh, hah, huh, hah, dengan tangannya yang mengipas mulut. Karena kamu tahu apa yang dia makan?"
"Cabe!" tebak Dila sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tet!" Nia pun bersuara seakan sedang berada dalam permainan yang ada di televisi, "Benar! Kamu pintar sekali, terus perutnya sakit dan dia buang air besar, brettt......begitu suaranya." Nia pun memberikan ibu jarinya atas kepintaran Dila.
Dila pun merasa bangga sebab Nia mengatakan dirinya pintar.
"Bau tidak?" tanya Dila antusias.
"Bau sekali, sampai-sampai aku mencari sesuatu untuk menutup hidungku."
"Oh." Dila pun mengangguk.
"Sekarang, kamu mau makan, nggak? Karena, dia akan menangis kalau tidak dimakan. Lagian, kamu mau kalau nasi nanti tidak ada lagi? Lalu, kelaparan seperti kucing itu dan harus makan cabe?"
Dila pun menggeleng cepat, akhirnya menerima suapan demi suapan dari Nia.
Sampai tiba-tiba Dila merasa ada yang aneh, kemudian membuka mulutnya dan mengambil sesuatu dari dalam mulutnya.
"Gigi kamu copot?" tanya Nia. Kemudian, tanpa rasa jijik, Nia mengambilnya dari tangan Dila.
Dila pun mengangguk.
"Coba tersenyum."
Dila pun tersenyum dengan gigi bagian depannya yang sudah tidak ada.
"Lihat ini, kamu sangat lucu sekali!" Nia menarik kursi roda Dila ke arah cermin, "Coba buka mulut mulutnya."
Dila pun membukanya dan melihat giginya yang sudah tidak ada satu.
"Ahahahha!" Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat gigi Dila dari pantulan cermin.
"Aku sudah ompong," kata gadis kecil itu.
"Iya, tapi kamu lucu, aku sangat gemas melihatnya!" Nia merasa lega karena Dila ternyata bisa diajak berkomunikasi.
Di sisi lain, Dion ternyata telah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka, menyaksikan putrinya yang sedang makan. Bahkan, mendengarkan cerita kucing, hingga akhirnya Dila makan, kemudian giginya copot.
Gelak tawa yang menggema seakan menjadi sebuah penghibur bagi putrinya yang biasanya terus saja murung.
"Papi!" seru Dila saat tanpa sengaja memutar leher melihat Dion.
Nia pun seketika tersadar ada orang lainnya selain mereka berdua. Nia pun berpindah tempat, berdiri di sudut ruangan dengan diam.
Dion berjalan mendekati putrinya, kemudian setengah berjongkok.
"Apa kesayangan Papi sedang bahagia?" Dion pun menggendong Dila. Walaupun anaknya itu sudah cukup besar, tapi tetap saja Dion memperlakukannya seperti anak bayi.
"Iya, bercerita tentang kucing yang kelaparan, nyasar ke hutan. Terus kepedasan dan dianya mules karena sakit perut. Papi tahu dia makan apa? Dia makan cabe!" Dila bertanya pada Dion, tapi dia yang kemudian menjawab dengan tidak sabaran.
Dion pun tersenyum dan mencium pipi Dila kembali. Sejak terkena leukimia, Dila tidak cerewet seperti ini.
Sampai-sampai, Dion pun begitu terharu melihat putrinya.
"Papi, gigi Dila juga copot. Lihat ini!" Dengan cerewetnya, Dila terus saja mengoceh--menunjukan giginya yang sudah ompong.
Dion mencium pipi putrinya. Sungguh lama sekali dia tidak mendengar suara ocehan begitu panjang lebar diiringi tawa menggema.
Hingga akhirnya, Dila pun tertidur pulas. Hari ini terlalu banyak hal yang dilalui oleh Dila hingga senyum dan tawa yang lama hilang perlahan kembali.
"Terima kasih."
Langkah kaki Nia yang hampir keluar dari kamar Dila pun terhenti saat mendengar ucapan Dion barusan.
Nia pun berbalik dan mengangguk.
"Kamu bisa istirahat di sini. Saya permisi dulu." Dion pun keluar dari kamar tersebut agar Nia bisa tidur bersama dengan Dila.
Hati Dion menghangat saat melihat senyum Dila, anaknya. Dan, itu karena Nia--istri pilihan sang Ibu.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita
"MAMI!" seru Dila.Dila yang terbangun dari tidurnya, kemudian mencari Nia saat mengetahui dirinya hanya sendirian berada di kamar.Lagi-lagi Nia pun harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Dion."Cepat!" Dion pun menyadarkan Nia.Dengan segera Nia pun berjalan menghampiri Dila dan kembali membawanya ke dalam kamar. "Dila, bobo lagi ya." "Ya, Mami!" Dila pun menurut, kemudian memeluk leher Nia.Sesaat kemudian terdengar napas Dila yang beraturan, tandanya Dila sudah terlelap kembali.Dion pun memasuki kamar Dila, seharian ini tidak bertemu membuatnya merasa begitu rindu.Setelah mencium kening Dila, Dion pun berniat keluar."Tuan, aku benar-benar ingin bicara," Nia tidak patah semangat.Sekalipun terus saja ditolak, tetapi terus berusaha untuk didengarkan.Dirinya benar-benar sudah yakin untuk mengatakan kehamilannya, bahkan siapa Ayah dari janinnya.Biarlah nantinya menjadi urusan nanti, saat ini kejujuran adalah hal utama.Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh Nia, sehingg
Nia pun terbangun dari lelap saat cahaya mentari menyentuh wajahnya. Seketika itu, Nia terkejut mendapati diri di atas ranjang.Dengan gerakan cepat, Nia pun turun dari atas ranjang, kemudian menatap Dion yang masih terlelap di sana.Tunggu! Artinya, dirinya tidur bersama Dion? Nia seketika merasa takut.Tetapi, bukankah dirinya kemarin tidur di bawah.Nia tidak menyadari bahwa geraka-gerakan kecilnya dapat dirasakan Dion, sehingga pria itu tiba-tiba membuka matanya."Maaf tuan, saya tidak tahu kenapa bisa tidur di atas ranjang Anda." Nia pun menutup mulutnya cepat-cepat, sambil melihat reaksi Dion.Tetapi, tak ada yang terjadi.Dion tidak marah sama sekali, membuat Nia bingung."Mami!" Pintu kamar terbuka, tampak Dila yang sudah memakai seragam sekolah.Nia pun menghampiri putri sambungan tersebut, kemudian bertanya siapa yang sudah memakaikan seragam sekolah."Dila, sudah pakai seragam?" Nia sedikit berjongkok agar mengimbangi Dila, "Siapa yang memakaikannya?""Oma," jawab Dila deng
Sesampainya di sekolah, Dila begitu bahagia memperkenalkan Nia pada teman-temannya. Gadis kecil itu menceritakan banyak hal yang kini dilaluinya bersama dengan Mami Nia.Sama seperti saat-saat temannya yang bercerita tentang keseharian mereka bersama kedua orang tuanya.Wajah Dila begitu berseri-seri hingga keadaannya pun semakin membaik."Mami, pulang dulu. Nanti, Mami yang akan menjemput Dila lagi."Dila pun mengangguk cepat, takut kehilangan Nia membuat Dila menurut pada apa saja yang dikatakan oleh Nia."Hati-hati Mami!" seru Dila sebelum akhirnya memasuki kelas.Nia melambaikan tangan, kemudian berjalan ke arah mobil."Tuan, saya pulang naik ojol saja," ucap Nia yang tidak ingin merepotkan Dion. Lagi pula, sangat besar kemungkinan Dion tidak mau pulang bersamanya.Atau, mungkin ada pekerjaan penting?Bukankah merepotkan hanya untuk mengantarkan dirinya pulang?'Ingat Nia, kamu hanya seorang pembantu yang memainkan peran sebagai seorang Ibu untuk Dila, bukan seorang istri untuk Tu
"Dion!"Dion pun menghentikan langkah kakinya, menoleh pada Bunga yang sedang duduk di teras.Bunga melihat penampilan Dion. Baju santai dengan sepatu olahraga. Lalu, ada handuk kecil di tangannya."Kamu nggak ke kantor?" tanya Bunga."Nanti Ma, setelah menjemput Dila.""Setelah menjemput Dila?" Bunga pun mendadak bingung.Dion sering kali menjemput Dila, tetapi tetap saja pergi ke kantor juga. Kemudian nantinya langsung ke sekolah, setelah mengantarkan Dila ke rumah. Maka, Dion akan kembali ke kantor lagi.Tetapi, untuk pagi ini tampaknya ada yang berbeda. Bahkan, wajah Dion pun terlihat lebih bercahaya dari biasanya.Kini, Bunga merasa bersyukur. Kehadiran Nia bukan hanya membuat Dila yang murung menjadi penun tawa. Namun, Dion pun seakan mendapatkan kebahagiaan setelah selama ini hanya memikirkan tentang putrinya saja."Dion, pergi dulu ya, Ma."Bunga pun mengangguk diiringi senyum bahagia.Dion terus saja berlari kecil, mengelilingi kompleks perumahan yang sudah lama tidak pernah