Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.
Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia.
"Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.
Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.
Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.
Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.
Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya.
"Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.
Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan bukunya. Bercerita banyak tentang hari pertamanya ini memasuki sekolah.
"Dila juga gambar." Dila menunjukan buku gambarnya. Ada tiga orang di sana, sedangkan anak kecil di tengah-tengah.
"Ini Mama. Ini Dila, terus ... ini Papi." Dila pun menjelaskan pada Nia maksud dari gambarnya tersebut.
"Wah, bagus sekali. Anak pintar, kalau begitu Sekarang waktunya ganti seragam. Kemudian makan, minum obat dan........" Nia pun tersenyum pada Dila.
"Tidur!" seru Dila, mengerti dengan maksud Maminya itu.
"Anak pintar!" Nia menarik kedua pipi Dila dengan gemas, namun penuh kasih sayang.
"Hehe," Dila pun tersenyum bahkan gigi ompong nya terlihat jelas.
Dion merasa terharu melihat kedekatan antara Dila dan Nia. Namun, dia masih saja mempertahankan wajah datarnya.
"Dila mau tidur sama Mami, sama Papi juga," kata Dila.
Seketika, Nia tercengang mendengar permintaan Dila. Anehnya, Dion malah tersenyum dan menyetujuinya tanpa banyak menimbang.
Nia semakin terkejut, tapi dirinya merasa seperti benar-benar memiliki keluarga yang bahagia.
Ketiganya tidur bersama, di atas ranjang milik Dila.
Hingga akhirnya Dila benar-benar terlelap, bahkan Nia pun ikut terlelap.
Mungkin, karena pelukan Dila begitu menghangatkan.
Beberapa saat kemudian, Nia pun terjaga. Dia tersadar ternyata ikut tertidur.
Dengan perlahan, Nia melepaskan tangan Dila yang melingkar di lehernya. Setelah berhasil, Nia pun turun dari ranjang.
Mata Nia juga menyadari bahwa tidak ada Dion di sana, mungkin sejak tadi sudah pergi.
Terlalu lelap hingga tidak menyadari sama sekali.
Banyak pekerjaan yang menunggu Nia, sehingga dengan cepat menuju dapur.
"Tuan Dion, belum makan siang 'kan?" Nia berbicara sendiri sebab semua tugas itu sudah diberikan kepadanya oleh Bunga.
Nia pun bergegas menuju dapur. Namun, tiba-tiba dia terkejut melihat seseorang yang cukup membuat jantungnya berdegup kencang.
Reza! Dari mana pria itu datang?
"Apa yang kau lakukan di rumah ini?" Reza tiba-tiba muncul di hadapan Nia.
Seketika hati Nia berdenyut nyeri. Perlahan, dia mencoba menatap mata Reza.
Di sisi lain, Reza terkejut melihat keberadaan Nia di rumah keluarganya. Seketika, pikiran buruk tentang Nia pun mulai muncul di kepalanya.
Berikut dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya.
"Jawab aku!" Reza tak dapat menahan amarahnya, menatap wajah Nia sungguh membuat amarahnya membuncah.
"Ak....Aku-"
"--Apa kau belum menggugurkan janin itu?" tanya Reza lagi.
Nia meremas perutnya sambil terus menatap tajam Reza, lelaki tidak bertanggung jawab itu tampaknya merasa terganggu dengan kehadirannya.
Kalau saja bisa menghindar, Nia pun lebih memilih untuk pergi. Tapi tidak bisa, karena ikatan perjanjian dengan Bunga membuatnya tidak bisa keluar dari keluarga tersebut.
Padahal, dirinya tidak sanggup menjalani hari-harinya jika terus melihat orang-orang yang sudah tega padanya.
Nia kini menyadari bahwa persahabatan mereka tidaklah tulus seperti apa yang Nia pikirkan selama ini.
"Bukankah aku sudah memberikanmu uang?" tanya Reza lagi, kesal karena yakin, sepertinya janin itu benar masih ada.
"Sayang, apa yang kamu lakukan di sini?" Raya belum melihat siapa wanita yang kini berdiri di depan suaminya, sehingga masih terlihat santai.
"Lihat dia!" Reza pun menunjuk Nia.
Raya mengikuti arah yang ditunjuk Reza dan terkejut, seakan ada bom waktu yang akan meledak seketika itu juga.
Keduanya begitu bingung. Mengapa ada Nia di rumah tersebut?"Reza, jangan bilang kamu yang bawa dia ke sini. Atau kamu mau menikahinya?" tebak Raya penuh kemarahan.
"Cuihhhh!" Reza pun meludah, seakan merasakan jijik. "Aku tidak sudi untuk itu!" kata Reza menatap tajam Nia, "Kamu ngapain di rumah ini? Dasar tidak tahu malu!"
Nia tidak tahu harus mengatakan dirinya sebagai apa di sini. Apakah dia istri atau hanya sekedar pembantu untuk Dion?
Namun, diamnya Nia justry membuat amarah Reza semakin membuncah.
Pria itu mencengkram erat leher Nia, dan membawanya pada dinding.
Nia tidak bisa bergerak. Tangannya memegang tangan Reza dan ingin dilepaskan.
Apalagi, perlahan, Nia mulai merasa sulit untuk bernapas.
Sampai tiba-tiba, ada yang menepis tangan Reza, hingga terlepas dari leher Nia.
"Uhuk-uhuk...." Nia terbatuk-batuk setelahnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Dion dengan wajah dinginnya menatap Reza--membuat keponakannya itu terkejut dan ketakutan.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya ku lakukan, Om tidak lihat wanita asing yang memasuki rumah kita!" Reza pun kembali melayangkan tatapan tajam pada Nia.
"Dia istriku!"
Pernyataan tegas itu meninggalkan keheningan di antara mereka berempat.
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun
"--Mami!" seru Dila saat melihat orang yang dicarinya.Dila berada di atas kursi roda dengan Dion yang mendorongnya.Nia pun terkejut mendengar panggilan Dila barusan, padahal kebiasaan Dila berteriak memanggilnya adalah hal yang sudah biasa.Bunga pun menyadarinya, sehingga bertanya-tanya ada apa dengan Nia."Ya, sebentar ya. Mami, mau ngomong sama Oma," Nia pun tersenyum tulus pada Dila.Dila pun menganggap, selama ini Nia mengajar arti kesopanan. Sehingga Dila pun mulai mempraktekkannya."Bu Bunga, Tuan Dion sebenarnya aku--""Mami, Dila mau makan. Laper!" Risa pun menggerak-gerakkan tangan Nia. Terlihat jelas bahwa dirinya yang kini mulai terbiasa melakukan berbagai hal bersama Nia, ingin sekali perhatian perempuan itu, bahkan kalau bisa, bermanja-manja pada Nia.Nia pun beralih menatap Dila."Dila laper, Mami," Dila yang merasa begitu lapar tidak dapat menunggu lagi."Kamu temani Dila makan. Kita akan bicarakan lagi nanti," titah Dion lalu menghadap pada putrinya untuk berpamita
"MAMI!" seru Dila.Dila yang terbangun dari tidurnya, kemudian mencari Nia saat mengetahui dirinya hanya sendirian berada di kamar.Lagi-lagi Nia pun harus mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Dion."Cepat!" Dion pun menyadarkan Nia.Dengan segera Nia pun berjalan menghampiri Dila dan kembali membawanya ke dalam kamar. "Dila, bobo lagi ya." "Ya, Mami!" Dila pun menurut, kemudian memeluk leher Nia.Sesaat kemudian terdengar napas Dila yang beraturan, tandanya Dila sudah terlelap kembali.Dion pun memasuki kamar Dila, seharian ini tidak bertemu membuatnya merasa begitu rindu.Setelah mencium kening Dila, Dion pun berniat keluar."Tuan, aku benar-benar ingin bicara," Nia tidak patah semangat.Sekalipun terus saja ditolak, tetapi terus berusaha untuk didengarkan.Dirinya benar-benar sudah yakin untuk mengatakan kehamilannya, bahkan siapa Ayah dari janinnya.Biarlah nantinya menjadi urusan nanti, saat ini kejujuran adalah hal utama.Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh Nia, sehingg
Nia pun terbangun dari lelap saat cahaya mentari menyentuh wajahnya. Seketika itu, Nia terkejut mendapati diri di atas ranjang.Dengan gerakan cepat, Nia pun turun dari atas ranjang, kemudian menatap Dion yang masih terlelap di sana.Tunggu! Artinya, dirinya tidur bersama Dion? Nia seketika merasa takut.Tetapi, bukankah dirinya kemarin tidur di bawah.Nia tidak menyadari bahwa geraka-gerakan kecilnya dapat dirasakan Dion, sehingga pria itu tiba-tiba membuka matanya."Maaf tuan, saya tidak tahu kenapa bisa tidur di atas ranjang Anda." Nia pun menutup mulutnya cepat-cepat, sambil melihat reaksi Dion.Tetapi, tak ada yang terjadi.Dion tidak marah sama sekali, membuat Nia bingung."Mami!" Pintu kamar terbuka, tampak Dila yang sudah memakai seragam sekolah.Nia pun menghampiri putri sambungan tersebut, kemudian bertanya siapa yang sudah memakaikan seragam sekolah."Dila, sudah pakai seragam?" Nia sedikit berjongkok agar mengimbangi Dila, "Siapa yang memakaikannya?""Oma," jawab Dila deng
Sesampainya di sekolah, Dila begitu bahagia memperkenalkan Nia pada teman-temannya. Gadis kecil itu menceritakan banyak hal yang kini dilaluinya bersama dengan Mami Nia.Sama seperti saat-saat temannya yang bercerita tentang keseharian mereka bersama kedua orang tuanya.Wajah Dila begitu berseri-seri hingga keadaannya pun semakin membaik."Mami, pulang dulu. Nanti, Mami yang akan menjemput Dila lagi."Dila pun mengangguk cepat, takut kehilangan Nia membuat Dila menurut pada apa saja yang dikatakan oleh Nia."Hati-hati Mami!" seru Dila sebelum akhirnya memasuki kelas.Nia melambaikan tangan, kemudian berjalan ke arah mobil."Tuan, saya pulang naik ojol saja," ucap Nia yang tidak ingin merepotkan Dion. Lagi pula, sangat besar kemungkinan Dion tidak mau pulang bersamanya.Atau, mungkin ada pekerjaan penting?Bukankah merepotkan hanya untuk mengantarkan dirinya pulang?'Ingat Nia, kamu hanya seorang pembantu yang memainkan peran sebagai seorang Ibu untuk Dila, bukan seorang istri untuk Tu
"Dion!"Dion pun menghentikan langkah kakinya, menoleh pada Bunga yang sedang duduk di teras.Bunga melihat penampilan Dion. Baju santai dengan sepatu olahraga. Lalu, ada handuk kecil di tangannya."Kamu nggak ke kantor?" tanya Bunga."Nanti Ma, setelah menjemput Dila.""Setelah menjemput Dila?" Bunga pun mendadak bingung.Dion sering kali menjemput Dila, tetapi tetap saja pergi ke kantor juga. Kemudian nantinya langsung ke sekolah, setelah mengantarkan Dila ke rumah. Maka, Dion akan kembali ke kantor lagi.Tetapi, untuk pagi ini tampaknya ada yang berbeda. Bahkan, wajah Dion pun terlihat lebih bercahaya dari biasanya.Kini, Bunga merasa bersyukur. Kehadiran Nia bukan hanya membuat Dila yang murung menjadi penun tawa. Namun, Dion pun seakan mendapatkan kebahagiaan setelah selama ini hanya memikirkan tentang putrinya saja."Dion, pergi dulu ya, Ma."Bunga pun mengangguk diiringi senyum bahagia.Dion terus saja berlari kecil, mengelilingi kompleks perumahan yang sudah lama tidak pernah
Sesampainya di dalam kamar, Dion pun melepaskan tangan Nia. Pria itu menatap Nia yang sedang menggigit bibir bawahnya."Cepat siapkan pakaian untuk saya!" titah Dion.Nia pun mengangguk dengan cepat, kemudian melaksanakan perintah Dion dengan secepat mungkin.Setelah mendapatkan baju yang diminta oleh Dion, Nia pun meletakan pada ranjang.Kemudian bersiap-siap untuk pergi, tetapi pintu yang terkunci membuatnya tidak bisa keluar."Cepat gosok punggung saya!" Terdengar suara Dion dari arah kamar mandi, Nia hanya diam di depan daun pintu.Nia bingung Dion berbicara pada siapa. Rasanya, tidak mungkin padanya, kan?"Nia!" Dion pun memilih memanggil nama karena sadar Nia yang lelet tidak akan mengerti dengan maksudnya.Nia pun semakin kebingungan. Sesaat kemudian, Dion pun keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya.Mulut Nia terbuka lebar menatap perut kotak-kotak Dion. Segera, dia pun membalikkan tubuhnya."Tuan, maaf. Saya tidak sengaja melihatnya. Lagi pula, saya tida