"Aku hamil anakmu, Reza."
Nia datang menemui pria ini setelah menemukan ada kehidupan baru dalam rahimnya. Tanpa sadar, Nia menunduk. Bahkan, tangannya bergetar menanti reaksi dari sahabat sejak SMA, sekaligus pria yang dicintainya ini.
"Apa kau yakin itu anakku? Kita hanya melakukan sekali dan aku dalam keadaan mabuk," kata Reza datar.
Deg!
"Lagi pula ... jika pun memang benar anakku, tidak mungkin aku bertanggung jawab," ucap Reza sebelum kembali berkata," kau tahu kan aku begitu mencintai Raya? Sebentar lagi, kami juga akan menikah."
Rententan kalimat dari pria itu membuat hati Nia berdenyut nyeri. Pria itu benar-benar menolaknya tanpa berpikir dua kali. Bahkan, Reza seakan meragukan dirinya, seakan dia wanita murahan.
Sungguh, Nia begitu kecewa. Namun, dia tidak dapat berbuat apa-apa. Ini semua karena kebodohannya! Begitu mudah dirinya menemani Reza yang sedang hancur saat dicampakkan Raya, hingga merenggut kesucian, bahkan menghadirkan janin tak bersalah ini.
"Ta--tapi--" ucap Nia terbata-bata, berusaha untuk membela diri.
Namun, belum sempat berbicara, ucapannya telah dipotong Reza dengan cepat, "--Gugurkan saja dan kita lupakan semuanya. Kamu tetap dapat menjadi temanku dan Raya."
"Tapi, ini anakmu. Apa kau tega membunuhnya?" Setelah mengumpulkan keberaniannya, Nia akhirnya bisa mengeluarkan isi pikirannya. Namun, tanpa dia sadari lelehan air mata telah luruh di pipinya.
Sayangnya, Reza tidak tersentuh sama sekali. Pria itu justru memutar bola matanya malas melihat Nia yang bersikukuh. "Terserah, kau. Yang jelas, dia bukan anakku! Sekarang, keluar atau kupanggil satpam!"
Tangan Nia mengepal. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa apa-apa. Dengan lesu, Nia keluar dari ruangan Reza dan kembali ke rumahnya. Sungguh! Dia bingung bagaimana kelanjutan janin dan hidupnya nanti. Sayangnya, sesampainya di rumah, ada hal yang lebih mengerikan.
Nia begitu terkejut melihat laporan kehamilannya ada di tangan Anwar, Bapaknya. Belum sempat memproses semuanya, Anwar kini telah datang menghampiri Nia.
Plak!
Tamparan keras dilayangkan Anwar pada Nia. Wajah pria itu mengerut merah. "Apa ini, Nia? Siapa Ayah anak di kandunganmu?"
Tubuh Nia bergetar hebat. Seumur hidupnya, Anwar tidak pernah memarahinya. Dia adalah Bapak yang benar-benar penyayang dan selalu memberikan yang terbaik untuk Nia. Kali ini, Nia tersadar bahwa dia sudah sangat mengecewakan Bapaknya.
"Siapa Ayahnya?" tanya Anwar lagi.
Nia pun menggeleng. Dia tidak ingin menyebutkan nama laki-laki brengsek yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Mengenang wajah Reza sungguh membuat dada begitu sesak, hingga matanya memerah karena hampir menangis.
"Jawab! Siapa laki-laki itu?" Anwar menjadi tidak sabar melihat respons dari putrinya itu.
Sayangnya, meski sudah ditanya berulang kali, Nia masih memilih untuk bungkam seribu bahasa.
Melihat itu, Anwar hilang kesabaran. Pria itu benar-benar hancur mengetahui perbuatan memalukan yang sudah dilakukan oleh putrinya sampai harus mengandung diluar nikah.
Kini, bahkan putrinya itu tidak berani memberikan satu nama yang harus bertanggung jawab? Suara Anwar seketika berubah menjadi datar, "Jawab atau kau bukan anakku lagi."
Mendengar ancaman Anwar, Nia menangis. Dia tidak ingin dibenci oleh Bapaknya, apalagi sampai tidak dianggap anak lagi. Namun, Nia tidak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sungguh, Nia tidak pernah menyerahkan diri pada Reza begitu saja! Lelaki itulah yang mabuk dan merenggut kesuciannya secara paksa sampai dia bisa hamil saat ini. Kejadian itu benar-benar di luar dugaannya. Nia sudah menolak, tetapi kekuatan pria itu lebih besar. Tapi, siapa yang akan percaya padanya? Semua orang pasti akan langsung menyalahkan dirinya.
Hanya saja, wajah kecewa Anwar begitu menusuk hati Nia. Akhirnya, dengan bibir bergetar dan air mata berlinang, Nia menyebutkan nama Ayah dari janinnya, "Reza...."
Anwar terdiam mendengar nama yang disebutkan oleh Nia. Pria itu lalu memegang dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Anwar tahu benar bahwa Reza adalah orang berada yang tidak sebanding dengan mereka.
"Nia, kenapa harus dia? Berapa kali bapak katakan padamu? Jangan berhubungan dengan orang kaya! Kita ini orang miskin. Bapakmu ini hanya pedagang ikan di pasar!"
Air mata Nia semakin membanjir pipi, rasa sakit ini sungguh begitu luar biasa.
"Dia harus bertanggung jawab!" Dengan cepat, Anwar menyeret Nia ke rumah Reza untuk menemui kedua orang tua Reza dan meminta pertanggungjawaban atas janin di rahim putrinya.
*****
Di depan pintu gerbang tinggi ini, keduanya berdiri. Bapaknya menghadap rumah besar di hadapannya dengan tatapan sulit diartikan.
Kemudian, pria itu melihat Nia yang berdiri di sampingnya. Hatinya begitu gundah memikirkan nasib anaknya setelah ini.
Sesaat kemudian, dia pun menarik paksa tangan anaknya untuk masuk ke sana dan disambut oleh tatapan meremehkan dari Liana, Ibu Reza.
"Siapa kalian?" Liana menatap penampilan dua orang asing yang memasuki rumahnya.
Seiring dengan itu, Reza yang kembali dari kantor juga berdiri di ambang pintu dan mendapati Nia dan Bapaknya berada di rumahnya.
"Saya, ingin meminta pertanggungjawaban. Anak saya hamil. Dan, Reza adalah Ayahnya," papar Anwar dengan perasaan penuh luka.
Anwar yang miskin harta, tetapi tidak dengan harga diri. Namun, kali ini harga dirinya sudah diinjak-injak karena kelakuan putri yang disayanginya. Namun, tidak apa. Saat ini, mengesampingkan perasaan hancurnya, Anwar rela ke sini demi anaknya mendapatkan pertanggungjawaban.
Liana terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh pria asing di hadapannya, kemudian melihat seorang wanita yang tidak lain adalah putri dari pria itu.
"Reza?" Liana seakan membutuhkan jawaban dari putranya, "apa mungkin kamu mau tidur dengan gembel ini?"
Menatap Nia saja, dirinya jijik. Apalagi masuk ke dalam keluarganya? Rasanya sangat mustahil sekali! Belum lagi, Liana sudah memiliki calon menantu yang luar biasa dan dari kalangan berada. Mungkinkah harus berganti dengan wanita miskin di hadapannya ini?
Tidak!
Liana tidak akan mau menikahkan putranya dengan Nia.
Untungnya, jawaban putranya sesuai dengan harapan. "Tidak! Aku bukan Ayahnya. Lagi pula, kau siapa?"
Reza benar-benar terlihat tidak pernah mengenali Nia, sehingga Nia pun tersentak.
"Nia, katakan! Apa benar lelaki ini Ayahnya?" Anwar pun kembali bertanya pada Nia, dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Nia.
"Heh! Kalau bicara, jangan asal! Kami bisa melaporkan ini pada polisi, ya. Kalian ini orang miskin, tapi berani-beraninya memfitnah anak saya!" sergah Liana penuh kemarahan.
"Reza, katakan pada Ibumu bahwa ini benar anakmu." Kini, Nia yang sedari tadi diam saja, akhirnya berbicara dan memohon pada lelaki yang sudah menabur benih di rahimnya itu.
"Nyonya, ini memang anak Reza," terang Nia lagi sebab Reza hanya diam, seakan tidak mengakui.
Liana pun maju selangkah dan melayangkan tangannya pada wajah mulus Nia, hingga tubuh kecilnya terlempar ke samping seiring dengan layangan tangan yang begitu kuat tepat mendarat di pipinya.
"Lancang sekali kau berbicara!" seru Liana semakin bertambah emosi.
"Reza?" Nia menatap Reza berharap memberinya sedikit saja bekas kasih.
"Aku, sudah mempunyai calon istri. Raya adalah wanita yang aku cintai. Kau ini siapa?" Reza mengangkat bahunya seakan tidak perduli sama sekali.
Nia mengusap wajahnya mendengar jawaban Reza yang lagi-lagi membuatnya terluka.
"Kau itu siapa?" tanya Reza lagi. Kini, pria itu tersenyum miring menatap penampilan Nia.
Sendal jepit, dengan rok span berpadu kaos oblong. Satu lagi yang ingin membuat Reza tertawa, rambutnya yang dikepang. Memang ini zaman apa?
"Kau itu bukan levelku!" Reza tertawa terbahak-bahak meremehkan Nia.
Nia kehabisan kata-kata untuk berbicara lebih jauh lagi. Semua begitu mengejutkan. Hari ini, dia benar-benar melihat wajah asli pria yang dicintainya.
Jangankan untuk bertanggung jawab, mengakui saja tidak. Yang ada, hanya hinaan yang diterima oleh Nia. Gadis lugu itu tidak menyangka bisa menjadi korban kebejatan seorang pria yang tidak bertanggung jawab.
Kini Bapaknya sendiri mungkin sudah menganggapnya sebagai wanita murahan.
Ini begitu menyakitkan. Nia begitu terluka, tertusuk dalam jantung tanpa darah itu jauh lebih menyakitkan. Sakit di wajahnya tidak sebanding dengan sakit di hatinya.
Tak lama, Reza bahkan segera berlalu pergi meninggalkan ketiganya, sebelum berkata, "Usir saja mereka, Ma."
"Kau dengar sendiri, kan? Pergi dari rumah kami! Dasar, kalian pemulung gila! Anakku Reza yang tampan dan kaya raya itu, tidak akan sudi tidur dengan putri gembel milikmu! Banyak wanita di luaran sana yang lebih baik dan rela memberikan dirinya. Lalu, kenapa harus putrimu?" Liana pun mengerakkan kipas di tangannya, seakan tidak peduli pada lelaki yang mengharapkan tangung jawab atas anaknya. Merasa tidak dihargai, Anwar pun masih mencoba untuk membela putrinya. Sekalipun sudah membuatnya kecewa, tapi rasa cinta seorang Ayah tidak akan mungkin berubah walaupun secuil. "Mohon maaf Nyonya, kami memang orang miskin --" "--Bagus kalau sadar." Liana tersenyum miring menatap sendal jepit milik Anwar. Anwar tahu Liana dan Reza tidak menghargai dirinya dan anaknya yang mengharapkan pertanggung jawaban. Tetapi, dirinya masih sangat berharap jika hati Liana maupun Reza bisa terbuka. Apa jadinya jika putrinya mengandung tanpa seorang suami, bagaimana nantinya nasib janin itu setelah lahir ta
Ayahnya telah tiada.Hati Nia masih begitu sesak menatap pusara sang Bapak. Nia pun memeluk Farah, berusaha menguatkan perasaan sang Ibu walaupun hanya hancur lebur tanpa sisa. "Kenapa Bapak pergi? Bagaimana dengan kami?" Sebagai seorang istri, pastinya Farah begitu hancur kehilangan suaminya untuk selamanya. Dengan langkah yang berat, Nia berusaha menuntun Ibunya ke rumah. Ketika mereka sudah sampai, Nia langsung berlutut di depan Farah. "Maaf, Bu. Maafkan, aku!" Farah hanya terdiam menatapnya. Kini, dia hanya memiliki Nia dalam hidupnya. Haruskah dia menyalahkan putrinya ini? Saat masih berpikir, tiba-tiba seorang perempuan masuk ke rumah mereka tanpa permisi dan berkata, "Kamu wanita murahan! Kenapa kamu menemui Reza dan Ibunya? Jangan coba-coba mengganggu pernikahan kami, ya!" Raya datang menemui Nia langsung ke rumahnya. Perempuan itu terlihat tidak peduli bahwa mereka sedang berduka karena kehilangan Anwar. "Raya, bisakah bicara baik-baik? Kamu duduk dulu," Nia pun be
“Harganya 100 juta dan harus dibayarkan paling lambat besok.”Suara petugas administrasi terngiang-ngiang di kepala Nia."Apa yang harus kulakukan?” Sisa-sisa penyesalan kini begitu terasa, cinta yang tulus ternyata tidak ada harganya.Ketika semua terbalas dengan sakit hati dan air mata, terpuruk sendiri tanpa ada yang peduli pada keadaannya.Di tengah keterpurukannya Nia merasa haus, mungkin dengan meneguk mineral dan memakan makan bisa sedikit membantu.Sebab, dirinya harus sehat disaat ini. Tidak ada yang dapat membantu ibunya selain dirinya sendiri.Nia kemudian memutuskan ke kantin. Saat sedang duduk, Nia menemukan Bunga yang hampir terpeleset di depan mejanya. Seketika perempuan paruh baya itu tersadar bahwa Nia adalah orang yang pernah membantunya. “Kamu Nia kan yang pernah menolong saya saat kejambretan di Pasar Lama?” Nia lalu teringat pernah menolong Ibu ini. Kejadian di mana wanita itu dijambret seakan terputar di kepalanya. Sungguh hebat perempuan ini mampu mengingatny
“Operasi berjalan lancar. Kita hanya perlu menunggu Nyonya Farah sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Tak lama setelah pengumuman dari tim medis, Nia kembali didatangi dan ditagih Bunga untuk menepati janji untuk mengikuti syarat perempuan tua itu. Namun, Nia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjadi Istri untuk anaknya yang Duda beranak satu. Bahkan, semua keperluan pernikahan telah disiapkan oleh Bunga di rumah sakit!Bagaimana perempuan itu dapat melakukannya?Saat sedangmenunggu pengantinnya, Nia tiba-tiba terkejut setelah melihat siapa yang menikahinya. “Pak Dion?” ucap Nia tanpa sadar.Pria berwajah tampan di hadapannya adalah Dion Abraham Winata, paman dari Reza. Tunggu! Bagaimana mungkin ini terjadi?“Bapak, yakin menikahi saya?” Mengingat betapa hinanya Nia dan keluarga di mata keluarga Reza, bukankah seharusnya Pak Dion juga sama?“Menurutmu?” jawab pria itu datar, tidak peduli dengan kegundahan hati Nia.*****Pernikahan mendadak itu segera dilaksanakan di rumah saki
Nia telah sampai di rumah besar milik Dion. Rasanya, kenangan menyakitkan saat dirinya dan mendiang sang Bapak masih jelas berputar di memorinya.Tapi apa daya, Nia tidak dapat menghindari pernikahan ini demi Ibunya.Tunggu! Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka tidak tinggal di sini lagi?"Dila duduk di kursi roda saja, nggak boleh kecapean. Biar cepat sembuh." Ucapan Dion menyadarkan Nia dari lamunannya. Dengan cepat, pria dingin itu mengangkat Dila agar duduk di kursi roda.Sementara itu, Dila hanya diam saja dengan bibir mengerucut. Dirinya ingin Mami kandungnya yang memberikan perhatian padanya. Sayangnya, saat duduk di kursi roda sepeda ini pun wanita yang melahirkannya tersebut tidak kunjung kembali. Dila pun hanya tertunduk sedih.Melihat itu, Nia pun mulai mencoba untuk mendekati Dila agar hati anak itu bisa luluh."Begini saja, aku akan buatkan nasi goreng. Ada telur mata gajahnya juga," kata Nia berusaha terlihat lucu.Benar saja, Dila langsung meliriknya sekilas dan meng
Hari-hari berlalu begitu cepat. Nia semakin dekat dengan Dila.Segalanya dilakukan bersama. Mulai dari terbangun saat pagi, sampai akan tertidur lagi. Bahkan, Dila tidak mau tidur tanpa Nia."Mami!" Dila berseru dengan bahagia saat dirinya baru saja pulang sekolah.Setelah lama tidak pernah ke sekolah, akhirnya hari ini dia kembali menduduki kursinya.Dila sudah rindu akan suasana belajarnya--rindu pada teman-temannya. Begitupun sebaliknya. Semua guru sudah mengerti dengan keadaan Dila, sehingga tidak dipaksakan untuk pergi ke sekolah. Bahkan, pulang lebih awal daripada teman-temannya.Adalagi yang lebih membahagiakan. Ini adalah pertama kalinya Dila memanggil Nia dengan sebutan Mami.Dion yang berada dibelakang tubuh mungilnya saja terkejut mendengarnya."Dila sudah pulang sekolah, ya? Pasti lelah, ayo kita minum dulu." Nia pun mengambil mineral, sedangkan Dila menunggu di ruang tamu sambil duduk di sofa.Meneguk mineral yang dibawakan oleh Dila, kemudian dengan antusias menunjukan b
"APA?!!" Suara kencang justru muncul dari Liana yang baru saja memasuki dapur. Perempuan itu dibuat shock bukan main setelah mendengar keributan. Baru saja pulang berlibur dari Paris selama beberapa hari ini bersama keluarga kecilnya. Namun, dia malah dibuat shock saat kembali."Dion, apa Mbak nggak salah dengar?" tanya Liana memastikan, setelah melihat wajah wanita yang di sebut istri oleh adik iparnya tersebut."Tidak!" tegas Dion."Kamu tahu siapa dia?" Liana pun menunjuk wajah Nia, "Dia ini pelacur!""Aku belum pernah menampar wanita, Mbak! Jangan sampai Mbak menjadi wanita pertama!" Dion pun menarik Nia, membawanya pergi dari sana.Dion menyimpulkan bahwa, Liana, Reza, dan Raya membenci Nia karena mengetahui bahwa istrinya itu terlahir dari keluarga miskin.Memang, Dion baru datang. Jadi, dia tidak mendengar saat awalnya Reza menyebutkan kandungan yang adalah penyebab masalah sebenarnya.Pria dingin itu membawa Nia ke dalam kamarnya. Selama ini, Nia masuk hanya untuk membereska
"Ibu Nia, dipanggil sama Nyonya besar," kata seorang asisten rumah tangga yang diperintahkan Bunga untuk memanggil Nia."Ibu Bunga di mana?""Di kamar."Nia pun mengangguk mengerti, dalam hati bertanya-tanya perihal apa yang ingin dibicarakan oleh Bunga sehingga memintanya menemui perempuan itu.Akhirnya, Nia pun memutuskan untuk menemui Bunga, setelah merasa lebih baik.Tangannya bergerak mengetuk daun pintu. Setelah mendengar suara Bunga yang mempersilahkan, barulah Nia masuk."Ibu manggil saya?" Nia masih berdiri di depan daun pintu yang sudah ditutupnya walaupun sudah melihat Bunga yang sedang duduk santai pada ranjangnya."Ke mari!"Nia pun berjalan mendekati Bunga, kedua tangannya saling meremas. Merasa tegang saat melihat raut wajah Bunga yang tampak begitu serius. Bunga pun menunjuk singel sofa yang berada di dekat ranjangnya."Duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan."Sampai di sini pun Nia hanya menurut saja, duduk dengan menunggu hal yang akan ditanyakan oleh Bunga. Namun