Aira masih tersedu, bersandar pada tembok dengan warna cat kuning gading, saat sang ayah belum pulang. Tanpa ia sadari, di satu sisi jalan dengan jarak lima meter dari rumahnya, seorang perempuan tengah memperhatikannya dari atas sepeda motor. Ia berpura-pura tengah mengetik sesuatu di ponsel yang ada di tangan.Rani kembali datang dengan membawa boneka Aira.“Pergi kamu!” usir Aira saat melihat sosok yang melahirkannya datang.“Aira nangis kenapa?” tanya Rani sembari tersenyum dan menggaruk kepalanya. Tingkahnya sudah menunjukkan kalau dia orang gila.“Aku sudah tidak mau lagi punya ibu seperti kamu!” teriak Aira lagi.Rani maju beberapa langkah, memungut kertas yang berisi materi yang sedianya akan dibuat belajar dengan Rumi.“Jangan sentuh, itu punya aku. Mau kubuat belajar. Jangan menyentuhnya!” seru Aira. Tangan kecilnya berusaha merebut lembaran-lembaran yang dipegang Rani.“Aku mau lihat. Aku juga mau belajar,” ucap Rani kegirangan. Melihat gambar warna-warni di kertas tersebu
Tinggallah Maya seorang diri, menyaksikan kepiluan untuk kedua kalinya terjadi di depan mata. Setelah meredakan gejolak dalam hati, dirinya lalu melajukan kendaraan. Semula, ia berniat mengunjungi Aira. Namun, melihat keadaan yang terjadi, wanita itu memilih menunda kunjungannya.Malam harinya, Maya tidak bisa terlelap lagi. Kali ini, bayangan kejadian yang menimpa Aira seakan terputar kembali dengan utuh tanpa potongan laksana sebuah film. Semakin ia menginat, semakin sakit bdan menghimpit dada.“Dia butuh kasih sayang. Dia anak yang malang,” gumamnya seorang diri.***Suatu siang, Iyan dikagetkan dengan kedatangan Maya ke pasar dan memarkirkan kendaraan di wilayah yang ia jaga. Untuk pertama kalinya, perempuan yang ia pernah menyatakan perasaannya itu kembali lagi pada kebiasaan semula. Merasa canggung, Iyan tidak menghampiri. Tanpa ia sadari, dari balik kaca helm, Maya terus memperhatikan pria yang tetap memakai pakaian lusuh untuk bekerja.Setelah selesai berbelanja, Maya kembali
Semenjak berteman dengan Rumi, Aira jadi semakin terlihat bersemangat berangkat sekolah. Iyan sesekali memandang buah cintanya dengan Rani kala sesekali gadis kecil itu tidur di depan televisi."Apakah aku telah salah mendidik kamu, sehingga untuk mencari teman saja kamu harus bermain jauh?" ujarnya seorang diri. "Atau, mereka saja yang sombong, melarang anak-anaknya untuk tidak bermain dengan anakku. Anakku nakal? Dia sama Rumi saja baik-baik saja," ucapnya lagi."Ayah bicara apa?" tanya Aira, ia terbangun dan duduk bersandar sebuah tembok."Enggak. Enggak bicara apapun," ujar Iyan berbohong. "Kamu bahagia, main di rumah Rumi terus? 'Kan jauh. Sekali-kali Rumi harus diajak ke sini, gantian. Biar Aira tidak ke sana setiap hari. Atau, Aira jangan ke sana. Sesekali di rumah saja," ucap Iyan.Gadis berambut panjang itu terdiam dan menunduk. "Rumi tidak mau main ke sini, Ayah," jawabnya lirih.Iyan mengusap kepala Aira dan mengangguk. Tanda mengerti akan semua yang terjadi di rumahanya."
Mereka saling diam. Mulut Iyan terasa berat untuk ia buka kembali. Tubuhnya pun ikut mematung. Terasa kaku untuk digerakkan. Seperti itulah gambaran seseorang yang menahan malu.“Rumi, ambilkan cepat!” Suara Aira terdengar berteriak dari luar.Mereka bermain di halaman sehingga suaranya terdengar dari ruang tamu.“Aku sudah lelah, Aira. Kamu saja yang ambil, ya? Gantian, aku yang jagain masak-masakannya. Kaki aku pegel," jawab Rumi terdengar kesal.“Kamu aja ah yang ambil. Udah cepet sana. Keburu mau dimasak daunnya,” teriak Aira keras.Iyan melihat ke luar dari sela kaca jendela yang retak.“Seperti itulah setiap harinya, Mas Iyan. Saya mau menasehati Aira tidak berani. Karena dia kelihatannya keras dan susah dibilangin. Saya merasa karena kami ini keluarga yang tidak mampu, keluarga miskin jadi ya menyuruh Rumi untuk selalu mengalah. Tapi, lama-lama saya kasihan sama anak saya. Mau menyuruh Aira pulang, tidak tega karena pulangnya jauh. Mas Iyan kalau ke sini juga langsung pergi se
“Kenapa pintu rumah Rumi tertutup tadi, Ayah? Kenapa ibunya tidak keluar setelah aku panggil-panggil?” Aira bertanya pada sang ayah saat sudah sampai rumah.“Kamu nakal sama Rumi tadi?” tanya Iyan menginterogasi anaknya. Baru kali ini, Iyan merasa malu dengan ulah putri kesayangannya.“Aku tidak nakal sama Rumi, Ayah,” elak Aira.“Ayah dengar tadi kamu bentak dia.”“Aku sedang memasak, aku meminta Rumi untuk mengambilkan bahan-bahan. Dia tidak mau.”“Ibu Rumi sudah bilang sama Ayah. Kamu suka bentak-bentak Rumi. Ayah juga dengar sendiri tadi.”Aira menunduk.“Kamu sudah tidak boleh bermain ke sana lagi, kata ibu Rumi,” ujar Iyan memberi tahu.Aira terlihat sedih.“Tidak apa-apa. Besok-besok, Ayah akan mengajak kamu bermain ke rumah Tante Maya,” ucap Iyan lagi. Iya merasa tidak tega kalau harus memarahi Aira.***“Aira sepertinya sudah menjadi korban salah asuh,” ujar Maya saat Iyan datang berkunjung malam harinya. Ia menceritakan semua yang dialami Aira termasuk penolakan ibu Rumi.“
Iyan lalu menceritakan sosok Nia dengan masa lalunya yang selalu mendapatkan perilaku tidak sama dengan yang Rani dapatkan dari keluarganya.Maya menjadi tertarik dengan masa lalu Iyan sebelum rani gila. Hal yang membuatnya penasarsan selama ini, kini diceritakan oleh Iyan tanpa ia meminta.Wanita berjilbab hijau toska itu sesekali mengernyitkan dahi. Karena di sanalah, ia menlihat keegoisan Iyan yang sebenarnya.Dari caranya menceritakan dan menyalahkan Nia, Maya menjadi sedikit paham, mengapa tetangga sekitar mengucilkan gadis kecil yang disebut Iyan sebagai kesayangan keluarganya itu. Ia juga mulai menghubungkan keadaan Rani dengan berbagai kemungkinan akibat dari masa lalunya dulu.“Sepertinya dari yang aku tahu, sosok Nia yang diceritakan Mas Iyan, dia yang menjadi korban, Mas. Kenapa Mas Iyan begitu membencinya?” tanya Maya setelah Iyan terdiam dari aktivitas menceritakan ssosok Nia.“Kata siapa dia yang jadi korban, May? Jelas aku dan Aira yang jadi korban. Karena Nia, aku jadi
“May, kamu kok ngomongnya gitu, sih?” Iyan bertanya ketus.“Ya karena kamu ceitanya seperti itu, Mas. Jadi aku kesal. Kalau kamu cerita hal yang tidak bikin kesal, aku tidak akan kesal.”“Bicaramu berbelit seperti judul sinetron,” celetuk Iyan.“Yang diceritakan juga mirip banget sama sinetron. Ah, malahan bagus itu, Mas, kalau dibuat film. Kamu tokoh jahatnya,” sambung Maya.“May, kamu kok jadi berubah gitu sih? Aku pikir kamu wanita baik, wanita yang mengerti aku. Aku sempat nyaman karena mengenal kamu di saat aku merasa hidup seorang diri saja,” keluh Iyan lirih.Maya tidak segera menjawab. Wanita itu menyandarkan punggung ke kursi. Mengamati Iyan lamat-lamat. Ia begitu tertarik untuk mengetahui kisah dari keluarga unik itu. Namun, semakin mengetahui, hatinya semakin dibuat meradang.Maya memiliki karakter yang kuat. Sehingga ia mampu mengatasi sikap Iyan di saat emosinya ikut tersulut. Dirinya justru tertantang untuk membuat lelaki di hadapannya merasa sadar.“Mas, Nia sudah cerai
Maya berkali-kali menelan saliva. Ia pikir, mantan mertuanya dulu adalah keluarga paling menyeramkan yang pernah ia temui. Nyatanya, ia kembali berjumpa dengan keluarga yang menurutnya aneh bin ajaib. Bedanya, bila dulu sesat karena musyrik. Yang ini sesat karena kelewat bodoh. Begitu yang Maya pikirkan.“Mas, terus, mas kamu yang jadi pegawai, sekarang dimana?” tanya maya menggali informasi. Karena sebenarnya, dia juga sudah bingung hendakmemberikan komentar apa.Iyan lalu menceritakan keadaan Agam saat ini. Tak lupa, ia menyalahkan sang kakak yang kini telah lupa pada Aira.“Terlalu ‘kan, May, masa dia tidak lagi ingat sama AIra. Darah daging dia, May. Sekarang kamu tahu ‘kan, bagaimana menderitanya anakku karena kehilangan kasih sayang dari sosok yang dulu selalu memperlakukannya bak ratu? Ya seperti itu, May. Sekarang, kami bingung. Keluarga sudah porak poranda. Katanya Mas Agam menyesal dengan perceraiannya dengan Nia. Ya kami juga menyesali keputusan Nia yang gegabah gitu. Harus
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”