“May, kamu kok ngomongnya gitu, sih?” Iyan bertanya ketus.“Ya karena kamu ceitanya seperti itu, Mas. Jadi aku kesal. Kalau kamu cerita hal yang tidak bikin kesal, aku tidak akan kesal.”“Bicaramu berbelit seperti judul sinetron,” celetuk Iyan.“Yang diceritakan juga mirip banget sama sinetron. Ah, malahan bagus itu, Mas, kalau dibuat film. Kamu tokoh jahatnya,” sambung Maya.“May, kamu kok jadi berubah gitu sih? Aku pikir kamu wanita baik, wanita yang mengerti aku. Aku sempat nyaman karena mengenal kamu di saat aku merasa hidup seorang diri saja,” keluh Iyan lirih.Maya tidak segera menjawab. Wanita itu menyandarkan punggung ke kursi. Mengamati Iyan lamat-lamat. Ia begitu tertarik untuk mengetahui kisah dari keluarga unik itu. Namun, semakin mengetahui, hatinya semakin dibuat meradang.Maya memiliki karakter yang kuat. Sehingga ia mampu mengatasi sikap Iyan di saat emosinya ikut tersulut. Dirinya justru tertantang untuk membuat lelaki di hadapannya merasa sadar.“Mas, Nia sudah cerai
Maya berkali-kali menelan saliva. Ia pikir, mantan mertuanya dulu adalah keluarga paling menyeramkan yang pernah ia temui. Nyatanya, ia kembali berjumpa dengan keluarga yang menurutnya aneh bin ajaib. Bedanya, bila dulu sesat karena musyrik. Yang ini sesat karena kelewat bodoh. Begitu yang Maya pikirkan.“Mas, terus, mas kamu yang jadi pegawai, sekarang dimana?” tanya maya menggali informasi. Karena sebenarnya, dia juga sudah bingung hendakmemberikan komentar apa.Iyan lalu menceritakan keadaan Agam saat ini. Tak lupa, ia menyalahkan sang kakak yang kini telah lupa pada Aira.“Terlalu ‘kan, May, masa dia tidak lagi ingat sama AIra. Darah daging dia, May. Sekarang kamu tahu ‘kan, bagaimana menderitanya anakku karena kehilangan kasih sayang dari sosok yang dulu selalu memperlakukannya bak ratu? Ya seperti itu, May. Sekarang, kami bingung. Keluarga sudah porak poranda. Katanya Mas Agam menyesal dengan perceraiannya dengan Nia. Ya kami juga menyesali keputusan Nia yang gegabah gitu. Harus
Selepas kepergian Iyan, Maya tak langsung tidur. Bapaknya masih duduk terpekur melihat tayangan televisi.“Kamu sudah berteman dia sejak lama?” tanya bapak Maya ketika dirinya hendak masuk ke kamar. Ia urung. Memilih duduk di kursi yang ada di depan benda berlayar lebar itu.“Ya, selama aku jualan, Pak. Dia tukang parkir di pasar. Kenapa? Bapak keberatan? Kalau iya, aku akan menjauh,” jawab Maya.“Tidak. Bapak tidak pernah keberatan, kamu mau berteman dengan siapapun. Bapak percaya, kamu bisa mengatasi masalah apapun yang menimpa di hadapanmu. Dan Bapak sudah mendengar kamu berbicara dengan dia tadi,” ujar bapak Maya lalu berhenti sejenak. “Setiap manusia itu punya keburukan. Tapi, dia juga punya nilai kebaikan bila kamu menggalinya. Dari yang Bapak tahu dengan mendengarkan dia cerita sesekali waktu. Dia dan keluarganya memang unik dan antic. Tapi sepertinya, dia pria yang mampu menahan nafsu serta syahwatnya. Kalau dia tidak bisa menjaga itu, sudah dia buang barangkali, istrinya. Ata
Tubuh lelaki itu hendak menghindar. Namun, tertahan oleh sebuah teriakan dari Maya yang memanggil namanya. Dengan terpaksa, Iyan berbelik lagi dan mengulurkan tangan meminta belanjaannya. “Aku traktir makan bakso, yuk,” ajak Maya pada Iyan. “Gak usah,” tolak Iyan dingin. Ia masih merasa tidak suka karena disalahkan pada malam itu. “Oh, gak mau, ya? Ya sudah, aku mau makan sendiri. Tadinya aku butuh teman. Gak papa, kalau Mas Iyan tidak mau,” ujar Maya santai. Ia lalu merapikan barang belanjaan yang ada di motor agak tidak jatuh. Setelahnya, berniat pergi. “Eh, mau makan dimana?” tanya Iyan saat tubuh Maya sudah berbalik. Wanita itu tersenyum lebar. ‘Lagaknya menolak,’ batinnya berujar. Mereka lalu menuju sebuah warung bakso yang terletak tidak jauh dari tempat parkir. Maya segera memesan dua mangkuk, tak lupa juga minumannya. “Minumlah,” ucap Maya mempersilakan saat minuman telah datang. “Terima kasih,” jawab Iyan dingin. ‘Ketus, dingin, juga masih mau diajak makan,’ batin May
Iyan tidak langsung menjawab saran yang disampaikan oleh Maya. Hal yang selama ini menjadi pantangan dalam hidupnya adalah, meminta maaf. Terlebih pada Nia. Sosok yang bagi dia dianggap menjadi sumber dari penderitaan yang keluarganya alami.Maya hanya terdiam. Mengamati raut wajah di hadapannya yang mulai berubah murung. Wanita itu tahu, Iyan tipe orang yang susah untuk meminta maaf. Akan tetapi, dirinya telah berjanji pada sang bapak. Akan membantu Iyan untuk berubah.“Kamu mau terus-terusan seperti ini. Mas? Kamu tega membiarkan Aira hidup dikucilkan terus menerus? Dan kamu tahan, berada dalam situasi tidak punya keluarga tempat mengadu?” tanya Maya setelah lama saling diam.Lagi. Iyan hanya merespon pertanyaan Maya dengan sikap bisunya. Sejenak merasa menyesal, mengapa ia mau diajak makan bersama bila ujungnya adalah memintanya untuk minta maaf.“Hiduplah dengan damai, tanpa rasa dendam. Terlebih, dendam kamu itu kamu tujukan pada orang yang salah, Mas. Bila ternyata, mereka yang
Sepeninggal Maya, Iyan menyandarkan tubuh ke dinding warung yang terbuat dari papan. Satu kaki ia tekuk ke atas untuk meletakkan siku. Berkali-kali tangannya menyugar rambut dan menjambaknya.***“Ayah, kapan kita mau main ke rumah Tante Maya?” tanya Aira saat sore hari duduk di teras rumah.“Kita tidak bisa ke sana lagi,” jawab Iyan sedeih.“Kenapa?” tanya Aira lagi.“Tante Maya sibuk. Kita gak boleh mengganggunya,” sahut Iyan.Kalau begitu, antarkan aku ke rumah Rumi, Ayah,” pinta Aira. “Aku ingin bermain. Aku Cuma punya sahabat Rumi seorang saja,” lanjutnya lagi.Iyan menatap lekat Aira dari samping. Anak itu menatap jalan depan rumah dengan tatapan kosong.“Aira, kenapa kalau main nakal sama Rumi? Ibu Rumi melarang Aira main ke sana karena Aira nakal. Coba, jelaskan sama Ayah!” Bingung karena ditekan Aira terus menerus untuk mengantar ke rumah Rumi, Iyan berkata agak keras.“Bukankah kata Ayah, aku selalu menjadi anak kesayangan? Aku tidak boleh dinakali dan katanya, dulu aku sela
“Masuklah dulu,” ajak Maya.Mereka lalu duduk di kursi ruang tamu, seperti biasanya saat Iyan datang berkunjung.“Apa kamu bilang tadi, Mas?” Maya bertanya karena tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar.“Maukah kamu mengantar aku ke rumah Nia, untuk minta maaf? Aku tidak punya nyali untuk ke sana seorang diri, Maya. Entahlah, aku bener-bener tidak berani. Aku merasa, kamu orang yang tepat untuk mendampingi aku,” jawab Iyan lirih.“Apa tidak ada saudara atau anggota keluarga kamu yang lain yang bisa diajak ke sana, Mas?” tanya Maya. Wanita itu merasa ragu bila hendak mengiyakan permintaan Iyan.“Nia sepertinya membenci semua keluargaku, Maya. Kecuali Mas Agam, mungkin. Karena aku pernah mendengar kalau Nia datang ke pernikahan Mas Agam. Tapi, hubunganku dengan Mas Agam juga sudah tidak sebaik dulu. Pokoknya, intinya, aku hanya merasa nyaman bila datang ke sana bersamamu,” ujar Iyan berusaha meyakinkan Maya.Wanita itu terdiam. Tampak tengah berpikir.“Bagaimana, May? Apa kamu ma
Giliran Maya yang terdiam. Kembali, rasa kesal hadir dalam sanubarinya. Ingin rasanya tidak lagi berbicara dengan Iyan. Akan tetapi, ia segera ingat, nasehat yang diberikan bapaknya untuk membantu Iyan sadar dari kesalahan.“Kenapa bisa kamu berpikir kalau kamu malu, uang mas-mu lebih banyak dinikmati kamu dan keluargamu?” tanya Maya kemudian.“Soalnya Nia dulu sempat membanting tulang huat memenuhi kebutuhan mereka. Aku ingat, Mas Agam cerita seperti itu sama aku,” aku Iyan lirih.“Nah, berarti, kamu merasa dong, Mas, Nia itu sudah terdzalimi kalian?” tanya Maya, lalu Iyan menjawab dengan anggukan kepala. “ Itu yang aku harapkan, Mas. Jangan sampai, kita ke sana, kamu malah akan berbicara hal-hal yang seolah menyalahkan Nia. Nanti aku bisa malu. Dan aku tidak mau,” ujar Maya lagi.“Kita ke sana, May? Berarti, kamu mau dong, menemani aku ke rumah Nia?” Pertanyaan dari Iyan membuat Maya menyadari bahwa dirinya telah menjawab setuju secara tidak langsung—atas permintaan Iyan.“I-iya, de
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”