Sepeninggal Maya, Iyan menyandarkan tubuh ke dinding warung yang terbuat dari papan. Satu kaki ia tekuk ke atas untuk meletakkan siku. Berkali-kali tangannya menyugar rambut dan menjambaknya.***“Ayah, kapan kita mau main ke rumah Tante Maya?” tanya Aira saat sore hari duduk di teras rumah.“Kita tidak bisa ke sana lagi,” jawab Iyan sedeih.“Kenapa?” tanya Aira lagi.“Tante Maya sibuk. Kita gak boleh mengganggunya,” sahut Iyan.Kalau begitu, antarkan aku ke rumah Rumi, Ayah,” pinta Aira. “Aku ingin bermain. Aku Cuma punya sahabat Rumi seorang saja,” lanjutnya lagi.Iyan menatap lekat Aira dari samping. Anak itu menatap jalan depan rumah dengan tatapan kosong.“Aira, kenapa kalau main nakal sama Rumi? Ibu Rumi melarang Aira main ke sana karena Aira nakal. Coba, jelaskan sama Ayah!” Bingung karena ditekan Aira terus menerus untuk mengantar ke rumah Rumi, Iyan berkata agak keras.“Bukankah kata Ayah, aku selalu menjadi anak kesayangan? Aku tidak boleh dinakali dan katanya, dulu aku sela
“Masuklah dulu,” ajak Maya.Mereka lalu duduk di kursi ruang tamu, seperti biasanya saat Iyan datang berkunjung.“Apa kamu bilang tadi, Mas?” Maya bertanya karena tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar.“Maukah kamu mengantar aku ke rumah Nia, untuk minta maaf? Aku tidak punya nyali untuk ke sana seorang diri, Maya. Entahlah, aku bener-bener tidak berani. Aku merasa, kamu orang yang tepat untuk mendampingi aku,” jawab Iyan lirih.“Apa tidak ada saudara atau anggota keluarga kamu yang lain yang bisa diajak ke sana, Mas?” tanya Maya. Wanita itu merasa ragu bila hendak mengiyakan permintaan Iyan.“Nia sepertinya membenci semua keluargaku, Maya. Kecuali Mas Agam, mungkin. Karena aku pernah mendengar kalau Nia datang ke pernikahan Mas Agam. Tapi, hubunganku dengan Mas Agam juga sudah tidak sebaik dulu. Pokoknya, intinya, aku hanya merasa nyaman bila datang ke sana bersamamu,” ujar Iyan berusaha meyakinkan Maya.Wanita itu terdiam. Tampak tengah berpikir.“Bagaimana, May? Apa kamu ma
Giliran Maya yang terdiam. Kembali, rasa kesal hadir dalam sanubarinya. Ingin rasanya tidak lagi berbicara dengan Iyan. Akan tetapi, ia segera ingat, nasehat yang diberikan bapaknya untuk membantu Iyan sadar dari kesalahan.“Kenapa bisa kamu berpikir kalau kamu malu, uang mas-mu lebih banyak dinikmati kamu dan keluargamu?” tanya Maya kemudian.“Soalnya Nia dulu sempat membanting tulang huat memenuhi kebutuhan mereka. Aku ingat, Mas Agam cerita seperti itu sama aku,” aku Iyan lirih.“Nah, berarti, kamu merasa dong, Mas, Nia itu sudah terdzalimi kalian?” tanya Maya, lalu Iyan menjawab dengan anggukan kepala. “ Itu yang aku harapkan, Mas. Jangan sampai, kita ke sana, kamu malah akan berbicara hal-hal yang seolah menyalahkan Nia. Nanti aku bisa malu. Dan aku tidak mau,” ujar Maya lagi.“Kita ke sana, May? Berarti, kamu mau dong, menemani aku ke rumah Nia?” Pertanyaan dari Iyan membuat Maya menyadari bahwa dirinya telah menjawab setuju secara tidak langsung—atas permintaan Iyan.“I-iya, de
Iyan kembali ke rumah Maya dengan sorot mata dan juga raut wajah yang berbeda. Hal itu membuat perempuan berstatus janda itu merasa heran. Terlebih, ayah serta temannya itu telah lama berada di masjid.“Maya, besok, temani Iyan ke rumah mantan iparnya. Naik mobil, biar Bapak yang carikan. Tidak baik bila kalian pergi hanya berdua saja,” ujar bapak Maya saat sampai di rumah.Maya menggelengkan kepala tanda meminta penjelasan. Akan tetapi, ayahnya berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar.Sudah menjadi tabiat dari perempuan yang menyandang status sebagai janda itu, apabila sang ayah tidak mau menjelaskan sesuatu hal, maka itu artinya ada sebuah alasan yang harus ia patuhi.“Aku pulang, May,” ujar Iyan lirih. Wajahnya seringkali menunduk sepulang dari masjid.“Oh, ok,” jawab Maya singkat.Ayah Aira langsung berlalu begitu saja, tanpa berkata banyak.Terdengar suara kendaraan dibunyikan dari tempat dimana Maya berdiri, yaitu ruang tamu. Tak seperti biasanya yang mengantar kepulangan Iyan,
Sepanjang perjalanan, Maya tidak saling bicara dengan Iyan. Ia lebih memilih menikmati perjalanan yang mulai menanjak dengan menembus hutan pinus. Udara yang terasa dingin membuatnya mengeratkan jaket yang ia pakai. Sesekali, dirinya menguap menahan kantuk. Namun, akhirnya terlelap juga.Saat sampai di jalan depan rumah Nia, Maya dibangunkan oleh pemuda yang menyupiri mobil. Setelah mencoba mengumpulkan kesadaran, Maya akhirnya turun dari mobil.Ditatapnya wajah Iyan yang terlihat ragu, enggan dan takut. Berbagai macam ekspresi yang bercampur menjadi satu.Tak bisa dipungkiri, suami dari Rani itu begitu takut untuk bertemu wanita yang dulu menjadi kakak iparnya.“Ayo, kita masuk,” ajak Maya ragu.Mereka berdua berjalan beriringan dengan tatapan Iyan yang menunduk.Berkali-kali mengetuk pintu, tidak ada balasan dari dalam. Mereka berdua sepakat untuk menunggu di kursi yang disediakan di teras.Pandangan Maya menyapu setiap sudut halaman rumah yang terlihat asri itu. Berbagai tanaman hi
Ibu Nia terlihat berkaca-kaca, tapi, ia bisa menahan untuk tidak menangis. Sebaliknya, Maya justru mulai terisak. Antara sedih dengan cerita yang barusan ia dengar, dan juga sebuah rasa penyesalan, dirinya dekat dengan Iyan, hingga harus terlibat dalam situasi seperti saat ini.“Aku tidak pernah tahu dengan apa yang terjadi diantara masa lalu Mbak Nia, Bu. Aku hanya mengantarkan teman yang ingin bersilaturahmi dengan keluarga Ibu, terutama Mbak Nia. Iya, hanya itu saja. Tidak ada hal lainnya. Namun ternyata, aku malah mendengar sebuah kisah terpilu yang aku temui sepanjang hidup. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ada keluarga yang kejam dan jahat seperti itu.” Kata-kata yang diucapkan Maya membuat Iyan mendongakkan kepala. Saling tatap dengan wanita yang telah ia minta untuk menemaninya meminta maaf pada Nia.Iyan melihat sorot kebencian dari tatapan Maya. Membuatnya semakin tersudut.“Iya, Mbak. Begitulah cerita yang sebenarnya. Dan, suami saya, kalau tahu ada adik Agam di sini,
Irsya memilih diam. Ia seringkali kalah, bila berdebat dengan Nia perihal menghadapi orang-orang yang menyakitinya. Masalah yang pernah terjadi karena Nia dan Ilma, membuatnya memilih untuk diam saat ini. Terlebih ia tahu, sakit hati sang istri terhadap keluarga Agam, sebenarnya masih ada. Hanya saja, ibu dari Dinta dan Danis itu memilih mengubur dalam-dalam. Iyan terdiam. Ia bukan orang yang bisa pandai merangkai kata, untuk dapat meluluhkan hati seseorang. Lidahnya kelu, merasa bingung dengan pertanyaan yang menyudutkan yang Nia berikan. Ingin rasanya meminta bantuan Maya untuk menjelasakn, tetapi, ia tidak mungkin meminta Maya secara langsung di hadapan mereka. “Mbak Nia, mohon maaf, saya pamit keluar, ya? Saya hanya diminta menemani teman saya ke sini, dan bukan hak saya untuk ikut serta dalam pembicaraan ini.” Ucapan yang disampaikan Maya membuat Iyan kaget. “May,” panggilnya saat melihat wanita yang duduk di sampingnya hendak bangkit.” “Aku tunggu di luar saja ya, Mas,” ujar
Nia memilih diam, pun dengan Irsya. Sementara Iyan, bingung hendak berkata apa.“Saya mohon maaf sekali, Mbak Nia, jika kedatangan kami ke sini merusak suasana hati Mbak Nia sekeluarga. Saya benar-benar tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Datang ke rumah orang yang belum saya kenal, tapi nyatanya saya membuat kegaduhan,” ujar Maya seraya menundukkan kepala.“tidak perlu berkata seperti itu, Mbak. Mungkin memang benar, Mbak tidak tahu semua yang terjadi dengan kehidupan istri saya di masa lalu. Tapi, lain kali sebaiknya, lebih berhati-hati bila diajak seseorang melakukan sesuatu hal. Kami tidak menyalahkan Mbak-nya, kok.” Kali ini, Irsya ikut menimpali karena melihat raut wajah Maya penuh dengan penyesalan.“Terima kasih, Pak. Jika saya tidak ke sini, maka saya tidak akan pernah tahu yang sebenarnya terjadi,” jawab Maya lirih.“Mbak pacarnya Mas ini?” tanya Irysa kemudian.“Bukan. Saya hanya temannya, Pak. Saya diminta menemaninya ke sini karena, katanya dia tidak berani datang