“Masuklah dulu,” ajak Maya.Mereka lalu duduk di kursi ruang tamu, seperti biasanya saat Iyan datang berkunjung.“Apa kamu bilang tadi, Mas?” Maya bertanya karena tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar.“Maukah kamu mengantar aku ke rumah Nia, untuk minta maaf? Aku tidak punya nyali untuk ke sana seorang diri, Maya. Entahlah, aku bener-bener tidak berani. Aku merasa, kamu orang yang tepat untuk mendampingi aku,” jawab Iyan lirih.“Apa tidak ada saudara atau anggota keluarga kamu yang lain yang bisa diajak ke sana, Mas?” tanya Maya. Wanita itu merasa ragu bila hendak mengiyakan permintaan Iyan.“Nia sepertinya membenci semua keluargaku, Maya. Kecuali Mas Agam, mungkin. Karena aku pernah mendengar kalau Nia datang ke pernikahan Mas Agam. Tapi, hubunganku dengan Mas Agam juga sudah tidak sebaik dulu. Pokoknya, intinya, aku hanya merasa nyaman bila datang ke sana bersamamu,” ujar Iyan berusaha meyakinkan Maya.Wanita itu terdiam. Tampak tengah berpikir.“Bagaimana, May? Apa kamu ma
Giliran Maya yang terdiam. Kembali, rasa kesal hadir dalam sanubarinya. Ingin rasanya tidak lagi berbicara dengan Iyan. Akan tetapi, ia segera ingat, nasehat yang diberikan bapaknya untuk membantu Iyan sadar dari kesalahan.“Kenapa bisa kamu berpikir kalau kamu malu, uang mas-mu lebih banyak dinikmati kamu dan keluargamu?” tanya Maya kemudian.“Soalnya Nia dulu sempat membanting tulang huat memenuhi kebutuhan mereka. Aku ingat, Mas Agam cerita seperti itu sama aku,” aku Iyan lirih.“Nah, berarti, kamu merasa dong, Mas, Nia itu sudah terdzalimi kalian?” tanya Maya, lalu Iyan menjawab dengan anggukan kepala. “ Itu yang aku harapkan, Mas. Jangan sampai, kita ke sana, kamu malah akan berbicara hal-hal yang seolah menyalahkan Nia. Nanti aku bisa malu. Dan aku tidak mau,” ujar Maya lagi.“Kita ke sana, May? Berarti, kamu mau dong, menemani aku ke rumah Nia?” Pertanyaan dari Iyan membuat Maya menyadari bahwa dirinya telah menjawab setuju secara tidak langsung—atas permintaan Iyan.“I-iya, de
Iyan kembali ke rumah Maya dengan sorot mata dan juga raut wajah yang berbeda. Hal itu membuat perempuan berstatus janda itu merasa heran. Terlebih, ayah serta temannya itu telah lama berada di masjid.“Maya, besok, temani Iyan ke rumah mantan iparnya. Naik mobil, biar Bapak yang carikan. Tidak baik bila kalian pergi hanya berdua saja,” ujar bapak Maya saat sampai di rumah.Maya menggelengkan kepala tanda meminta penjelasan. Akan tetapi, ayahnya berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar.Sudah menjadi tabiat dari perempuan yang menyandang status sebagai janda itu, apabila sang ayah tidak mau menjelaskan sesuatu hal, maka itu artinya ada sebuah alasan yang harus ia patuhi.“Aku pulang, May,” ujar Iyan lirih. Wajahnya seringkali menunduk sepulang dari masjid.“Oh, ok,” jawab Maya singkat.Ayah Aira langsung berlalu begitu saja, tanpa berkata banyak.Terdengar suara kendaraan dibunyikan dari tempat dimana Maya berdiri, yaitu ruang tamu. Tak seperti biasanya yang mengantar kepulangan Iyan,
Sepanjang perjalanan, Maya tidak saling bicara dengan Iyan. Ia lebih memilih menikmati perjalanan yang mulai menanjak dengan menembus hutan pinus. Udara yang terasa dingin membuatnya mengeratkan jaket yang ia pakai. Sesekali, dirinya menguap menahan kantuk. Namun, akhirnya terlelap juga.Saat sampai di jalan depan rumah Nia, Maya dibangunkan oleh pemuda yang menyupiri mobil. Setelah mencoba mengumpulkan kesadaran, Maya akhirnya turun dari mobil.Ditatapnya wajah Iyan yang terlihat ragu, enggan dan takut. Berbagai macam ekspresi yang bercampur menjadi satu.Tak bisa dipungkiri, suami dari Rani itu begitu takut untuk bertemu wanita yang dulu menjadi kakak iparnya.“Ayo, kita masuk,” ajak Maya ragu.Mereka berdua berjalan beriringan dengan tatapan Iyan yang menunduk.Berkali-kali mengetuk pintu, tidak ada balasan dari dalam. Mereka berdua sepakat untuk menunggu di kursi yang disediakan di teras.Pandangan Maya menyapu setiap sudut halaman rumah yang terlihat asri itu. Berbagai tanaman hi
Ibu Nia terlihat berkaca-kaca, tapi, ia bisa menahan untuk tidak menangis. Sebaliknya, Maya justru mulai terisak. Antara sedih dengan cerita yang barusan ia dengar, dan juga sebuah rasa penyesalan, dirinya dekat dengan Iyan, hingga harus terlibat dalam situasi seperti saat ini.“Aku tidak pernah tahu dengan apa yang terjadi diantara masa lalu Mbak Nia, Bu. Aku hanya mengantarkan teman yang ingin bersilaturahmi dengan keluarga Ibu, terutama Mbak Nia. Iya, hanya itu saja. Tidak ada hal lainnya. Namun ternyata, aku malah mendengar sebuah kisah terpilu yang aku temui sepanjang hidup. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ada keluarga yang kejam dan jahat seperti itu.” Kata-kata yang diucapkan Maya membuat Iyan mendongakkan kepala. Saling tatap dengan wanita yang telah ia minta untuk menemaninya meminta maaf pada Nia.Iyan melihat sorot kebencian dari tatapan Maya. Membuatnya semakin tersudut.“Iya, Mbak. Begitulah cerita yang sebenarnya. Dan, suami saya, kalau tahu ada adik Agam di sini,
Irsya memilih diam. Ia seringkali kalah, bila berdebat dengan Nia perihal menghadapi orang-orang yang menyakitinya. Masalah yang pernah terjadi karena Nia dan Ilma, membuatnya memilih untuk diam saat ini. Terlebih ia tahu, sakit hati sang istri terhadap keluarga Agam, sebenarnya masih ada. Hanya saja, ibu dari Dinta dan Danis itu memilih mengubur dalam-dalam. Iyan terdiam. Ia bukan orang yang bisa pandai merangkai kata, untuk dapat meluluhkan hati seseorang. Lidahnya kelu, merasa bingung dengan pertanyaan yang menyudutkan yang Nia berikan. Ingin rasanya meminta bantuan Maya untuk menjelasakn, tetapi, ia tidak mungkin meminta Maya secara langsung di hadapan mereka. “Mbak Nia, mohon maaf, saya pamit keluar, ya? Saya hanya diminta menemani teman saya ke sini, dan bukan hak saya untuk ikut serta dalam pembicaraan ini.” Ucapan yang disampaikan Maya membuat Iyan kaget. “May,” panggilnya saat melihat wanita yang duduk di sampingnya hendak bangkit.” “Aku tunggu di luar saja ya, Mas,” ujar
Nia memilih diam, pun dengan Irsya. Sementara Iyan, bingung hendak berkata apa.“Saya mohon maaf sekali, Mbak Nia, jika kedatangan kami ke sini merusak suasana hati Mbak Nia sekeluarga. Saya benar-benar tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Datang ke rumah orang yang belum saya kenal, tapi nyatanya saya membuat kegaduhan,” ujar Maya seraya menundukkan kepala.“tidak perlu berkata seperti itu, Mbak. Mungkin memang benar, Mbak tidak tahu semua yang terjadi dengan kehidupan istri saya di masa lalu. Tapi, lain kali sebaiknya, lebih berhati-hati bila diajak seseorang melakukan sesuatu hal. Kami tidak menyalahkan Mbak-nya, kok.” Kali ini, Irsya ikut menimpali karena melihat raut wajah Maya penuh dengan penyesalan.“Terima kasih, Pak. Jika saya tidak ke sini, maka saya tidak akan pernah tahu yang sebenarnya terjadi,” jawab Maya lirih.“Mbak pacarnya Mas ini?” tanya Irysa kemudian.“Bukan. Saya hanya temannya, Pak. Saya diminta menemaninya ke sini karena, katanya dia tidak berani datang
Iyan menundukkan kepala.“Aku tidak punya waktu untuk memikirkan kalian, Iyan. Aku tidak peduli dengan anak kesayanganmu, juga istrimu yang cantik itu. Bila kalian menderita saat ini, jangan mengaitkan dengan apapun.” Nia berkata kembali dengan nada tinggi.“Masuklah! Kamu lelah. Temani anak-anak,” perintah Irsya dengan lembut terhadap istrinya.Nia bangkit dan segera meninggalkan Iyan yang masih terpekur di atas kursi.Sejenak, kedua lelaki dewasa itu saling diam. Irsya tengah menyusun kata-kata untuk dapat menyadarkan mantan ipar istrinya. Sementara Iyan, dilanda kebingungan karena harus menghadapi semuanya sendiri.“Istriku sangat terluka saat keluarga kamu meminta ginjal Dinta. Bahkan, aku juga iku marah. Tapi, dia adalah wanita yang baik. Dengan segala yang terjadi di masa lalu, dia memilih untuk melupakan. Bukan balas dendam. Jadi, apabila kamu mengalami sebuah kesusahan, berhentilah untuk menyalahkan orang lain. Belajarlah instrospeksi diri. Tidak ada manusia yang berkuasa untu
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”