Maya seolah lenyap dari kehidupan Iyan, setelah kunjungan mereka ke rumah Nia. Wanita itu telah bertekad untuk tidak lagi berhubungan dengan Iyan, dan menganggap apapun yang terjadi dalam hidup Aira, bukanlah urusannya.Iyan pun enggan menghubungi Maya lebih dulu. Ia kembali pada hidupnya bersama wanita yang tidak waras.Suatu ketika, Aira tengah tersenyum seorang diri di hadapan cermin. Baju seragam yang dipinjamkan sekolah untuk berangkat lomba, sedang ia kenakan. Berlenggak-lenggok di depan lemari sambil sesekali tertawa.Saat telah puas mencoba, ia lalu melepaskan baju itu kembali dan meletakkannya di atas kasur. Tubuh kecilnya berlari ke luar rumah untuk bermain hujan yang turun tidak lebat. Celotehan anak seusianya yang bermain air hujan, membuatnya tertarik untuk turun berbasah-basahan, meskipun seorang diri.Seperti biasa, Aira hanya menatap teman-temannya dari kejauhan. Namun, pada akhirnya ia sadar kalau dirinya tidak diinginkan hadir. Ia lalu bermain seorang diri di bawah
Rani masuk ke dalamnya, berbaring pada papan yang dipasang satu meter dari tanah. Tubuhnya menggigil kedinginan. Terus menggigil, hingga akhirnya, ia tak sadarkan diri.Sementara itu, di rumah Iyan, terjadi pertengkaran hebat. Nusri terus menerus memarahi Iyan, sementara Hanif, hanya duduk termenung terlihat berpikir.Aira masih menangis karena baju yang seidanya akan dikenakan esok hari, telah hanyut entah kemana.“Aku sudah tidak tahan, Bu,” ucap Iyan seraya menyandarkan tubuh ke kursi. Hujan masih turun dengan lebat, bahkan petir terdengar menggelegar. Membuat mereka tidak bisa keluar untuk mencari Rani.Pagi menjelang. Perdebatan kembali terjadi di rumah itu. Nusri meminta Iyan mencari istrinya, sementara Iyan ingin ke sekolah menemui guru Aira. Anaknya semalaman terus menangis karena tkut tidak bisa ikut ke acara pesta siaga.“Aku tetap akan ke sekolahan Aira dulu, Bu. Baru mencari Rani,” kata Iyan. Hatinya sudah benar-benar lelah dengan keadaan yang menghimpit.“Bila terjadi ses
Sebuah kabar adanya seorang wanita yang ditemukan meninggal di tengah persawahan, menjadi perbincangan di kalangan warga. Lokasinya berjarak dua puluh kilometer dari tempat Iyan tinggal. Sudah berbeda kecamatan, tetapi, kabar itu santer beredar karena banyak warga yang membagikan di media sosial.Iyan sedang mengatur beberapa kendaraan yang baru saja datang. Ia memilih bekerja karena masih malas mencari Rani. Emodinya saat itu benar-benar tidak bisa dikendalikan. Lagipula, dirinya berpikir, Rani hanya pulang ke rumah orang tuanya. Itu hal yang pasti, karena beberapa kali, wanita tidak waras itu bolak-balik ke rumah lamanya.Berkali-kali, Iyan terkena kalkson orang yang lewat di area parkirnya. Hampir tertabrak, lebih tepatnya Entah mengapa, tenaganya seperti hilang.“Kamu sakit?” tanya salah satu teman Iyan sambil menyulut rokok.“Tidak. Hanya lemes saja bawaannya,” jawab Iyan lesu. Iya lalu duduk di sebuah papan yang tersedia untuk tukang parkir.“Pulanglah! Jangan dipaksakan. Nanti
Dengan keadaan tubuh yang lemas, Iyan berangkat menuju puskesmas yang tertera di media sosial, sebagai tempat mayat itu berada. Wildan sama sekali tidak berani bertanya pada kawannya. Berkali-kali, ia harus menahan tubuh Iyan yang hendak ambruk dari atas motor. Menempuh jarak tiga puluh menit, mereka sampai di tempat yang dituju. Dengan dipapah Wildan, Iyan berjalan menuju tempat informasi. “Boleh tahu, Bapak itu ada hubungan apa dengan mayat yang ditemukan?” tanya petugas setelah mengetahui maksud kedatangan mereka. “Saya suaminya, Pak,” jawab Iyan dengan tangis yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Wildan sangat kaget mendengar jawaban temannya. Ia lalu memapah Iyan ke kamar jenzah tanpa banyak bertanya. Dengan tangan bergetar, ayah Aira membuka kain yang mentupi jenazah sang istri. Ia berteriak histeris seraya memeluk wajah Rani. Tangisnya sudah tidak dapat dibendung lagi. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Sedih, menyesal, dan marah terhadap dirinya sendiri. “Sabar, Yan ….
Nusri melangkah, melewati para pelayat yang masih melantunkan ayat suci Al-Qur’an—untuk mengajak Aira minggir. Beberapa pasang mata menatap pilu pada gadis kecil yang menangis sesenggukan di samping jenazah sang ibunda. Bahkan, orang-orang yang tadinya membenci Aira, untuk sejenak, rasa itu berubah menjadi iba dan belas kasihan.“Ra, ayo, jangan di sini,” ajak Nusri lembut. Sedu sedan pun terdengar dari mulutnya.Aira menggeleng lemah, dalam keadaan kepala masih menelungkup.“Malu, dilihat banyak orang. Ibu juga mau dimandikan,” ucap Nusri lagi.“A-aku ma-mau di si-si-ni,” jawab Aira terbata.“Ibu mau dimandikan,” ucap Nusri lagi.Aira tetap menggeleng.“Yu Nusri, mau dimandikan,” ucap salah satu warga dari pintu tengah.Bisik-bisik terdengar di ruang tengah yang mengatakan, Aira tidak mau beranjak dari jenazah Rani. Agam yang mendengarnya segera bangkit, meninggalkan Iyan yang masih tidak sadarkan diri.“Ayo, kita biarkan Ibu mandi dulu,” ujar Agam pada Aira.Anak Agam menoleh, menat
“Sudah selesai, berdoanya?” tanya Agam pada Aira.Gadis kecil itu menoleh dan mengangguk. Matanya terlihat merah.“Sudah makan?” tanya Agam.Aira menggeleng.“Mau makan sate kesukaan Aira? Ayo, Pak Dhe belikan,” ajak Agam.Aira yang masih malu dengan Agam hanya mengangguk lirih.“Bersiap, ya? Pak Dhe mau ajak Mas Bilal,” ujar Agam.Adat di desa Agam menerapkan untuk memanggil Mas, pada anak dari saudara tertua orang tua yang bersangkutan, meskipun usianya lebih kecil.Agam berlalu, masuk ke kamar dimana ada sang istri dan anaknya tertidur. Saat pintu dibuka, rupa-rupanya, Bilal Bilal sudah bangun.“La, aku mau ajak Bilal sama Aira keluar beli sate, ya? Kamu ikut, ya?” ucap Agam pada sang istri.“Aku mau bantu-bantu acara tahlilan, Mas. Kamu pergi saja sama Bilal dan Aira,” jawab Laila.“Baiklah. Kamu mau nitip apa? Mau dibelikan apa?” tanya Agam kemudian.“Tidak usah, Mas. Di rumah banyak makanan kok. Ajaklah saja Aira berkeliling-keliling, supaya rasa sedihnya sedikit hilang,” jawab
Pada waktu yang sudah ditentukan, di hari libur, Agam mengajak Iyan dan Aira berkunjung ke rumah Nia. Hanya mereka bertiga. Karena memang acaranya adalah mengantar Iyan untuk meminta maaf. Sehingga bagi Agam, tidak perlu membawa banyak orang.“Ibu ikut ya, Gam? Pengin ketemu sama Dinta dan danis,” pinta Nusri mengharap.“Tidak usah, Bu. Kami ke sana itu mau bahas hal penting. Kalau Ibu ikut, nanti malah pembahasannya kemana-mana,” jawab Agam menolak.“Kemana-mana gimana sih, Gam? Ya enggaklah. Wong paling bahas apa, sih? Hal sepele,” sahut Hanif ikut menimpali.Agam diam, tidak mau berdebat dengan bapaknya yang suka mengambil kesimpulan sendiri.Ia lebih memilih membantu memakaikan jaket di tubuh Aira.“Nanti jangan sampai, Gam, Iyan disakiti perasaannya sama Nia. Lha menurut Bapak sih, ya, kami itu ikut. Kami ‘kan orang tua kamu, jadi harus selalu ada di sisi kalian saat kalian terkena suatu masalah. Bapak itu tidak rela kalau kalian ke sana sendirian. Takutnya ada apa-apa, tidak ad
Ia lalu mengajak kedua keluarganya turun.Menaiki teras rumah Nia, Agam sembari mengedarkan pandangan. Sudah banyak yang berubah dari saat ia pergi dulu. Tentu saja. Karena Nia telah memiliki pasangan baru.Garasi mobil telah ada di halaman, dan berisi dua kendaraan beroda empat yang mewah. Hati Agam sedikit menciut. Meskipun saat ini hubungannya telah membaik dengan mantan istri, tapi rasa minder dan kesalahan yang pernah ia lakukan dulu, kembali hadir memenuhi kalbu. Maklum saja, setelah terakhir kali datang saat Dinta ulang tahun, ia tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah itu.“Mas ….” Panggilan dari Iyan membuat Agam tersadar kembali.Bel rumah ditekan Agam berkali-kali. Beberapa menit kemudian, sosok wanita yang telihat semakin cantik meski hanya memakai daster batik dan jilbab instan, berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum pada Agam, lalu tatapannya beralih pada Iyan, dan terakhir Aira. Senyum di bibir Nia kembali meredup saat melihat dua orang yang sangat ia benci di masa la