Ibu Nia terlihat berkaca-kaca, tapi, ia bisa menahan untuk tidak menangis. Sebaliknya, Maya justru mulai terisak. Antara sedih dengan cerita yang barusan ia dengar, dan juga sebuah rasa penyesalan, dirinya dekat dengan Iyan, hingga harus terlibat dalam situasi seperti saat ini.“Aku tidak pernah tahu dengan apa yang terjadi diantara masa lalu Mbak Nia, Bu. Aku hanya mengantarkan teman yang ingin bersilaturahmi dengan keluarga Ibu, terutama Mbak Nia. Iya, hanya itu saja. Tidak ada hal lainnya. Namun ternyata, aku malah mendengar sebuah kisah terpilu yang aku temui sepanjang hidup. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ada keluarga yang kejam dan jahat seperti itu.” Kata-kata yang diucapkan Maya membuat Iyan mendongakkan kepala. Saling tatap dengan wanita yang telah ia minta untuk menemaninya meminta maaf pada Nia.Iyan melihat sorot kebencian dari tatapan Maya. Membuatnya semakin tersudut.“Iya, Mbak. Begitulah cerita yang sebenarnya. Dan, suami saya, kalau tahu ada adik Agam di sini,
Irsya memilih diam. Ia seringkali kalah, bila berdebat dengan Nia perihal menghadapi orang-orang yang menyakitinya. Masalah yang pernah terjadi karena Nia dan Ilma, membuatnya memilih untuk diam saat ini. Terlebih ia tahu, sakit hati sang istri terhadap keluarga Agam, sebenarnya masih ada. Hanya saja, ibu dari Dinta dan Danis itu memilih mengubur dalam-dalam. Iyan terdiam. Ia bukan orang yang bisa pandai merangkai kata, untuk dapat meluluhkan hati seseorang. Lidahnya kelu, merasa bingung dengan pertanyaan yang menyudutkan yang Nia berikan. Ingin rasanya meminta bantuan Maya untuk menjelasakn, tetapi, ia tidak mungkin meminta Maya secara langsung di hadapan mereka. “Mbak Nia, mohon maaf, saya pamit keluar, ya? Saya hanya diminta menemani teman saya ke sini, dan bukan hak saya untuk ikut serta dalam pembicaraan ini.” Ucapan yang disampaikan Maya membuat Iyan kaget. “May,” panggilnya saat melihat wanita yang duduk di sampingnya hendak bangkit.” “Aku tunggu di luar saja ya, Mas,” ujar
Nia memilih diam, pun dengan Irsya. Sementara Iyan, bingung hendak berkata apa.“Saya mohon maaf sekali, Mbak Nia, jika kedatangan kami ke sini merusak suasana hati Mbak Nia sekeluarga. Saya benar-benar tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Datang ke rumah orang yang belum saya kenal, tapi nyatanya saya membuat kegaduhan,” ujar Maya seraya menundukkan kepala.“tidak perlu berkata seperti itu, Mbak. Mungkin memang benar, Mbak tidak tahu semua yang terjadi dengan kehidupan istri saya di masa lalu. Tapi, lain kali sebaiknya, lebih berhati-hati bila diajak seseorang melakukan sesuatu hal. Kami tidak menyalahkan Mbak-nya, kok.” Kali ini, Irsya ikut menimpali karena melihat raut wajah Maya penuh dengan penyesalan.“Terima kasih, Pak. Jika saya tidak ke sini, maka saya tidak akan pernah tahu yang sebenarnya terjadi,” jawab Maya lirih.“Mbak pacarnya Mas ini?” tanya Irysa kemudian.“Bukan. Saya hanya temannya, Pak. Saya diminta menemaninya ke sini karena, katanya dia tidak berani datang
Iyan menundukkan kepala.“Aku tidak punya waktu untuk memikirkan kalian, Iyan. Aku tidak peduli dengan anak kesayanganmu, juga istrimu yang cantik itu. Bila kalian menderita saat ini, jangan mengaitkan dengan apapun.” Nia berkata kembali dengan nada tinggi.“Masuklah! Kamu lelah. Temani anak-anak,” perintah Irsya dengan lembut terhadap istrinya.Nia bangkit dan segera meninggalkan Iyan yang masih terpekur di atas kursi.Sejenak, kedua lelaki dewasa itu saling diam. Irsya tengah menyusun kata-kata untuk dapat menyadarkan mantan ipar istrinya. Sementara Iyan, dilanda kebingungan karena harus menghadapi semuanya sendiri.“Istriku sangat terluka saat keluarga kamu meminta ginjal Dinta. Bahkan, aku juga iku marah. Tapi, dia adalah wanita yang baik. Dengan segala yang terjadi di masa lalu, dia memilih untuk melupakan. Bukan balas dendam. Jadi, apabila kamu mengalami sebuah kesusahan, berhentilah untuk menyalahkan orang lain. Belajarlah instrospeksi diri. Tidak ada manusia yang berkuasa untu
Maya seolah lenyap dari kehidupan Iyan, setelah kunjungan mereka ke rumah Nia. Wanita itu telah bertekad untuk tidak lagi berhubungan dengan Iyan, dan menganggap apapun yang terjadi dalam hidup Aira, bukanlah urusannya.Iyan pun enggan menghubungi Maya lebih dulu. Ia kembali pada hidupnya bersama wanita yang tidak waras.Suatu ketika, Aira tengah tersenyum seorang diri di hadapan cermin. Baju seragam yang dipinjamkan sekolah untuk berangkat lomba, sedang ia kenakan. Berlenggak-lenggok di depan lemari sambil sesekali tertawa.Saat telah puas mencoba, ia lalu melepaskan baju itu kembali dan meletakkannya di atas kasur. Tubuh kecilnya berlari ke luar rumah untuk bermain hujan yang turun tidak lebat. Celotehan anak seusianya yang bermain air hujan, membuatnya tertarik untuk turun berbasah-basahan, meskipun seorang diri.Seperti biasa, Aira hanya menatap teman-temannya dari kejauhan. Namun, pada akhirnya ia sadar kalau dirinya tidak diinginkan hadir. Ia lalu bermain seorang diri di bawah
Rani masuk ke dalamnya, berbaring pada papan yang dipasang satu meter dari tanah. Tubuhnya menggigil kedinginan. Terus menggigil, hingga akhirnya, ia tak sadarkan diri.Sementara itu, di rumah Iyan, terjadi pertengkaran hebat. Nusri terus menerus memarahi Iyan, sementara Hanif, hanya duduk termenung terlihat berpikir.Aira masih menangis karena baju yang seidanya akan dikenakan esok hari, telah hanyut entah kemana.“Aku sudah tidak tahan, Bu,” ucap Iyan seraya menyandarkan tubuh ke kursi. Hujan masih turun dengan lebat, bahkan petir terdengar menggelegar. Membuat mereka tidak bisa keluar untuk mencari Rani.Pagi menjelang. Perdebatan kembali terjadi di rumah itu. Nusri meminta Iyan mencari istrinya, sementara Iyan ingin ke sekolah menemui guru Aira. Anaknya semalaman terus menangis karena tkut tidak bisa ikut ke acara pesta siaga.“Aku tetap akan ke sekolahan Aira dulu, Bu. Baru mencari Rani,” kata Iyan. Hatinya sudah benar-benar lelah dengan keadaan yang menghimpit.“Bila terjadi ses
Sebuah kabar adanya seorang wanita yang ditemukan meninggal di tengah persawahan, menjadi perbincangan di kalangan warga. Lokasinya berjarak dua puluh kilometer dari tempat Iyan tinggal. Sudah berbeda kecamatan, tetapi, kabar itu santer beredar karena banyak warga yang membagikan di media sosial.Iyan sedang mengatur beberapa kendaraan yang baru saja datang. Ia memilih bekerja karena masih malas mencari Rani. Emodinya saat itu benar-benar tidak bisa dikendalikan. Lagipula, dirinya berpikir, Rani hanya pulang ke rumah orang tuanya. Itu hal yang pasti, karena beberapa kali, wanita tidak waras itu bolak-balik ke rumah lamanya.Berkali-kali, Iyan terkena kalkson orang yang lewat di area parkirnya. Hampir tertabrak, lebih tepatnya Entah mengapa, tenaganya seperti hilang.“Kamu sakit?” tanya salah satu teman Iyan sambil menyulut rokok.“Tidak. Hanya lemes saja bawaannya,” jawab Iyan lesu. Iya lalu duduk di sebuah papan yang tersedia untuk tukang parkir.“Pulanglah! Jangan dipaksakan. Nanti
Dengan keadaan tubuh yang lemas, Iyan berangkat menuju puskesmas yang tertera di media sosial, sebagai tempat mayat itu berada. Wildan sama sekali tidak berani bertanya pada kawannya. Berkali-kali, ia harus menahan tubuh Iyan yang hendak ambruk dari atas motor. Menempuh jarak tiga puluh menit, mereka sampai di tempat yang dituju. Dengan dipapah Wildan, Iyan berjalan menuju tempat informasi. “Boleh tahu, Bapak itu ada hubungan apa dengan mayat yang ditemukan?” tanya petugas setelah mengetahui maksud kedatangan mereka. “Saya suaminya, Pak,” jawab Iyan dengan tangis yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Wildan sangat kaget mendengar jawaban temannya. Ia lalu memapah Iyan ke kamar jenzah tanpa banyak bertanya. Dengan tangan bergetar, ayah Aira membuka kain yang mentupi jenazah sang istri. Ia berteriak histeris seraya memeluk wajah Rani. Tangisnya sudah tidak dapat dibendung lagi. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Sedih, menyesal, dan marah terhadap dirinya sendiri. “Sabar, Yan ….