“Ada, dia anak kampung sebelah. Udah ya, Mbah, aku menunggu Rumi di depan,” tukas Aira. Ia lalu berlari meninggalkan Nusri yang berkaca-kaca.“Ya Allah, semoga Aira bahagia. Akhirnya, Aira punya teman. Sudah lama, aku tidak melihatnya seceria dan sebahagia ini,” gumam Nusri seorang diri.Aira menunggu Rumi, kawan baru sekaligus kawan satu-satunya dengan penuh cemas. Ia takut, Rumi tidak akan datang. Berkali-kali, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri.“Lagi nunggu siapa sih? Kelihatanya sibuk dan cemas?” goda sang ayah.“Rumi, temanku, Yah? Dia mau datang.”“Oh ya? Wah, ada tamu spesial ini, Ayah harus beli jajan yang banyak untuk menyambut teman dari putri ayah tercinta,” ucap Iyan seraya mengangkat tubuh Aira.“Ayah ih, jangan angkat aku. Nanti temanku melihat. Aku malu,” teriak Aira kegirangan. Terlihat sekali, ia bahagia dengan teman barunya.Tak berapa lama, sebuah sepeda motor datang dan menurunkan seorang anak yang sebaya dengan Aira. Dilihat dari penampilannya, ia berasal
Aira masih tersedu, bersandar pada tembok dengan warna cat kuning gading, saat sang ayah belum pulang. Tanpa ia sadari, di satu sisi jalan dengan jarak lima meter dari rumahnya, seorang perempuan tengah memperhatikannya dari atas sepeda motor. Ia berpura-pura tengah mengetik sesuatu di ponsel yang ada di tangan.Rani kembali datang dengan membawa boneka Aira.“Pergi kamu!” usir Aira saat melihat sosok yang melahirkannya datang.“Aira nangis kenapa?” tanya Rani sembari tersenyum dan menggaruk kepalanya. Tingkahnya sudah menunjukkan kalau dia orang gila.“Aku sudah tidak mau lagi punya ibu seperti kamu!” teriak Aira lagi.Rani maju beberapa langkah, memungut kertas yang berisi materi yang sedianya akan dibuat belajar dengan Rumi.“Jangan sentuh, itu punya aku. Mau kubuat belajar. Jangan menyentuhnya!” seru Aira. Tangan kecilnya berusaha merebut lembaran-lembaran yang dipegang Rani.“Aku mau lihat. Aku juga mau belajar,” ucap Rani kegirangan. Melihat gambar warna-warni di kertas tersebu
Tinggallah Maya seorang diri, menyaksikan kepiluan untuk kedua kalinya terjadi di depan mata. Setelah meredakan gejolak dalam hati, dirinya lalu melajukan kendaraan. Semula, ia berniat mengunjungi Aira. Namun, melihat keadaan yang terjadi, wanita itu memilih menunda kunjungannya.Malam harinya, Maya tidak bisa terlelap lagi. Kali ini, bayangan kejadian yang menimpa Aira seakan terputar kembali dengan utuh tanpa potongan laksana sebuah film. Semakin ia menginat, semakin sakit bdan menghimpit dada.“Dia butuh kasih sayang. Dia anak yang malang,” gumamnya seorang diri.***Suatu siang, Iyan dikagetkan dengan kedatangan Maya ke pasar dan memarkirkan kendaraan di wilayah yang ia jaga. Untuk pertama kalinya, perempuan yang ia pernah menyatakan perasaannya itu kembali lagi pada kebiasaan semula. Merasa canggung, Iyan tidak menghampiri. Tanpa ia sadari, dari balik kaca helm, Maya terus memperhatikan pria yang tetap memakai pakaian lusuh untuk bekerja.Setelah selesai berbelanja, Maya kembali
Semenjak berteman dengan Rumi, Aira jadi semakin terlihat bersemangat berangkat sekolah. Iyan sesekali memandang buah cintanya dengan Rani kala sesekali gadis kecil itu tidur di depan televisi."Apakah aku telah salah mendidik kamu, sehingga untuk mencari teman saja kamu harus bermain jauh?" ujarnya seorang diri. "Atau, mereka saja yang sombong, melarang anak-anaknya untuk tidak bermain dengan anakku. Anakku nakal? Dia sama Rumi saja baik-baik saja," ucapnya lagi."Ayah bicara apa?" tanya Aira, ia terbangun dan duduk bersandar sebuah tembok."Enggak. Enggak bicara apapun," ujar Iyan berbohong. "Kamu bahagia, main di rumah Rumi terus? 'Kan jauh. Sekali-kali Rumi harus diajak ke sini, gantian. Biar Aira tidak ke sana setiap hari. Atau, Aira jangan ke sana. Sesekali di rumah saja," ucap Iyan.Gadis berambut panjang itu terdiam dan menunduk. "Rumi tidak mau main ke sini, Ayah," jawabnya lirih.Iyan mengusap kepala Aira dan mengangguk. Tanda mengerti akan semua yang terjadi di rumahanya."
Mereka saling diam. Mulut Iyan terasa berat untuk ia buka kembali. Tubuhnya pun ikut mematung. Terasa kaku untuk digerakkan. Seperti itulah gambaran seseorang yang menahan malu.“Rumi, ambilkan cepat!” Suara Aira terdengar berteriak dari luar.Mereka bermain di halaman sehingga suaranya terdengar dari ruang tamu.“Aku sudah lelah, Aira. Kamu saja yang ambil, ya? Gantian, aku yang jagain masak-masakannya. Kaki aku pegel," jawab Rumi terdengar kesal.“Kamu aja ah yang ambil. Udah cepet sana. Keburu mau dimasak daunnya,” teriak Aira keras.Iyan melihat ke luar dari sela kaca jendela yang retak.“Seperti itulah setiap harinya, Mas Iyan. Saya mau menasehati Aira tidak berani. Karena dia kelihatannya keras dan susah dibilangin. Saya merasa karena kami ini keluarga yang tidak mampu, keluarga miskin jadi ya menyuruh Rumi untuk selalu mengalah. Tapi, lama-lama saya kasihan sama anak saya. Mau menyuruh Aira pulang, tidak tega karena pulangnya jauh. Mas Iyan kalau ke sini juga langsung pergi se
“Kenapa pintu rumah Rumi tertutup tadi, Ayah? Kenapa ibunya tidak keluar setelah aku panggil-panggil?” Aira bertanya pada sang ayah saat sudah sampai rumah.“Kamu nakal sama Rumi tadi?” tanya Iyan menginterogasi anaknya. Baru kali ini, Iyan merasa malu dengan ulah putri kesayangannya.“Aku tidak nakal sama Rumi, Ayah,” elak Aira.“Ayah dengar tadi kamu bentak dia.”“Aku sedang memasak, aku meminta Rumi untuk mengambilkan bahan-bahan. Dia tidak mau.”“Ibu Rumi sudah bilang sama Ayah. Kamu suka bentak-bentak Rumi. Ayah juga dengar sendiri tadi.”Aira menunduk.“Kamu sudah tidak boleh bermain ke sana lagi, kata ibu Rumi,” ujar Iyan memberi tahu.Aira terlihat sedih.“Tidak apa-apa. Besok-besok, Ayah akan mengajak kamu bermain ke rumah Tante Maya,” ucap Iyan lagi. Iya merasa tidak tega kalau harus memarahi Aira.***“Aira sepertinya sudah menjadi korban salah asuh,” ujar Maya saat Iyan datang berkunjung malam harinya. Ia menceritakan semua yang dialami Aira termasuk penolakan ibu Rumi.“
Iyan lalu menceritakan sosok Nia dengan masa lalunya yang selalu mendapatkan perilaku tidak sama dengan yang Rani dapatkan dari keluarganya.Maya menjadi tertarik dengan masa lalu Iyan sebelum rani gila. Hal yang membuatnya penasarsan selama ini, kini diceritakan oleh Iyan tanpa ia meminta.Wanita berjilbab hijau toska itu sesekali mengernyitkan dahi. Karena di sanalah, ia menlihat keegoisan Iyan yang sebenarnya.Dari caranya menceritakan dan menyalahkan Nia, Maya menjadi sedikit paham, mengapa tetangga sekitar mengucilkan gadis kecil yang disebut Iyan sebagai kesayangan keluarganya itu. Ia juga mulai menghubungkan keadaan Rani dengan berbagai kemungkinan akibat dari masa lalunya dulu.“Sepertinya dari yang aku tahu, sosok Nia yang diceritakan Mas Iyan, dia yang menjadi korban, Mas. Kenapa Mas Iyan begitu membencinya?” tanya Maya setelah Iyan terdiam dari aktivitas menceritakan ssosok Nia.“Kata siapa dia yang jadi korban, May? Jelas aku dan Aira yang jadi korban. Karena Nia, aku jadi
“May, kamu kok ngomongnya gitu, sih?” Iyan bertanya ketus.“Ya karena kamu ceitanya seperti itu, Mas. Jadi aku kesal. Kalau kamu cerita hal yang tidak bikin kesal, aku tidak akan kesal.”“Bicaramu berbelit seperti judul sinetron,” celetuk Iyan.“Yang diceritakan juga mirip banget sama sinetron. Ah, malahan bagus itu, Mas, kalau dibuat film. Kamu tokoh jahatnya,” sambung Maya.“May, kamu kok jadi berubah gitu sih? Aku pikir kamu wanita baik, wanita yang mengerti aku. Aku sempat nyaman karena mengenal kamu di saat aku merasa hidup seorang diri saja,” keluh Iyan lirih.Maya tidak segera menjawab. Wanita itu menyandarkan punggung ke kursi. Mengamati Iyan lamat-lamat. Ia begitu tertarik untuk mengetahui kisah dari keluarga unik itu. Namun, semakin mengetahui, hatinya semakin dibuat meradang.Maya memiliki karakter yang kuat. Sehingga ia mampu mengatasi sikap Iyan di saat emosinya ikut tersulut. Dirinya justru tertantang untuk membuat lelaki di hadapannya merasa sadar.“Mas, Nia sudah cerai