Sekitar seperempat jam aku menunggu. Aku memilih duduk di tepi teras,karena kaki terasa pegal. Biarlah nanti kalau diminta mengepel lantai, akan kulakukan.
Lima belas menit sejak aku duduk sudah berlalu. Itu artinya, sudah setengah jam aku berada di sini tanpa kepastian. Aku sudah putus asa, dan memilih bangkit, hendak pergi. Kuembuskan napas kasar dan turun dari teras untuk memakai sandalku.
Derit pintu terbuka membuat diriku menoleh. Sesosok pria tegap berkulit berdiri di sana.
Dengan langkah ragu, aku berbalik menuju pintu. “Maaf, mengganggu waktunya, Mas Tohir.”
“Mau apa ke sini? Belum puas sudah menghancurkan keluargaku? Mau apa lagi sekarang?”
“Maaf, Mas, bisakah kita bicara sebentar?”
Pandangan tidak suka, terpancar jelas dari sorot matanya. Pria itu melangkah keluar dari pintu, melewati tubuhku yang membatu. Duduk di kursi teras tanpa sepatah katapun. Ini lebih baik, karena artinya, dirinya mau ber
Kuberanikan diri untuk mendongakkan kepala. Terlihat seorang gadis kecil berdiri di ambang pintu sambil menangis sesenggukan. Nadia sudah SMP, dia sudah cukup umur untuk memahami apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Ada sorot kerinduan di sana. Aku tidak kuat melihat wajah yang begitu sedih itu. Betapa perbuatanku memang telah melukai banyak orang.“Baiklah, Bu, saya permisi dulu. Mas Tohir, saya permisi. Nadia.” Aku memanggil gadis yang menginjak remaja. “Ibu sangat merindukan Nadia. Nadia mau bertemu ibu, kan?” Tak peduli akan diumpat lebih kasar lagi, aku bertanya pada anak Anti.“Cepat pergi dari sini. Tidak usah menambah kekacauan pada kehidupan anakku. Dia sudah baik-baik saja saat ini!” Tohir menghardikku, hingga tubuhku sedikit bergetar.Aku beringsut mundur dan memakai sandal untuk kemudian melangkah menuju kendaraan.“Agam!” Sebuah suara bariton memanggil saat diriku sudah berada di atas
“Kok, kewajibanku, Pak? Kan, Iyan yang buat anak.”“Bapak sama Ibu udah biayai kamu jadi pegawai, lho, Gam.” Bapak tidak sungkan untuk membahas kebaikannya untuk anak sendiri. “Sudahlah, kamu jangan bahas uang Rani lagi. Ya, wajar saja kalau dia ingin menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi.”Aku mengangguk, pura-pura paham. Rasa sakit hati ini sudah berada di titik tertinggi, tetapi aku tidak akan melawan mereka dengan otot. Aku harus menyusun strategi untuk mendapatkan kembali uang yang harusnya menjadi milikku.Rani, Iyan, tunggu pembalasan dariku, yang selalu kalian zalimi.“Jadi, bagaimana? Apa Ibu benar-benar tidak akan membawa seserahan makanan untuk pihak keluarga Anti?”“Ibu mau bawa, Gam. Tapi, mana uangnya?” jawab ibu pasrah.“Minta sama Iyan, Bu, bagianku dari penjualan kayu. Dua juta cukup buat beli beberapa kaleng biskuit.”“Gak bisa gitu,
Hari pernikahanku dengan Anti tiba. Meskipun tanpa rasa cinta seperti dulu, tetapi aku sudah bertekad untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kuperbuat. Aku tidak mengurus berkas ke KUA. Karena untuk sementara, kami sepakat menikah secara siri. Setelah diriku bisa tinggal di rumahnya, baru akan kuurus secara negara. Tidak punya rumah membuatku bingung.Sebelum berangkat, aku menghubungi Mbak Eka, berharap dirinya bisa mendampingiku mengucapkan ijab kabul pada wanita yang tengah mengandung anakku. Jawabannya sungguh mengejutkan. Dirinya, yang selama ini mengatakan sangat menyayangiku, hari ini menolak permintaanku.“Makanya, Gam. sama saudara itu yang akur. Kamu butuh juga, kan? Kemarin, kenapa kamu seperti itu sama Rani? Buat perkara saja. Rani itu istrinya Iyan. Kamu menyakitinya, sama juga kamu menyakiti perasaan Iyan, juga aku. Maaf, Gam, aku lebih menghormati perasaan Iyan. Jadi, aku tidak bisa datang.”Sungguh miris. Diriku datang sendiri da
Malam telah tiba, terasa sunyi dan sepi karena hanya ada berdua di rumah ini. Tidak ada kehangatan antara diriku dengan Anti.“Anti, ada yang kamu inginkan, tidak? Selayaknya orang ngidam, gitu?” tanyaku saat melihatnya berbaring di sofa depan televisi.Dirinya hanya melirik sekilas padaku yang ikut duduk pada benda sangat empuk itu. Setelahnya, kembali menatap layar besar di depan. Barang-barang di rumahnya termasuk mewah. Maklumlah, dulu Tohir begitu memanjakan Anti, sehingga apa pun yang diinginkan pasti dituruti.“Aku gak ingin apa-apa, Mas. Kamu tidur saja, pasti capek.”Sebenarnya aku tahu, di mana kamar Anti, tetapi rasanya malu. Aku tahu, Anti mau menikah denganku karena terpaksa. Jadi, tidak akan ada kemesraan indah layaknya pasangan pengantin baru.Anti bangun dan kembali lagi dengan sepiring makanan, menyantap lahap di hadapanku tanpa mengajak ikut serta. Kutelan saliva melihatnya menyuap nasi dengan rendang mengg
Sebelum sampai di rumah Anti, aku berhenti sejenak untuk mengatur rasa yang membuncah. Ini lebih membingungkan dibandingkan menghadapi keluargaku. Bila dengan mereka, aku bebas marah ataupun pergi, tapi aku bisa apa saat menghadapi sikap dingin Anti?Terbesit keinginan untuk kembali ke kantor, mengingat di rumah itu, aku seperti manusia yang tidak punya harga diri. Namun, aku ingat bayi yang ada dalam kandungannya. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama.Untungnya, di dalam tas masih ada uang dua juga pemberian bapak dan juga satu juga yang diberi ibu. Bisa untuk bekal hidup, sambil cari-cari sampingan.“Assalamualaikum.” Aku mengetuk pintu. Bagaimanapun, ini bukan rumahku, sopan santun harus tetap kujaga.Anti membuka pintu dengan raut muka yang dingin.Bibir ini kutarik, mencoba untuk beramah tamah dengan wanita yang sudah sah secara agama menjadi istriku. “Sudah makan?” tanyaku.Anti hanya mengangguk.&
“Agam, jangan begitu. Ibu sendirian menghadapi semuanya, Agam. Ibu harus bagaimana? Ibu malu, warga berkumpul di depan rumah kita semua.” Tangis ibu mulai keras terdengar.“Kalau begitu, Ibu pergi saja. Jangan menampakkan diri di hadapan mereka semua. Biar Ibu tidak malu.”“Agam, tolonglah adik dan bapakmu. Bagaimanapun, mereka adalah keluargamu, Gam. Jangan tega seperti itu.”“Keluarga yang hanya membutuhkanku saat ada masalah, Bu. Giliran aku yang terjatuh, tidak satu pun mengulurkan tangan untukku.” Setelahnya, kuputus sambungan telepon dari ibu dan mematikan gawaiku.Aku diambang bimbang, antara sakit hati dan merasa berdosa. Akan tetapi, mungkin perlu sekali-sekali memberi mereka pelajaran tidak peduli diriku masih sangat dibutuhkan di sana. Masih teringat jelas saat Rani begitu tak acuh mendengarku meminta semangkuk mie ayam. Rasanya, sulit dilupakan.Mengabaikan pikiran tentang apa yang m
“Asal kamu tahu, tidak ada satu pun wanita yang mau berada di posisi seperti itu. Baktimu terhadap orang tuamu, jelas menyakiti perasaan siapa pun yang menjadi istrimu. Keponakan dan anak, jelas memiliki tempat yang berbeda, Mas. Aku membenci Aira, aku membenci orang tuamu, juga saudara-saudaramu yang terkesan memanfaatkanmu, Mas.”Anti tergugu dan aku benar-benar menghentikan makan siang ini.“Anti, aku tahu, aku paham jika apa yang kamu katakan dan kamu pikirkan tentang aku, semuanya benar. Tapi, aku ingin berubah. Tidak hanya ingin, tapi sudah siap untuk berubah. Apa yang terjadi dengan Nia, tidak akan pernah lagi menimpa istriku. Jadi, kamu tidak usah takut, aku akan memintamu untuk menyerahkan apa yang kamu miliki untuk kebahagiaan mereka.”“Orang tuaku, mereka juga sudah tidak suka sama kamu, Mas. Sebenarnya, waktu kita tertangkap warga, mereka berdua berusaha meyakinkan dan membujuk Mas Tohir agar tidak menceraikanku. D
“Istrinya Mimin benar-benar tidak terima karena sudah merasa dipermalukan dan dicemarkan nama baiknya oleh bapak kamu, Gam … Mimin sore nanti katanya mau pulang dari Jakarta katanya. Gam, tolong ke sini, bantu bapakmu,” pinta Ibu penuh iba.. “Tapi palingan si Wiwin nanti yang kena damprat suaminya karena sudah selingkuh” lanjutnya lagi. Heran saja, suka sekali ikut campur urusan orang. kalau urusannya ribet seperti ini, aku juga yang harus ikut turun tangan.Sejenak bimbang, jika ini masalah Iyan, sudah tentu diriku tidak mau mengurusnya, tapi bagaimanapun, yang terlibat masalah adalah orang yang telah membesarkan diriku dengan tangannya. Akhirnya, dengan terpaksa diriku pulang ke rumah Ibu.Sampai di sana, Rani terlihat duduk melamun di kursi dengan mata sembab. Kehilangan uang lima juta saja, dia seperti ini. Apalagi bila berada di posisi Nia, yang merelakan gajiku untuk membahagiakannya?Bapak terlihat murung terpekur di a