“Rambut kamu terlalu panjang. Bolehkah aku memotongnya?” tanya Agung.“Kenapa harus dipotong?” Anti bertanya heran.“Biar kalau keramas cepat kering. Kamu akan mencuci mahkotamu setiap hari karena sekarang kita sudah menikah,” canda Agung membuat Anti tersipu malu.“Aku mau buat teh hangat dulu,” ujar Anti mengalihkan pembicaraan.“Buat apa?” tanya Agung heran.“Ya, buat minum. Masa buat keramas,” sungut Anti. Agung tertawa mendengar istrinya sudah mau melemparkan kalimat candaan.“Gak usah buat minuman. Kita tiduran aja, nanti keramas lagi,” ucapnya manja.“Otaknya kotor melulu,” tukas Anti kesal.Sepasang suami istri itu terus menerus berbincang. Sesekali Anti seperti ngambek karena kata-kata yang diucapkan Agung. Namun, pria itu tetap saja melakukannya. Ia tahu, Anti sebenarnya memiliki rasa trauma. Ia pun sadar, dirinya menjadi bagian dari rasa trauma dan rendah diri itu. Bayangan perilakunya di masa lalu yang suka mengolok-olok ibu kandung Nadia saat bersama, seakan menjadi sebua
“Pelan-pelan makannya, nanti keselek,” ujar Agung memperingatkan Anti.Wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu mendongak sebentar dengan menampakkan wajah malu.“Tidak usah malu, aku ini suami kamu. Aku hanya tidak mau kamu tersedak. Kenapa? Lapar, ya? Emang habis kerja apa, sih, kok sampai lapar gitu?” tanya Agung menggoda. Reflek, Anti memukul lengan suaminya. Agung tertawa jahat, lalu terbatuk.“Minumlah!” ucap Anti seraya menyodorkan segelas air putih. “Jangan mengejek orang, atau, kamu kena karmanya seperti saat ini,” lanjutnya seraya mengumpulkan nasi di atas piring.“Rambutnya basah, tadi pagi habis ngapain, sih?” goda Agung setelah batuknya reda.“Oh, aku habis melayani bandot tua. Luar biasa dia, menyiksa aku yang baru genap dua puluh empat jam menjadi istri,” balas Anti kesal. Agung tertawa lagi. Bahagia ia rasa dalam hati, karena wanita yang selalu ia sebut sebagai kanebo kering, kini bisa mencairkan suasana.“Tapi kamu suka, ‘kan sama permainan bandot tua yang kamu ma
“Setiap orang yang kenal kamu pasti tahu-la, An, apa yang menimpa dan apa yang kamu inginkan dulu,” sahut Fira. Dari nada dan isi bicaranya, Anti paham kalau Fira masih memendam rasa tidak sukanya.“Terima kasih, kalau masih ingat sesuatu yang aku sendiri sudah lupa,” jawab Anti singkat.“Udah? Gitu aja? Kayak bukan Anti yang dulu,” sahut Fira seraya tersenyum sinis lagi.“Ya, aku inginnya jawab seperti itu. Terus, kamu maunya aku jawab bagaimana?” Pertanyaan balik dari Anti membuat Fira menelan salivanya.Sementara dari tempat duduk yang berbeda, Agung terlihat jengah dengan sikap istri rekan kerjanya terhadap Anti. Namun, dirinya berpikir, alangkah tidak etis apabila menegur secara langsung. Pria itu berharap, suami Fira-lah yang akan melakukannya. Namun, lelaki bernama Aji itu, justru mendukung dalam hati, apa yang dilakukan istrinya. Terlihat jelas dari sorot mata, kalau dia sangat membenci Anti.“Bahagia dengan pernikahannya, Gung?” tanya Aji mengalihkan pembicaraan, sekaligus me
"Sombongnya mereka berdua," gerutu Fira seraya berjalan cepat menuju tempat parkir. "Mungkin memang pas mereka ya, Pah, berjodoh. Sama-sama jelek," lanjutnya lagi.Aji tidak menanggapi. Lelaki gagah itu sibuk menetralisir rasa bersalah dan malu atas apa yang istrinya, juga ia lakukan terhadap Agung.Selama ini, dirinya tidak pernah merasa selalu seperti sekarang.Dengan kasar, Fira menjatuhkan tubuh ke kursi mobil yang empuk."Pah, mereka belum punya kendaraan, 'kan? Ya pastilah, si Anti 'kan memang hidupnya terpuruk. Sementara suaminya, dulu menghabiskan uang untuk berfoya-foya. Tidak mungkin sekali mereka bisa membeli kemewahan seperti kita," omdo Fira terus menerus. Sementara sang suami masih saja betah dengan sikap bisunya.Mobil menembus jalanan sore yang cerah. Sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak itu larut dalam pikiran masing-masing."Menurut Papa, apa mereka akan langgeng? Kalau Mama si, mikirnya enggak bakalan. Secara sama-sama buruk. Mereka itu sepertinya sok be
"Agung sudah menikah dengan wanita murahan yang mengejar-ngejar kamu dulu," ujar Aji pada Feri di suatu siang. "Iya, aku tahu," jawab Feri terdengar enggan. "Menjijikan dia! Tapi, ya, mereka berdua memang sama-sama menjijikkan," celetuk Aji dengan nada penuh hinaan. Feri tirljhat enggan menanggapi. Ia justru memilih mengerjakan tumpukan administrasi di hadapannya. "Kalau dia mengundangmu, apa kamu mau datang?" tanya Aji kembali. "Ya datang sebagai reka kerja." "Bagaimana perasaan kamu melihat wanita itu?" cecar Aji. "Aku tidak pernah punya perasaan apapun sama dia. Apapun yang mereka lakukan saat ini, itu hak mereka. Aku tidak ada kepentingan apapun untuk menghakimi. Buang-buang waktu saja. Lagipula, Agung menjadi berubah setelah mengenal Anti. Dia tidak lagi mempermainkan wanita di luaran sana dan menjadikannya hanya sebagai teman tidur. Ya, itu bagus bukan? Terlepas dahulu Anti bagaimana sama aku, yang penting sekarang sudah tidak. Dan yang terpenting lagi, antara aku dan dia
Tinggal beberapa hari di rumah sang suami, membuat Anti ingin mengunjungi rumah aslinya. Setelah bincang-bincang dengan Nadia, wanita itu mengajak anaknya pulang bersama."Tapi, aku masih mau tinggal di rumah Ayah, Bu. Soalnya malas banget sama Mbah aja di rumah. Banyak bicara ini itu, males dengarnya," jawab Nadia.Anti memandang anak gadisnya. Ada rasa tidak enak, ada rasa sedih karena telah membuat suasana hati Nadia tidak nyaman. Sejenak ia berpikir, seandainya tidak menikah, pastilah saat ini masih menjadi tempat ternyaman untuk anak gadis semata wayangnya itu."Maafkan Ibu ya, Nad? Karena telah membuat kamu menjadi tidak nyaman," ujar Anti penuh rasa bersalah."Ibu, bicara apa? Aku tidak merasa seperti itu,""Baiklah, ayo, kita pulang. Ibu akan nyuruh Om Agung buat pulang ke sana,""Jangan, Ibu!" cegah Nadia. Jangan pernah lakukan itu. Ibu, hidupku sudah harus seperti ini. Memiliki orang tua yang tinggal terpisah. Tidak ada yang perlu disesali. Jika kita berdamai dengan takdir y
Mendengar mantan istri bercakap sedemikian mesra, Tohir menekuk wajah."Yang ditunggu orangnya. Bukan oleh-olehnya," ucap Anti lagi.Ia yang berada di ruang tengah tidak sadar, kau ayah Nadia tengah menguping."Eh, Mas. Kok belum pergi? Maaf, maksudnya, aku kira sudah menyusul Nadia." Selesai telepon, Anti yang kembali ke ruang tamu kaget, melihat pria yang dulu pernah menjalin mahligai rumah tangga bersama, masih tinggal di sana."Kamu bilang tadi aku suruh menunggu. Ya aku menunggu di sini," jawab Tohir."Iyakah aku bilang begitu?" Anti terlihat bingung."Iya.""Oh, iya, mungkin tadi aku tidak sadar. Tapi maaf, Mas Tohir menunggu di sini untuk apa, ya?" Anti bertanya bingung. Ia lalu duduk, mengambil kursi di hadapan pria yang hari itu terlihat klimis."Itu, anu, apa namanya, aku tadi pengin duduk aja karena capek berdiri." Jawaban dari Tohir membuat Anti semakin bingung."Eh, iya, di sepeda motor gak bisa duduk-kah?" Pertanyaan konyol meluncur begitu saja."Em, anu, capek kalau dud
Anti menyambut kepulangan sang suami dengan wajah yang bahagia. Tiga hari adalah waktu yang sangat lama bagi sepasang pengantin itu."Kamu merindukanku?" tanya Agung saat sudah berada dalam kamar."Menurut anda?" tanya Anti balik."Sesekali jangan suka melempar tanya kalau ditanya. Jawablah dengan jawaban yang pasti!" gerutu Agung.Anti mendekati pria yang telah dah menjadi pendamping hidupnya itu. Ia menatap dengan tatapan penuh godaan. "Jangan bertanya sama aku tentang hal-hal seperti itu! Aku tidak suka menjawab sesuatu yang membuat aku malu setelahnya. Cukuplah, kamu melihat sorot mata aku. Maka jawabannya akan kamu temukan di sana," ucapnya seraya merapikan kerah kaus yang dipakai Agung.Tangan Anti langsung dipegang erat oleh suaminya itu. Hingga gerakannya terhenti."Lalu, dengan apa aku harus melihat kemesraan kamu sama aku?" tanya Agung seraya menatap satu wajah Anti yang sudah dirias sempurna."Aku berdandan, untuk siapa? Aku memakai daster seperti saat ini, apa itu tidak cu