"Sombongnya mereka berdua," gerutu Fira seraya berjalan cepat menuju tempat parkir. "Mungkin memang pas mereka ya, Pah, berjodoh. Sama-sama jelek," lanjutnya lagi.Aji tidak menanggapi. Lelaki gagah itu sibuk menetralisir rasa bersalah dan malu atas apa yang istrinya, juga ia lakukan terhadap Agung.Selama ini, dirinya tidak pernah merasa selalu seperti sekarang.Dengan kasar, Fira menjatuhkan tubuh ke kursi mobil yang empuk."Pah, mereka belum punya kendaraan, 'kan? Ya pastilah, si Anti 'kan memang hidupnya terpuruk. Sementara suaminya, dulu menghabiskan uang untuk berfoya-foya. Tidak mungkin sekali mereka bisa membeli kemewahan seperti kita," omdo Fira terus menerus. Sementara sang suami masih saja betah dengan sikap bisunya.Mobil menembus jalanan sore yang cerah. Sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak itu larut dalam pikiran masing-masing."Menurut Papa, apa mereka akan langgeng? Kalau Mama si, mikirnya enggak bakalan. Secara sama-sama buruk. Mereka itu sepertinya sok be
"Agung sudah menikah dengan wanita murahan yang mengejar-ngejar kamu dulu," ujar Aji pada Feri di suatu siang. "Iya, aku tahu," jawab Feri terdengar enggan. "Menjijikan dia! Tapi, ya, mereka berdua memang sama-sama menjijikkan," celetuk Aji dengan nada penuh hinaan. Feri tirljhat enggan menanggapi. Ia justru memilih mengerjakan tumpukan administrasi di hadapannya. "Kalau dia mengundangmu, apa kamu mau datang?" tanya Aji kembali. "Ya datang sebagai reka kerja." "Bagaimana perasaan kamu melihat wanita itu?" cecar Aji. "Aku tidak pernah punya perasaan apapun sama dia. Apapun yang mereka lakukan saat ini, itu hak mereka. Aku tidak ada kepentingan apapun untuk menghakimi. Buang-buang waktu saja. Lagipula, Agung menjadi berubah setelah mengenal Anti. Dia tidak lagi mempermainkan wanita di luaran sana dan menjadikannya hanya sebagai teman tidur. Ya, itu bagus bukan? Terlepas dahulu Anti bagaimana sama aku, yang penting sekarang sudah tidak. Dan yang terpenting lagi, antara aku dan dia
Tinggal beberapa hari di rumah sang suami, membuat Anti ingin mengunjungi rumah aslinya. Setelah bincang-bincang dengan Nadia, wanita itu mengajak anaknya pulang bersama."Tapi, aku masih mau tinggal di rumah Ayah, Bu. Soalnya malas banget sama Mbah aja di rumah. Banyak bicara ini itu, males dengarnya," jawab Nadia.Anti memandang anak gadisnya. Ada rasa tidak enak, ada rasa sedih karena telah membuat suasana hati Nadia tidak nyaman. Sejenak ia berpikir, seandainya tidak menikah, pastilah saat ini masih menjadi tempat ternyaman untuk anak gadis semata wayangnya itu."Maafkan Ibu ya, Nad? Karena telah membuat kamu menjadi tidak nyaman," ujar Anti penuh rasa bersalah."Ibu, bicara apa? Aku tidak merasa seperti itu,""Baiklah, ayo, kita pulang. Ibu akan nyuruh Om Agung buat pulang ke sana,""Jangan, Ibu!" cegah Nadia. Jangan pernah lakukan itu. Ibu, hidupku sudah harus seperti ini. Memiliki orang tua yang tinggal terpisah. Tidak ada yang perlu disesali. Jika kita berdamai dengan takdir y
Mendengar mantan istri bercakap sedemikian mesra, Tohir menekuk wajah."Yang ditunggu orangnya. Bukan oleh-olehnya," ucap Anti lagi.Ia yang berada di ruang tengah tidak sadar, kau ayah Nadia tengah menguping."Eh, Mas. Kok belum pergi? Maaf, maksudnya, aku kira sudah menyusul Nadia." Selesai telepon, Anti yang kembali ke ruang tamu kaget, melihat pria yang dulu pernah menjalin mahligai rumah tangga bersama, masih tinggal di sana."Kamu bilang tadi aku suruh menunggu. Ya aku menunggu di sini," jawab Tohir."Iyakah aku bilang begitu?" Anti terlihat bingung."Iya.""Oh, iya, mungkin tadi aku tidak sadar. Tapi maaf, Mas Tohir menunggu di sini untuk apa, ya?" Anti bertanya bingung. Ia lalu duduk, mengambil kursi di hadapan pria yang hari itu terlihat klimis."Itu, anu, apa namanya, aku tadi pengin duduk aja karena capek berdiri." Jawaban dari Tohir membuat Anti semakin bingung."Eh, iya, di sepeda motor gak bisa duduk-kah?" Pertanyaan konyol meluncur begitu saja."Em, anu, capek kalau dud
Anti menyambut kepulangan sang suami dengan wajah yang bahagia. Tiga hari adalah waktu yang sangat lama bagi sepasang pengantin itu."Kamu merindukanku?" tanya Agung saat sudah berada dalam kamar."Menurut anda?" tanya Anti balik."Sesekali jangan suka melempar tanya kalau ditanya. Jawablah dengan jawaban yang pasti!" gerutu Agung.Anti mendekati pria yang telah dah menjadi pendamping hidupnya itu. Ia menatap dengan tatapan penuh godaan. "Jangan bertanya sama aku tentang hal-hal seperti itu! Aku tidak suka menjawab sesuatu yang membuat aku malu setelahnya. Cukuplah, kamu melihat sorot mata aku. Maka jawabannya akan kamu temukan di sana," ucapnya seraya merapikan kerah kaus yang dipakai Agung.Tangan Anti langsung dipegang erat oleh suaminya itu. Hingga gerakannya terhenti."Lalu, dengan apa aku harus melihat kemesraan kamu sama aku?" tanya Agung seraya menatap satu wajah Anti yang sudah dirias sempurna."Aku berdandan, untuk siapa? Aku memakai daster seperti saat ini, apa itu tidak cu
Tak ketinggalan, Erina pun hadir bersama Tohir. Akan tetapi, Anti yang sadar mantan suaminya masih memendam rasa terhadapnya, memilih irit bicara. Hanya Agung yang banyak bertanya jawab dengan ayah kandung Nadia itu. Anti belum menceritakan apapun tentang sikap Tohir. Ia sangat menjaga perasaan pria yang kini menjadi pendamping hidup. Baginya, cukup dirinya saja yang tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Pukul satu siang, tamu sudah pulang termasuk Tohir dan Erina. Hanya beberapa yang datang belakangan yang masih terlihat. Itupun tidak ada sepuluh orang. Acara memang digelar sedari pagi, untuk menghindari hujan yang bisanya turun selepas Zuhur. Namun, di tempat itu, masih berlalu lalang beberapa orang yang disewa untuk membantu mempersiapkan konsumsi. Sementara Nadia, ia meminta ijin untuk tidur karena lelah. Sepasang suami istri itu beristirahat untuk menunaikan sholat. Setelah itu, Anti dikagetkan dengan kedatangan tamu yang tidak ia undang. Salah tingkah, itu yang terlihat dari sik
SEASON 4 Rintik hujan membasahi tanah yang semula kering. Bau yang khas menguar bagi siapapun insan yang menghirup udara. Tak terkecuali Aira. Gadis kecil yang kini telah berusia delapan tahun itu, kini berdiri di depan jendela. Sesekali, mata lentiknya menatap sesosok wanita yang tengah bermain di bawah derasnya air yang turun dari langit. Aira sesekali menyeka air mata yang jatuh ke pipi. Meski terlihat tegar saat menghadapi berbagai macam bulian, ia tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang. Telah lama ditinggal kakek dan neneknya, dirinya hanya tinggal bersama Iyan yang setiap hari harus mencari uang demi kelangsungan hidup mereka bertiga, dan juga bersama Rani, sang ibu yang sudah kehilangan akal sehatnya. "Aira! Ayo, sini! Kita main bersama," ajak Rani pada anaknya. Ua lalu memutar-mutar badan layaknya orang yang tengah menari. "Ayo, Aira! Kita bermain bersama," ujarnya lagi. Seperti itulah Rani saat ini. Meskipun sudah mau menyapa Aira, tetap saja, ia masih menj
"Cari pembantu? 'Kan Ayah butuhnya seorang istri bukan hanya pembantu saja, Aira," bujuk Nusri memberikan pengertian. "Itu berarti, Ayah akan memiliki istri dua, Mbah?" tanya Aira lagi. "Iya, lha Ibu kamu masih sakit seperti itu. Kasihan Kalau ayah kamu kalau tidak ada pendamping hidupnya." Aira terdiam. Ibunya telah lama gila. Ditambah kerasnya kehidupan yang ia jalani setelah itu, membuatn lupa, indahnya kebersamaan dengan sosok yang pernah melahirkannya itu. Ia hanya tahu, kalau Rani adalah istri Iyan, sekaligus wanita yang pernah mengandungnya. Bahkan, Aira lupa kasih sayang darinya itu seperti apa. "Terserah kalian, Mbah," jawab Aira singkat. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya, duduk menyendiri di teras rumah. Tatapan Aira menatap sekerumunan anak-anak yang tengah bermain. Bahkan, Aira juga lupa. Seperti apa rasanya bermain bersama kawan-kawan. Warga sekitar lingkungan rumahnya sudah terlanjur mengucilkan, sehingga ia terbiasa hidup dalam kesendirian. * "Bagaimana, Iya