Alhamdulillah, cerita ini sudah masuk dalam peringkat. Jadi, sudah bisa saya lanjut setiap hari. Terima kasih atas kesetiannya .....
"Aira, kamu sedang melihat apa?" tanya Iyan pada putri kesayangan yang tengah menggoyangkan kakinya di teras. Tatapannya tertuju pada segerombolan anak yang tengah bermain petak umpet di halaman rumah tetangga yang berjarak dua puluh meter dari tempatnya duduk.Iyan bukan tanpa sebab bertanya demikian. Ia tahu, Aira tengah melihat apa. Namun, itu adalah kata pembuka untuk topik yang akan ia bahas."Kapan aku hidup seperti mereka, Ayah? Kenapa mereka menjauhi aku dan tidak mau berteman denganku? Apa karena aku anak orang gila?" Pertanyaan dari anak semata wayangnya membuat hati Iyan terasa dihantam palu.Agak lama dirinya terdiam. Sulit untuk mengatakan apa yang ada dalam hati, karena sebenarnya, ia pun sangat membenci warga sekitar yang mengucilkan anaknya sejak dulu."Mereka selalu bilang, dulu aku anak nakal. Dulu aku seperti tuan putri, apa benar, Ayah? Aku lupa semuanya. Yang aku ingat, Mbah pergi ke Jakarta meninggalkan aku dan aku harus mengurus hidupku sendiri. Kapan aku nakal,
"Mbak, boleh minta nomer teleponnya?" tanya Iyan pada Maya suatu siang saat keduanya bertemu di tempat biasa."Buat apa, Mas?" tanya Maya bingung."Ya buat menjalin komunikasi. Buat curhat kalau kita butuh tempat curhat," jawab Iyan."Ok," jawab Maya tanpa keberatan.Keduanya semakin akrab setelah bertukar nomer telepon. Seringkali saling berkirim pesan hingga larut malam. Dan kedekatan mereka berdua memberikan sebuah warna baru bagi hidup Iyan yang terlanjur hampa.*"Rani, ayo, makan," ajak Iyan suatu siang."Makan? Iya harus makan. Kita harus makan supaya sehat dan kuat. Kuat untuk menari-nari dalam indahnya pagi. Ah iya, Mas aku harus makan. Biar sehat," jawab Rani asal seperti biasanya. "Aira! Ayo makan. Kita harus makan yang banyak agar gendut. Gendut dan sehat dan kuat. Hihihihihi," lanjut Rani lagi.Iyan menghela napas panjang. Dia lalu memilih meninggalkan sang istri yang masih berbicara tidak jelas.'Akankah seperti ini selamanya? Aku lelah, Rani. Lelah menunggu kamu sembuh
Sejak perbincangan tempo hari di teras rumah Maya, Iyan semakin perhatian dengan wanita itu. Saat di pasar, ia selalu membawakan barang belanjaan dari dalam."Mas, maaf ya, merepotkan terus?" ujar Maya terlihat tidak enak."Gak papa, santai sajalah. Aku senang bisa bantu kamu. Semoga usaha kamu lancar, ya?""Iya, Mas. Amin ...," sahut Maya seraya mencangkupkan kedua tangan pada wajah. Tanda ia ikut berdo'a.Ada yang berbeda dari Iyan. Dulu, saat pergi ke pasar, ia selalu cuek dengan penampilan. Namun, tidak dengan saat ini. Lelaki itu selalu terlihat klimis dan memakai wewangian. Dan terlihat bersemangat meskipun ia sadar, Maya hanya ke pasar setiap tiga hari sekali. Dan jadwal itu, Iyan tahu.Ayah Aira juga jadi sering main ke rumah janda tanpa anak itu. Akan tetapi, obrolan yang ia ucap hanya sebatas masalah kehidupan sehari-hari saja. Belum berani mengutarakan apa yang ada dalam hati."Bagaimana kabar anak Mas Iyan?" Untuk pertama kalinya, Maya bertanya tentang kehidupan pribadi le
yan seketika mengatupkan bibir rapat. Berat rasanya hendak. menjawab atau menimpali apa yang dikatakan Maya. Karena ia sadar, tidak pernah sama sekali mendekatkan diri pada Tuhannya.Mereka saling diam. Maya mengambil sebuah buku dan mencatat barang yang akan ia belanjakan esok hari."May," panggil Iyan. "Apakah kamu punya mata batin atau bisa menerawang?" tanyanya."Maksud Mas Iyan?" Maya menatap tidak tahu pada pria di hadapannya."Ya, kamu mirip paranormal gitu," jawab Iyan lirih."Astaghfirullahaladzim ... sama sekali aku tidak punya kemampuan untuk itu," ujar Maya tidak terima."Maaf, May. Aku hanya heran kenapa kamu bisa berbicara panjang lebar seperti itu." Iyan salah tingkah."Tidak. Itu hal yang umum. Siapapun tahu akan hal itu," jawabnya datar.Maya, sosok yang tegas, tapi tidak mudah marah. Ia perempuan yang cerdas dan bisa tenang meskipun keadaan tengah mengancamnya. Sehingga mendengar bahasa yang disampaikan oleh pria yang berprofesi sebagai tukang parkir itu, ia hanya me
"Aku mau diajak kemana, Yah?" tanya Aira pada Iyan ketika siang hari dirinya mengajak sang anak pergi.Keduanya masih bersiap di halaman rumah."Kita mau main ke rumah teman Ayah," jawab Iyan terlihat senang."Temannya laki-laki atau perempuan?" tanya Aira menelisik."Perempuan. Kan Ayah mau carikan teman buat Aira," jawab Iyan."Apa itu calon Ibu buat aku?" tanya Aira lagi.Iyan yang tengah melipat has hujan menghentikan aktivitasnya. "Bukan. Ayah mencarikan teman buat Aira. Selama ini, Aira merasa sendiri bukan? Ayah akan mencarikan seseorang yang bisa Aira ajak mengobrol. Kita akan sering ke sana," jawab Iyan."Dia seumuran aku?" tanya gadis kecil cantik itu lagi."Enggak. Teman Aira nanti sudah besar. Sudah dewasa. Tapi, dia temab yang sangat baik. Aira akan senang kalau bertemu dengan dia,""Aku ingin teman yang seumuran aku, Ayah. Aku ingin bermain bersama. Bukan dengan orang dewasa yang hanya akan mengajakki berbicara seperti Mbah," ujar Aira jujur.Iyan mengakui, anaknya memi
'Kenapa aku berpikir sejauh ini?' Batin Maya bertanya. 'Siapa anak ini dan siapa Iyan? Tapi, aku merasa kasihan sama Aira. Hidup dengan ibu yang gila dan juga dikucilkan oleh lingkungan sekitar,' batin yang lain berujar."Tante, aku ingin seperti teman-teman lain. Aku ingin punya teman, aku ingin punya ibu yang tidak gila. Aku ingin semuanya, Tante?" ucap Aira dengan nada sedih. Seketika, Maya merengkuh Aira ke dalam pelukannya.Sejak pertemuan pertama dengan Aira, Maya selalu teringat akan sosok gadis kecil itu. Sorot mata penuh kesedihan, kerinduan dengan sosok ibu dan banyak luka terpancar dari tatapan Aira kala memandang Maya.Iyan juga terlihat semakin berbeda. Aura wajahnya terlihat bahagia. Seakan memiliki secercah harapan baru. Keinginan memiliki keluarga yang utuh ia sandarkan pada janda tanpa anak itu."Yah, nanti kita main ke tempat Tante Maya lagi?" tanya Aira suatu siang."Maya siapa, Ra?" Nusri yang sedang mencuci piring berhenti sejenak dan bertanya."Itu, Bu, teman. Di
Pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara Aira dan Maya, membuat keduanya semakin akrab. Binar bahagia terlihat dari sorot mata Aira. Setelah mengenal Maya, ia merasa memiliki seorang teman berbagi.Di sisi lain, Iyan jhga berharap, kedekatan antara Maya dan Aira, bisa menimbulkan benih iba dalam hati wanita itu kepada putri semata wayangnya."Iyan," panggil Nusri suatu sore, saat Aira tidak ada di rumah karena berangkat mengaji."Ya, Bu," jawab Iyan yang tengah meletakkan handuk di kapstok seraya menoleh."Ibu lihat, kamu sudah tidak pernah menemani Rani tidur. Kenapa?" tanya Nusri penuh selidik."Memangnya kenapa, Bu? Rani bukan wanita normal. Dia sudah bahagia dengan dunianya sendiri. Mau aku ada di sampingnya saat tidur, ataupun tidak, itu tidak terlalu berpengaruh baginya," jawab Iyan kesal. Terlalu sekali, pikirnya. Sang ibu menanyakan hal semacam itu."Iyan. Sekalipun kamu saat ini berniat menikah lagi, tapi jangan abaikan Rani. Dia istri sah kamu. Dia ibu dari Aira, cucu ke
"Sudah berapa lama?" tanya Maya."Tahunan. Lebih tepatnya aku tidak tahu kapan. Aku tidak mau mengingat itu karena aku berusaha untuk melupakan hasrat untuk itu," jawab Iyan seraya merunduk."Apa kamu sama sekali memang tidak pernah dekat dengan wanita lain?""Aku tidak punya waktu untuk itu. Hidupku setelah Rani gila, aku berikan seluruh waktu untuk merawat dia dan Aira."Jawaban yang diberikan ayah Aira membuat Maya merasa takjub. Jarang ada seorang pria yang tahan untuk tidak menyalurkan hasrat lelakinya dalam waktu yang cukup lama."Aku tidak pernah dekat dengan wanita siapapun. Dan kamu yang pertama sekaligus satu-satunya wanita yang aku dekati setelah keadaan Rani semakin parah,"Maya terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi apa atas ucapan Iyan."Maya, kamu belum jawab pertanyaan aku. Bolehkah aku menikah lagi? Apa itu bukan suatu dosa?""Seorang pria diperbolehkan menikah lagi dalam keadaan diantaranya, istrinya tidak bisa melayani dia karena penyakit yang tidak bisa sembuh. Is
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”