Pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara Aira dan Maya, membuat keduanya semakin akrab. Binar bahagia terlihat dari sorot mata Aira. Setelah mengenal Maya, ia merasa memiliki seorang teman berbagi.Di sisi lain, Iyan jhga berharap, kedekatan antara Maya dan Aira, bisa menimbulkan benih iba dalam hati wanita itu kepada putri semata wayangnya."Iyan," panggil Nusri suatu sore, saat Aira tidak ada di rumah karena berangkat mengaji."Ya, Bu," jawab Iyan yang tengah meletakkan handuk di kapstok seraya menoleh."Ibu lihat, kamu sudah tidak pernah menemani Rani tidur. Kenapa?" tanya Nusri penuh selidik."Memangnya kenapa, Bu? Rani bukan wanita normal. Dia sudah bahagia dengan dunianya sendiri. Mau aku ada di sampingnya saat tidur, ataupun tidak, itu tidak terlalu berpengaruh baginya," jawab Iyan kesal. Terlalu sekali, pikirnya. Sang ibu menanyakan hal semacam itu."Iyan. Sekalipun kamu saat ini berniat menikah lagi, tapi jangan abaikan Rani. Dia istri sah kamu. Dia ibu dari Aira, cucu ke
"Sudah berapa lama?" tanya Maya."Tahunan. Lebih tepatnya aku tidak tahu kapan. Aku tidak mau mengingat itu karena aku berusaha untuk melupakan hasrat untuk itu," jawab Iyan seraya merunduk."Apa kamu sama sekali memang tidak pernah dekat dengan wanita lain?""Aku tidak punya waktu untuk itu. Hidupku setelah Rani gila, aku berikan seluruh waktu untuk merawat dia dan Aira."Jawaban yang diberikan ayah Aira membuat Maya merasa takjub. Jarang ada seorang pria yang tahan untuk tidak menyalurkan hasrat lelakinya dalam waktu yang cukup lama."Aku tidak pernah dekat dengan wanita siapapun. Dan kamu yang pertama sekaligus satu-satunya wanita yang aku dekati setelah keadaan Rani semakin parah,"Maya terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi apa atas ucapan Iyan."Maya, kamu belum jawab pertanyaan aku. Bolehkah aku menikah lagi? Apa itu bukan suatu dosa?""Seorang pria diperbolehkan menikah lagi dalam keadaan diantaranya, istrinya tidak bisa melayani dia karena penyakit yang tidak bisa sembuh. Is
“Ayah, kenapa sekarang kita tidak pernah ke rumah Tante maya?” tanya Aira suatu sore, saat mereka berdua tengah santai di depan televisi.“Tante Maya sangat sibuk. Kita jangan pernah mengganggu dia,” jawab Iyan.“Tante Maya sibuk apa, Yah? Sibuk jualan? Aku mau bantuin, asalkan aku diantar ke sana,” pinta Aira.“Jangan, Sayang. Kita tidak bisa ke sana lagi. Karena, Tante Maya marah sama Ayah,” jelas Iyan.“Tante Maya marah kenapa, Yah? Tante Maya marah sama Ayah, emangnya Ayah kenapa?” cecar Aira.“Ayah melakukan kesalahan. Udah ya, jangan minta ke rumah Tante Maya lagi,” ucap Iyan.Aira mengangguk lesu. Ia lalu bangkit dan berjalan lesu, menuju teras balai samping.Aira duduk di tepi teras seraya memandangi sungai kecil yang mengalir tepat di samping rumahnya. ERasa sepi tiba-tiba hadir dalam hati. Baru beberapa saat, dirinya menemukan seorang teman, kini harus kehilangan sosok itu kembali.Byurrr ….Sebuah suara membuatnya kaget.“Aira!” seru Rani girang. Wanita yang hilang akal itu
“Tante Maya marah sama Ayah, bukan sama Aira. Tadi kenapa Ibu seperti itu?” tanya Iyan mencari tahu.“Dia bukan ibu aku. Mana ada, ibu yang mengajak bermain air seperti itu? Ibu itu seharusnya merawat anaknya. Bukan bermain seperti anak kecil setiap hari. Aku malu, Ayah,” jawab Aira tersedu.“Ra, tidak ada yang mau berada dalam situasi seperti Ibu. Bagaimanapun, Aira harus menghormati Ibu. Dia yang sudah melahirkan dan merawat Aira saat kecil dulu. Ibu itu sakit, dan Aira harus berdoa,” ujar Iyan. Lelaki itu akan bijaksana bila menyangkut masalah Rani. Namun, menjadi egois bila berhubungan dengan orang lain.“Sampai kapan, Ayah? Apa selamanya seperti ini? Aku bosan, Ayah,” keluh Aira.“Ayo, kita main ke rumah Bu Dhe, ke rumah Mbak Sarah,” ajak Iyan.“Mbak Sarah tidak mau main sama aku,” jawab Aira kesal.“Pasti mau. Nanti Ayah yang akan bilang sama dia. Bu Dhe Eka juga pasti nyuruh Mbak Sarah main sama kamu,” bujuk Iyan.Aira akhirnya mau dan mengangguk.Rumah Eka terlihat sepi. Warun
Maya pulang dari pasar dengan perasaan yang tidak baik-baik saja. Awal perkenalannya dengan Iyan, ia sama sekali tidak menganggap itu sebagai hal yang spesial. Pun saat pria itu membawa Aira ke rumahnya, dirinya tidak memiliki rasa apapun selain rasa pertemanan. Ia hanya merasa iba dengan hidup yang dialami gadis berusia delapan tahun itu.Setelah Iyan menyatakan rasa terhadapnya, Maya bertekad untuk menjauhi pria beranak satu itu. Meski mereka sudah berkenalan lebih dari dua bulan dan sering bertemu, tapi, Maya menganggap hubungan itu tidak lebih dari sekadar teman.Akan tetapi, mendengar bahwa Aira merasa kehilangan dirinya, membuat batin Maya seolah merasa bersalah.‘Tidak ada yang salah dari aku. Aku hanya seorang tuan rumah yang menerima tamu. Aku tidak pernah meminta Aira untuk datang ke sana lebih dulu,’ ujar batin Maya.“May, itu yang sering datang ke sini, duda ya?” tanya bapak Iyan saat dirinya tengah beristirahat melayani anak-anak yang membeli jajan di warung kecil milikny
“Ada, dia anak kampung sebelah. Udah ya, Mbah, aku menunggu Rumi di depan,” tukas Aira. Ia lalu berlari meninggalkan Nusri yang berkaca-kaca.“Ya Allah, semoga Aira bahagia. Akhirnya, Aira punya teman. Sudah lama, aku tidak melihatnya seceria dan sebahagia ini,” gumam Nusri seorang diri.Aira menunggu Rumi, kawan baru sekaligus kawan satu-satunya dengan penuh cemas. Ia takut, Rumi tidak akan datang. Berkali-kali, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri.“Lagi nunggu siapa sih? Kelihatanya sibuk dan cemas?” goda sang ayah.“Rumi, temanku, Yah? Dia mau datang.”“Oh ya? Wah, ada tamu spesial ini, Ayah harus beli jajan yang banyak untuk menyambut teman dari putri ayah tercinta,” ucap Iyan seraya mengangkat tubuh Aira.“Ayah ih, jangan angkat aku. Nanti temanku melihat. Aku malu,” teriak Aira kegirangan. Terlihat sekali, ia bahagia dengan teman barunya.Tak berapa lama, sebuah sepeda motor datang dan menurunkan seorang anak yang sebaya dengan Aira. Dilihat dari penampilannya, ia berasal
Aira masih tersedu, bersandar pada tembok dengan warna cat kuning gading, saat sang ayah belum pulang. Tanpa ia sadari, di satu sisi jalan dengan jarak lima meter dari rumahnya, seorang perempuan tengah memperhatikannya dari atas sepeda motor. Ia berpura-pura tengah mengetik sesuatu di ponsel yang ada di tangan.Rani kembali datang dengan membawa boneka Aira.“Pergi kamu!” usir Aira saat melihat sosok yang melahirkannya datang.“Aira nangis kenapa?” tanya Rani sembari tersenyum dan menggaruk kepalanya. Tingkahnya sudah menunjukkan kalau dia orang gila.“Aku sudah tidak mau lagi punya ibu seperti kamu!” teriak Aira lagi.Rani maju beberapa langkah, memungut kertas yang berisi materi yang sedianya akan dibuat belajar dengan Rumi.“Jangan sentuh, itu punya aku. Mau kubuat belajar. Jangan menyentuhnya!” seru Aira. Tangan kecilnya berusaha merebut lembaran-lembaran yang dipegang Rani.“Aku mau lihat. Aku juga mau belajar,” ucap Rani kegirangan. Melihat gambar warna-warni di kertas tersebu
Tinggallah Maya seorang diri, menyaksikan kepiluan untuk kedua kalinya terjadi di depan mata. Setelah meredakan gejolak dalam hati, dirinya lalu melajukan kendaraan. Semula, ia berniat mengunjungi Aira. Namun, melihat keadaan yang terjadi, wanita itu memilih menunda kunjungannya.Malam harinya, Maya tidak bisa terlelap lagi. Kali ini, bayangan kejadian yang menimpa Aira seakan terputar kembali dengan utuh tanpa potongan laksana sebuah film. Semakin ia menginat, semakin sakit bdan menghimpit dada.“Dia butuh kasih sayang. Dia anak yang malang,” gumamnya seorang diri.***Suatu siang, Iyan dikagetkan dengan kedatangan Maya ke pasar dan memarkirkan kendaraan di wilayah yang ia jaga. Untuk pertama kalinya, perempuan yang ia pernah menyatakan perasaannya itu kembali lagi pada kebiasaan semula. Merasa canggung, Iyan tidak menghampiri. Tanpa ia sadari, dari balik kaca helm, Maya terus memperhatikan pria yang tetap memakai pakaian lusuh untuk bekerja.Setelah selesai berbelanja, Maya kembali
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”