“Tante Maya marah sama Ayah, bukan sama Aira. Tadi kenapa Ibu seperti itu?” tanya Iyan mencari tahu.“Dia bukan ibu aku. Mana ada, ibu yang mengajak bermain air seperti itu? Ibu itu seharusnya merawat anaknya. Bukan bermain seperti anak kecil setiap hari. Aku malu, Ayah,” jawab Aira tersedu.“Ra, tidak ada yang mau berada dalam situasi seperti Ibu. Bagaimanapun, Aira harus menghormati Ibu. Dia yang sudah melahirkan dan merawat Aira saat kecil dulu. Ibu itu sakit, dan Aira harus berdoa,” ujar Iyan. Lelaki itu akan bijaksana bila menyangkut masalah Rani. Namun, menjadi egois bila berhubungan dengan orang lain.“Sampai kapan, Ayah? Apa selamanya seperti ini? Aku bosan, Ayah,” keluh Aira.“Ayo, kita main ke rumah Bu Dhe, ke rumah Mbak Sarah,” ajak Iyan.“Mbak Sarah tidak mau main sama aku,” jawab Aira kesal.“Pasti mau. Nanti Ayah yang akan bilang sama dia. Bu Dhe Eka juga pasti nyuruh Mbak Sarah main sama kamu,” bujuk Iyan.Aira akhirnya mau dan mengangguk.Rumah Eka terlihat sepi. Warun
Maya pulang dari pasar dengan perasaan yang tidak baik-baik saja. Awal perkenalannya dengan Iyan, ia sama sekali tidak menganggap itu sebagai hal yang spesial. Pun saat pria itu membawa Aira ke rumahnya, dirinya tidak memiliki rasa apapun selain rasa pertemanan. Ia hanya merasa iba dengan hidup yang dialami gadis berusia delapan tahun itu.Setelah Iyan menyatakan rasa terhadapnya, Maya bertekad untuk menjauhi pria beranak satu itu. Meski mereka sudah berkenalan lebih dari dua bulan dan sering bertemu, tapi, Maya menganggap hubungan itu tidak lebih dari sekadar teman.Akan tetapi, mendengar bahwa Aira merasa kehilangan dirinya, membuat batin Maya seolah merasa bersalah.‘Tidak ada yang salah dari aku. Aku hanya seorang tuan rumah yang menerima tamu. Aku tidak pernah meminta Aira untuk datang ke sana lebih dulu,’ ujar batin Maya.“May, itu yang sering datang ke sini, duda ya?” tanya bapak Iyan saat dirinya tengah beristirahat melayani anak-anak yang membeli jajan di warung kecil milikny
“Ada, dia anak kampung sebelah. Udah ya, Mbah, aku menunggu Rumi di depan,” tukas Aira. Ia lalu berlari meninggalkan Nusri yang berkaca-kaca.“Ya Allah, semoga Aira bahagia. Akhirnya, Aira punya teman. Sudah lama, aku tidak melihatnya seceria dan sebahagia ini,” gumam Nusri seorang diri.Aira menunggu Rumi, kawan baru sekaligus kawan satu-satunya dengan penuh cemas. Ia takut, Rumi tidak akan datang. Berkali-kali, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri.“Lagi nunggu siapa sih? Kelihatanya sibuk dan cemas?” goda sang ayah.“Rumi, temanku, Yah? Dia mau datang.”“Oh ya? Wah, ada tamu spesial ini, Ayah harus beli jajan yang banyak untuk menyambut teman dari putri ayah tercinta,” ucap Iyan seraya mengangkat tubuh Aira.“Ayah ih, jangan angkat aku. Nanti temanku melihat. Aku malu,” teriak Aira kegirangan. Terlihat sekali, ia bahagia dengan teman barunya.Tak berapa lama, sebuah sepeda motor datang dan menurunkan seorang anak yang sebaya dengan Aira. Dilihat dari penampilannya, ia berasal
Aira masih tersedu, bersandar pada tembok dengan warna cat kuning gading, saat sang ayah belum pulang. Tanpa ia sadari, di satu sisi jalan dengan jarak lima meter dari rumahnya, seorang perempuan tengah memperhatikannya dari atas sepeda motor. Ia berpura-pura tengah mengetik sesuatu di ponsel yang ada di tangan.Rani kembali datang dengan membawa boneka Aira.“Pergi kamu!” usir Aira saat melihat sosok yang melahirkannya datang.“Aira nangis kenapa?” tanya Rani sembari tersenyum dan menggaruk kepalanya. Tingkahnya sudah menunjukkan kalau dia orang gila.“Aku sudah tidak mau lagi punya ibu seperti kamu!” teriak Aira lagi.Rani maju beberapa langkah, memungut kertas yang berisi materi yang sedianya akan dibuat belajar dengan Rumi.“Jangan sentuh, itu punya aku. Mau kubuat belajar. Jangan menyentuhnya!” seru Aira. Tangan kecilnya berusaha merebut lembaran-lembaran yang dipegang Rani.“Aku mau lihat. Aku juga mau belajar,” ucap Rani kegirangan. Melihat gambar warna-warni di kertas tersebu
Tinggallah Maya seorang diri, menyaksikan kepiluan untuk kedua kalinya terjadi di depan mata. Setelah meredakan gejolak dalam hati, dirinya lalu melajukan kendaraan. Semula, ia berniat mengunjungi Aira. Namun, melihat keadaan yang terjadi, wanita itu memilih menunda kunjungannya.Malam harinya, Maya tidak bisa terlelap lagi. Kali ini, bayangan kejadian yang menimpa Aira seakan terputar kembali dengan utuh tanpa potongan laksana sebuah film. Semakin ia menginat, semakin sakit bdan menghimpit dada.“Dia butuh kasih sayang. Dia anak yang malang,” gumamnya seorang diri.***Suatu siang, Iyan dikagetkan dengan kedatangan Maya ke pasar dan memarkirkan kendaraan di wilayah yang ia jaga. Untuk pertama kalinya, perempuan yang ia pernah menyatakan perasaannya itu kembali lagi pada kebiasaan semula. Merasa canggung, Iyan tidak menghampiri. Tanpa ia sadari, dari balik kaca helm, Maya terus memperhatikan pria yang tetap memakai pakaian lusuh untuk bekerja.Setelah selesai berbelanja, Maya kembali
Semenjak berteman dengan Rumi, Aira jadi semakin terlihat bersemangat berangkat sekolah. Iyan sesekali memandang buah cintanya dengan Rani kala sesekali gadis kecil itu tidur di depan televisi."Apakah aku telah salah mendidik kamu, sehingga untuk mencari teman saja kamu harus bermain jauh?" ujarnya seorang diri. "Atau, mereka saja yang sombong, melarang anak-anaknya untuk tidak bermain dengan anakku. Anakku nakal? Dia sama Rumi saja baik-baik saja," ucapnya lagi."Ayah bicara apa?" tanya Aira, ia terbangun dan duduk bersandar sebuah tembok."Enggak. Enggak bicara apapun," ujar Iyan berbohong. "Kamu bahagia, main di rumah Rumi terus? 'Kan jauh. Sekali-kali Rumi harus diajak ke sini, gantian. Biar Aira tidak ke sana setiap hari. Atau, Aira jangan ke sana. Sesekali di rumah saja," ucap Iyan.Gadis berambut panjang itu terdiam dan menunduk. "Rumi tidak mau main ke sini, Ayah," jawabnya lirih.Iyan mengusap kepala Aira dan mengangguk. Tanda mengerti akan semua yang terjadi di rumahanya."
Mereka saling diam. Mulut Iyan terasa berat untuk ia buka kembali. Tubuhnya pun ikut mematung. Terasa kaku untuk digerakkan. Seperti itulah gambaran seseorang yang menahan malu.“Rumi, ambilkan cepat!” Suara Aira terdengar berteriak dari luar.Mereka bermain di halaman sehingga suaranya terdengar dari ruang tamu.“Aku sudah lelah, Aira. Kamu saja yang ambil, ya? Gantian, aku yang jagain masak-masakannya. Kaki aku pegel," jawab Rumi terdengar kesal.“Kamu aja ah yang ambil. Udah cepet sana. Keburu mau dimasak daunnya,” teriak Aira keras.Iyan melihat ke luar dari sela kaca jendela yang retak.“Seperti itulah setiap harinya, Mas Iyan. Saya mau menasehati Aira tidak berani. Karena dia kelihatannya keras dan susah dibilangin. Saya merasa karena kami ini keluarga yang tidak mampu, keluarga miskin jadi ya menyuruh Rumi untuk selalu mengalah. Tapi, lama-lama saya kasihan sama anak saya. Mau menyuruh Aira pulang, tidak tega karena pulangnya jauh. Mas Iyan kalau ke sini juga langsung pergi se
“Kenapa pintu rumah Rumi tertutup tadi, Ayah? Kenapa ibunya tidak keluar setelah aku panggil-panggil?” Aira bertanya pada sang ayah saat sudah sampai rumah.“Kamu nakal sama Rumi tadi?” tanya Iyan menginterogasi anaknya. Baru kali ini, Iyan merasa malu dengan ulah putri kesayangannya.“Aku tidak nakal sama Rumi, Ayah,” elak Aira.“Ayah dengar tadi kamu bentak dia.”“Aku sedang memasak, aku meminta Rumi untuk mengambilkan bahan-bahan. Dia tidak mau.”“Ibu Rumi sudah bilang sama Ayah. Kamu suka bentak-bentak Rumi. Ayah juga dengar sendiri tadi.”Aira menunduk.“Kamu sudah tidak boleh bermain ke sana lagi, kata ibu Rumi,” ujar Iyan memberi tahu.Aira terlihat sedih.“Tidak apa-apa. Besok-besok, Ayah akan mengajak kamu bermain ke rumah Tante Maya,” ucap Iyan lagi. Iya merasa tidak tega kalau harus memarahi Aira.***“Aira sepertinya sudah menjadi korban salah asuh,” ujar Maya saat Iyan datang berkunjung malam harinya. Ia menceritakan semua yang dialami Aira termasuk penolakan ibu Rumi.“