Sejak perbincangan tempo hari di teras rumah Maya, Iyan semakin perhatian dengan wanita itu. Saat di pasar, ia selalu membawakan barang belanjaan dari dalam."Mas, maaf ya, merepotkan terus?" ujar Maya terlihat tidak enak."Gak papa, santai sajalah. Aku senang bisa bantu kamu. Semoga usaha kamu lancar, ya?""Iya, Mas. Amin ...," sahut Maya seraya mencangkupkan kedua tangan pada wajah. Tanda ia ikut berdo'a.Ada yang berbeda dari Iyan. Dulu, saat pergi ke pasar, ia selalu cuek dengan penampilan. Namun, tidak dengan saat ini. Lelaki itu selalu terlihat klimis dan memakai wewangian. Dan terlihat bersemangat meskipun ia sadar, Maya hanya ke pasar setiap tiga hari sekali. Dan jadwal itu, Iyan tahu.Ayah Aira juga jadi sering main ke rumah janda tanpa anak itu. Akan tetapi, obrolan yang ia ucap hanya sebatas masalah kehidupan sehari-hari saja. Belum berani mengutarakan apa yang ada dalam hati."Bagaimana kabar anak Mas Iyan?" Untuk pertama kalinya, Maya bertanya tentang kehidupan pribadi le
yan seketika mengatupkan bibir rapat. Berat rasanya hendak. menjawab atau menimpali apa yang dikatakan Maya. Karena ia sadar, tidak pernah sama sekali mendekatkan diri pada Tuhannya.Mereka saling diam. Maya mengambil sebuah buku dan mencatat barang yang akan ia belanjakan esok hari."May," panggil Iyan. "Apakah kamu punya mata batin atau bisa menerawang?" tanyanya."Maksud Mas Iyan?" Maya menatap tidak tahu pada pria di hadapannya."Ya, kamu mirip paranormal gitu," jawab Iyan lirih."Astaghfirullahaladzim ... sama sekali aku tidak punya kemampuan untuk itu," ujar Maya tidak terima."Maaf, May. Aku hanya heran kenapa kamu bisa berbicara panjang lebar seperti itu." Iyan salah tingkah."Tidak. Itu hal yang umum. Siapapun tahu akan hal itu," jawabnya datar.Maya, sosok yang tegas, tapi tidak mudah marah. Ia perempuan yang cerdas dan bisa tenang meskipun keadaan tengah mengancamnya. Sehingga mendengar bahasa yang disampaikan oleh pria yang berprofesi sebagai tukang parkir itu, ia hanya me
"Aku mau diajak kemana, Yah?" tanya Aira pada Iyan ketika siang hari dirinya mengajak sang anak pergi.Keduanya masih bersiap di halaman rumah."Kita mau main ke rumah teman Ayah," jawab Iyan terlihat senang."Temannya laki-laki atau perempuan?" tanya Aira menelisik."Perempuan. Kan Ayah mau carikan teman buat Aira," jawab Iyan."Apa itu calon Ibu buat aku?" tanya Aira lagi.Iyan yang tengah melipat has hujan menghentikan aktivitasnya. "Bukan. Ayah mencarikan teman buat Aira. Selama ini, Aira merasa sendiri bukan? Ayah akan mencarikan seseorang yang bisa Aira ajak mengobrol. Kita akan sering ke sana," jawab Iyan."Dia seumuran aku?" tanya gadis kecil cantik itu lagi."Enggak. Teman Aira nanti sudah besar. Sudah dewasa. Tapi, dia temab yang sangat baik. Aira akan senang kalau bertemu dengan dia,""Aku ingin teman yang seumuran aku, Ayah. Aku ingin bermain bersama. Bukan dengan orang dewasa yang hanya akan mengajakki berbicara seperti Mbah," ujar Aira jujur.Iyan mengakui, anaknya memi
'Kenapa aku berpikir sejauh ini?' Batin Maya bertanya. 'Siapa anak ini dan siapa Iyan? Tapi, aku merasa kasihan sama Aira. Hidup dengan ibu yang gila dan juga dikucilkan oleh lingkungan sekitar,' batin yang lain berujar."Tante, aku ingin seperti teman-teman lain. Aku ingin punya teman, aku ingin punya ibu yang tidak gila. Aku ingin semuanya, Tante?" ucap Aira dengan nada sedih. Seketika, Maya merengkuh Aira ke dalam pelukannya.Sejak pertemuan pertama dengan Aira, Maya selalu teringat akan sosok gadis kecil itu. Sorot mata penuh kesedihan, kerinduan dengan sosok ibu dan banyak luka terpancar dari tatapan Aira kala memandang Maya.Iyan juga terlihat semakin berbeda. Aura wajahnya terlihat bahagia. Seakan memiliki secercah harapan baru. Keinginan memiliki keluarga yang utuh ia sandarkan pada janda tanpa anak itu."Yah, nanti kita main ke tempat Tante Maya lagi?" tanya Aira suatu siang."Maya siapa, Ra?" Nusri yang sedang mencuci piring berhenti sejenak dan bertanya."Itu, Bu, teman. Di
Pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara Aira dan Maya, membuat keduanya semakin akrab. Binar bahagia terlihat dari sorot mata Aira. Setelah mengenal Maya, ia merasa memiliki seorang teman berbagi.Di sisi lain, Iyan jhga berharap, kedekatan antara Maya dan Aira, bisa menimbulkan benih iba dalam hati wanita itu kepada putri semata wayangnya."Iyan," panggil Nusri suatu sore, saat Aira tidak ada di rumah karena berangkat mengaji."Ya, Bu," jawab Iyan yang tengah meletakkan handuk di kapstok seraya menoleh."Ibu lihat, kamu sudah tidak pernah menemani Rani tidur. Kenapa?" tanya Nusri penuh selidik."Memangnya kenapa, Bu? Rani bukan wanita normal. Dia sudah bahagia dengan dunianya sendiri. Mau aku ada di sampingnya saat tidur, ataupun tidak, itu tidak terlalu berpengaruh baginya," jawab Iyan kesal. Terlalu sekali, pikirnya. Sang ibu menanyakan hal semacam itu."Iyan. Sekalipun kamu saat ini berniat menikah lagi, tapi jangan abaikan Rani. Dia istri sah kamu. Dia ibu dari Aira, cucu ke
"Sudah berapa lama?" tanya Maya."Tahunan. Lebih tepatnya aku tidak tahu kapan. Aku tidak mau mengingat itu karena aku berusaha untuk melupakan hasrat untuk itu," jawab Iyan seraya merunduk."Apa kamu sama sekali memang tidak pernah dekat dengan wanita lain?""Aku tidak punya waktu untuk itu. Hidupku setelah Rani gila, aku berikan seluruh waktu untuk merawat dia dan Aira."Jawaban yang diberikan ayah Aira membuat Maya merasa takjub. Jarang ada seorang pria yang tahan untuk tidak menyalurkan hasrat lelakinya dalam waktu yang cukup lama."Aku tidak pernah dekat dengan wanita siapapun. Dan kamu yang pertama sekaligus satu-satunya wanita yang aku dekati setelah keadaan Rani semakin parah,"Maya terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi apa atas ucapan Iyan."Maya, kamu belum jawab pertanyaan aku. Bolehkah aku menikah lagi? Apa itu bukan suatu dosa?""Seorang pria diperbolehkan menikah lagi dalam keadaan diantaranya, istrinya tidak bisa melayani dia karena penyakit yang tidak bisa sembuh. Is
“Ayah, kenapa sekarang kita tidak pernah ke rumah Tante maya?” tanya Aira suatu sore, saat mereka berdua tengah santai di depan televisi.“Tante Maya sangat sibuk. Kita jangan pernah mengganggu dia,” jawab Iyan.“Tante Maya sibuk apa, Yah? Sibuk jualan? Aku mau bantuin, asalkan aku diantar ke sana,” pinta Aira.“Jangan, Sayang. Kita tidak bisa ke sana lagi. Karena, Tante Maya marah sama Ayah,” jelas Iyan.“Tante Maya marah kenapa, Yah? Tante Maya marah sama Ayah, emangnya Ayah kenapa?” cecar Aira.“Ayah melakukan kesalahan. Udah ya, jangan minta ke rumah Tante Maya lagi,” ucap Iyan.Aira mengangguk lesu. Ia lalu bangkit dan berjalan lesu, menuju teras balai samping.Aira duduk di tepi teras seraya memandangi sungai kecil yang mengalir tepat di samping rumahnya. ERasa sepi tiba-tiba hadir dalam hati. Baru beberapa saat, dirinya menemukan seorang teman, kini harus kehilangan sosok itu kembali.Byurrr ….Sebuah suara membuatnya kaget.“Aira!” seru Rani girang. Wanita yang hilang akal itu
“Tante Maya marah sama Ayah, bukan sama Aira. Tadi kenapa Ibu seperti itu?” tanya Iyan mencari tahu.“Dia bukan ibu aku. Mana ada, ibu yang mengajak bermain air seperti itu? Ibu itu seharusnya merawat anaknya. Bukan bermain seperti anak kecil setiap hari. Aku malu, Ayah,” jawab Aira tersedu.“Ra, tidak ada yang mau berada dalam situasi seperti Ibu. Bagaimanapun, Aira harus menghormati Ibu. Dia yang sudah melahirkan dan merawat Aira saat kecil dulu. Ibu itu sakit, dan Aira harus berdoa,” ujar Iyan. Lelaki itu akan bijaksana bila menyangkut masalah Rani. Namun, menjadi egois bila berhubungan dengan orang lain.“Sampai kapan, Ayah? Apa selamanya seperti ini? Aku bosan, Ayah,” keluh Aira.“Ayo, kita main ke rumah Bu Dhe, ke rumah Mbak Sarah,” ajak Iyan.“Mbak Sarah tidak mau main sama aku,” jawab Aira kesal.“Pasti mau. Nanti Ayah yang akan bilang sama dia. Bu Dhe Eka juga pasti nyuruh Mbak Sarah main sama kamu,” bujuk Iyan.Aira akhirnya mau dan mengangguk.Rumah Eka terlihat sepi. Warun