SEPAKAT

Hari itu udara sore terasa berat bagi Alia, meski matahari terbenam dengan warna jingga yang indah.

Duduk di sebuah kafe kopi sederhana favoritnya, ia berhadapan dengan Darren yang tengah menyeruput es kopinya tanpa ekspresi. Pertemuan ini bukan untuk berbicara tentang masa depan penuh cinta, melainkan tentang menyelesaikan masalah yang sama-sama menekan mereka.

“Jadi. . . ” Darren memulai, suaranya datar.

“Kita sepakat menikah. Tidak ada basa-basi, tidak ada perasaan yang perlu dilibatkan, hanya ini.” Ia menunjuk ke arah daftar poin-poin yang baru saja ia tulis di secarik kertas.

Alia menatap kertas itu.

Poin-poinnya rapi dan langsung ke inti, tapi terasa dingin.

“Pernikahan. Tanpa cinta. Tanpa harapan. Hanya untuk menyelesaikan tekanan kehidupan masing-masing.”

“Kurang lebih begitu,” jawab Alia pelan, mencoba mencerna kata-kata tersebut.

“Kamu yakin bisa menjalani ini?” sambungnya lagi ragu

Darren mengangkat bahu. “Tentu saja. Aku lebih suka pernikahan seperti ini. Tidak ada drama, tidak ada ekspektasi. PERFECT.”

Senyuman tipis muncul di wajah Alia, lebih kepada dirinya sendiri. Ia merasa lega, tapi juga getir.

“Kamu bahkan bisa terdengar lebih romantis saat menjelaskan kontrak bisnis.”

Darren tertawa kecil, tawanya pendek dan sarkastik.

“Aku realistis saja, Alia."

"Pernikahan itu pada dasarnya sama seperti kontrak, hanya saja yang ini melibatkan dua pihak yang harus berbagi atap dan... ya, beberapa kewajiban lainnya.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan,

“Oh, dan kita harus terlihat bahagia di depan orang lain.”

Alia terdiam sejenak.

“Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis mendengar itu. Darren”

Darren menatapnya, kali ini lebih serius.

“Kamu tidak perlu melakukan keduanya. Kita hanya perlu membuatnya berhasil.”

. . . .

Setelah kesepakatan itu tercapai, pembicaraan berlanjut pada hal-hal teknis. Darren membuka laptopnya, menunjukkan file Excel yang sudah ia siapkan.

“Ini rencana pembagian tugas kita,” katanya tanpa basa-basi.

“Aku menangani keuangan besar seperti biaya pajak, visa, dan lai-lain. kamu bisa urus pengeluaran sehari-hari."

" Dan... Untuk pekerjaan rumah tangga, kita bisa bagi sesuai jadwal.” tambahnya lagi dengan serius

Alia mengernyitkan dahi.

“Kamu benar-benar sudah memikirkan semua ini, ya?”

“Tentu saja,” jawab Darren santai.

“Aku benci kekacauan, dan aku tidak mau ada salah paham di kemudian hari.”

“Apa ini termasuk...” Alia menggantungkan kalimatnya, merasa canggung.

Darren menatapnya dengan alis terangkat. “Termasuk apa?”

“Kewajiban... itu.” Alia melirik ke arah lain, pipinya memerah sedikit.

“Oh,” Darren tersenyum kecil, kali ini sedikit jenaka.

“Ya, TENTU SAJA."

"Kita tidak bisa mengabaikan bagian itu. Bagaimanapun, kita menjalani pernikahan dalam kerangka agama, kan? Itu sudah jadi tanggung jawab kita memenuhi HAK SUAMI DAN ISTRI 🤨.”

Suasana menjadi hening sejenak. Alia merasa canggung, tapi Darren tampak tidak terlalu terpengaruh.

“Jangan khawatir,” tambahnya dengan nada santai.

“Aku bukan orang yang akan memaksakan apa pun. Kita jalani semuanya dengan kesepakatan, seperti yang sudah kita bicarakan.”

Alia mengangguk perlahan.

“Baiklah, kalau begitu. Tapi, aku juga ingin ada batasan yang jelas. Kita bisa berbicara lebih jauh nanti.”

“Setuju.” Darren menutup laptopnya, lalu bersandar di kursi.

“Lihat? Ini tidak serumit yang kamu pikirkan."

"Kita hanya perlu menjalani ini seperti proyek bersama. Semua bisa diatur.” Darren terlihat begitu santai mengucapkan semua ini yang mana bagiku tentu saja, Ini sesuatu hal yang sangat besar.

. . . .

Hari-hari menjelang pernikahan dipenuhi dengan persiapan yang serba minimalis. Mereka sepakat untuk tidak mengadakan pesta besar, hanya akad sederhana dengan keluarga dekat.

“Pernikahan sederhana itu lebih baik,” kata Darren saat mereka sedang membahas detailnya di ruang tamu rumah Alia.

“Aku tidak suka menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.” “Tapi,,, Setidaknya kita harus membuatnya terlihat seperti pernikahan, Darren,” balas Alia, setengah jengkel.

“Ini bukan kontrak dagang.”

Darren terkekeh.

“Baiklah, aku akan mencoba terlihat sedikit lebih bahagia saat akad. Bagaimana?”

Alia menggeleng sambil menahan tawa.

“Kamu benar-benar menguasai seni merusak suasana.”

Mereka berdua tertawa kecil, meskipun di balik tawa itu ada keheningan yang tidak bisa diabaikan.

Mereka tahu bahwa pernikahan ini tidak seperti yang mereka bayangkan saat kecil. Tidak ada cinta, tidak ada impian, hanya kenyataan yang harus mereka jalani.

. . . .

Di akhir pembicaraan mereka malam itu, Darren menatap Alia dengan tatapan datar.

“Kamu tahu, aku tidak percaya pada cinta dalam pernikahan. Tapi aku percaya pada kerja sama kita.”

Alia tersenyum tipis.

“Aku rasa itu cukup untuk memulai.”

“Bagus,” Darren mengulurkan tangannya.

“Selamat menjalani pernikahan praktis ini. SITI NUR ALIA”

Alia menjabat tangannya dengan ragu, tapi senyum kecil muncul di wajahnya.

“Selamat juga. Mohon kerjasamanya, Muhammad Darren Khalid”

Dan dengan itu, dua orang asing dengan hati yang tidak sama sekali terhubung ini sepakat untuk menjalani kehidupan bersama.

Mereka tidak tahu apa yang menunggu di depan, tapi untuk saat ini, kesepakatan seperti itu sudah cukup.