Pernikahan Alia dan Darren berlangsung di taman kecil salah satu vila milik keluarga Darren. Tempatnya memang indah, tetapi atmosfernya terasa jauh dari kesan hangat. Tidak ada cinta yang bersemi di sini, hanya janji pernikahan yang dingin dan penuh formalitas.
Langit sore menjadi latar belakang. Matahari hampir tenggelam, menyisakan semburat oranye di cakrawala.
Di tengah taman, sebuah meja kecil dengan kain putih bersih berdiri di bawah pohon rindang. Beberapa kursi tertata rapi, dihuni oleh keluarga dekat yang datang lebih karena kewajiban daripada antusiasme.
Alia berdiri di ruang ganti kecil di dalam vila, menatap bayangannya di cermin.
"Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Tidak ada renda mewah atau perhiasan yang mencolok, hanya gaun satin polos yang dipilih untuk acara ini." gumam Alia.
Ibu Alia, berdiri di belakang, membantu merapikan kerudung putrinnya.
"Kamu cantik banget, Sayang," ujar Ibu dengan suara pelan.
Alia tersenyum tipis.
"Makasih Bu." jawab Alia singkat
"Sebentar lagi, anak ibu bakal jadi istri. Kamu harus jadi istri yang taat sama suami ya Nak." Ibu Alia memeluk putrinya dengan sendu
Alia terdiam cukup lama. Ia hanya memeluk kembali ibunya dengan lembut, pelukan ini seperti memberinya keberanian yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
"InsyaAllah, Bu. Doain Alia ya. Bu."
. . . .
Hari Itu Akhirnya Tiba
Di taman, Darren berdiri di bawah pohon besar, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi abu-abu. Wajahnya datar, pandangannya kosong. Di sebelahnya, Kenji, sahabatnya sejak kuliah, mencoba mencairkan suasana.
"Broo, Lo ini serius menikah, atau hanya main-main?" goda Kenji dengan nada santai.
Darren menghela napas panjang. "Ya serius lah, tapi bukan karena cinta, Ken. Lo tahu itu kan?"
Kenji menyilangkan tangan di dada. "Gue tahu. Tapi serius, Darr, Lo udah yakin ini keputusan yang tepat?"
Darren menatap Kenji sekilas.
"Gue yakin. Ini adalah cara terbaik untuk... menjaga semuanya tetap terkendali."
Kenji tahu Darren akan bisa menjalankan tugasnya sebagai suami dengan baik.
"Good job, Bro. I'm prayning for you."
"Thanks Ken." Jawab Darren singkat
. . . .
Saat Alia akhirnya muncul di taman, semua kepala menoleh. Ia menggandeng tangan Adiknya, Sally, melangkah dengan tenang di atas karpet putih yang membentang di tengah taman. Pandangannya lurus ke depan, tetapi di matanya, ada kilatan emosi yang sulit diartikan.
Darren menatapnya sekilas, lalu bergumam pelan pada dirinya sendiri,
"Dia lebih cantik dari yang aku bayangkan."
Kenji, yang mendengar itu, menyikut lengan Darren sambil terkekeh.
"Setidaknya lo masih punya mata, Darren."
"Apaan sih, Ken.. " gerutu Darren
. . . .
Saat Alia tiba di hadapan Darren,. suasana hening. Matahari sore memancarkan cahaya lembut yang menerpa wajah mereka. Darren menatap Alia sejenak sebelum berkata dengan nada pelan,
"Kamu... terlihat lumayan lah."
Alia menatapnya, lalu mengangkat alis.
"Itu pujian atau hinaan?"
Darren mengangguk kecil.
"Ya, Semacam itu."
Ketika ijab kabul dimulai, suasana menjadi tegang.
Papi Darren memandang tajam ke arah putranya, seolah memastikan semuanya berjalan sempurna. Darren melafalkan janji pernikahannya dengan tegas, tanpa ragu sedikit pun.
Momen ijab kabul berlangsung tegang. Darren melafalkan janji pernikahan dengan suara tegas, meski ada nada gugup yang sulit disembunyikan.Ketika penghulu menyatakan mereka resmi menjadi suami-istri, suasana mendadak berubah jadi... canggung. Namun, di tengah prosesi itu, mata Alia mulai berkaca-kaca.
Tanpa disadari, air mata jatuh dari sudut matanya, mengalir pelan di pipinya. Maya, yang duduk di barisan tamu, menggenggam erat tangannya sendiri, menahan emosi yang membuncah melihat sahabatnya harus melalui ini.
"Kenapa aku menangis?" pikir Alia.
Ia sendiri tidak mengerti.
"Apakah ini air mata kesedihan? Kelegaan? Atau rasa kehilangan akan impian masa kecilnya tentang pernikahan yang sempurna?" ucapnya didalam hati
. . . .
Ketika prosesi selesai, Darren menatap Alia sebentar sebelum berbisik,
"Kamu menangis?"
Alia cepat-cepat menyeka air matanya.
"Bukan urusanmu."
Darren menahan senyum kecil.
"Oke. Tentu saja bukan."
. . . .
Dimulai dari permintaan sederhana penghulu.
"Baik, sekarang mempelai wanita silahkan cium tangan suaminya."
Darren mengulurkan tangannya dengan ragu. Alia, yang jelas-jelas tidak terbiasa dengan momen seperti ini, menatap tangannya sebentar sebelum akhirnya mengambilnya dengan canggung.
Ia menunduk, tetapi... terlalu lama.
Maya yang duduk di kursi tamu langsung tertawa kecil.
"Al, itu cium tangan, bukan minta maaf."
Tawa kecil mulai terdengar di antara para tamu. Alia buru-buru menyelesaikan aksinya dan melepaskan tangan Darren seperti memegang bara panas. Darren sendiri menahan tawa, meski sudut bibirnya tak bisa menyembunyikan senyuman kecil.
Tidak berhenti di situ. Ketika diminta untuk mencium kening Alia, Darren tampak lebih bingung lagi. Ia bahkan sempat melirik Alia seolah meminta konfirmasi.
Alia mendesah pelan,
"Cepat saja lakukan, Darren."
Dengan gerakan kaku, Darren menunduk dan..
Pluk!
Dahi mereka malah saling bertabrakan.
"Astaga, Darren!" bisik Alia, sambil memegangi dahinya yang sakit.
Kenji sudah tertawa keras, sementara Maya mencoba menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak.
Darren menggaruk belakang kepalanya dengan ekspresi menyesal.
"Maaf... aku nggak sengaja."
. . .
Setelah semua prosesi pernikahan selesai, sesi foto keluarga menjadi penutup yang juga penuh kekonyolan.
Darren, yang jarang tersenyum, harus dipaksa oleh Kenji dan Maminya untuk tidak terlihat "seperti menghadiri sidang pengadilan".
"Senyoom, Dar! Kamu ini baru menikah, bukan baru kalah tender," ejek Kenji.
Sesi foto itu akhirnya menjadi lebih santai, dengan candaan-candaan ringan yang mulai mencairkan suasana.
Setelah rangkaian acara pernikahan itu berakhir, makan malam diadakan di teras vila.
Semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Darren, seperti biasa, sibuk memeriksa ponselnya, sementara Alia menjawab pertanyaan dari keluarganya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Ketika salah satu tamu bertanya tentang rencana mereka setelah ini,
"Kami akan menjalani hidup seperti biasa. Kemungkinan lusa langsung ke Jepang, Tante." jawabnya singkat.
. . . .
Malam itu, mereka duduk berdampingan di dalam mobil yang membawa mereka ke rumah baru Darren. Keheningan melingkupi mereka. Darren bersandar pada kursi, menatap keluar jendela.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya tanpa menoleh.
Alia menatap tangannya sendiri.
"Mmm entahlah. Mungkin... kosong?"
Darren tersenyum tipis, lalu bergumam,
"Aku juga. Tapi setidaknya, semuanya selesai."
Namun, ketika mobil mendekati rumah baru mereka, Darren tiba-tiba berbicara lagi.
"Alia, ada sesuatu yang perlu kamu tahu. Aku..."
Kalimat itu menggantung di udara, membuat Alia menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Apa?" tanyanya.
Darren menghela napas, tetapi tidak menjawab.
Malam pertama mereka dimulai dengan suasana yang aneh, canggung, dan penuh keheningan yang menggantung seperti kabut tipis. Kamar pengantin mereka sangat mewah, luas dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung kristal berkilauan. Tirai beludru merah marun melambai lembut di dekat jendela besar yang menghadap ke taman luas dengan air mancur bercahaya. Tempat tidur ukuran king berdiri megah di tengah ruangan, dilapisi sprei satin putih. Lilin aromaterapi yang diletakkan di meja-meja kecil di setiap sisi tempat tidur memancarkan keharuman lembut vanila dan mawar, menciptakan nuansa intim yang bertolak belakang dengan keheningan yang melingkupi dua penghuni barunya.Setelah mereka menyelesaikan sholat isya berjamaah. Darren duduk di sisi kanan tempat tidur, tubuhnya tegap namun kaku, seperti sedang bersiap untuk menghadapi rapat penting. Jemarinya terus memutar-mutar jam tangan, kebiasaannya saat gugup. Sementara itu, Alia duduk di sisi kiri, memainkan ujung kerudungnya dengan
C I N T A ? ?Siti Nur Alia, ia tidak pernah benar-benar memahaminya. Baginya, cinta hanyalah DONGENG INDAH yang terlalu sering dibungkus dengan ekspektasi, tuntutan, dan janji-janji palsu. Sejak kecil, ia terbiasa melihat cinta sebagai konsep yang indah di permukaan, tetapi rapuh dan penuh luka ketika diuji oleh realita. Alia tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan. Hidupnya adalah lingkaran tuntutan tanpa jeda, terutama desakan orang tua untuk segera menikah dan membangun keluarga. Namun, bagi Alia, menikah tidak pernah menjadi prioritas, apalagi sebuah impian.“Alia, kamu ini sudah cukup umur. Apa tidak ingin membahagiakan orang tua?”Itulah kalimat yang terus-menerus ia dengar. Setiap kali kata-kata itu muncul, hatinya terasa penuh, tetapi ia tak pernah menunjukkan perasaannya. Sebagai seorang wanita yang independen dan realistis, Alia memilih memusatkan hidupnya pada pekerjaannya. Tempat di mana ia bisa merasa berguna dan diakui tanpa perlu memedulikan perasaan yang rumit sepert
Alia duduk di meja kerjanya yang berantakan, pensil di tangan, matanya kosong menatap lembaran kertas putih yang tergeletak di depannya. Komputer di sampingnya menunjukkan layar penuh dengan pekerjaan yang belum selesai. Semua tampak begitu kabur, dan pikirannya tak bisa fokus. Ini sudah hari keempat ia terjebak dalam kebuntuan kreatif, dan ia merasa sangat lelah.Sejak kecil, ia selalu dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta dan perhatian, namun tidak pernah bebas dari harapan.PERNIKAHAN!!! selalu menjadi topik utama dalam setiap percakapan keluarga, terutama ibu Alia akhir-akhir ini mengingat Alia sudah masuk usia akhir 20an.Ibunya sering kali memberi nasihat tentang betapa pentingnya menikah di usia muda, sementara Alia hanya bisa mendengarkan tanpa banyak berkata."Kamu tahu kan, nak, umurmu sudah semakin matang. 28 tahun loh. Pikirkan masa depan. Tidak baik hidup melajang sampai tua" begitu kata ibu, setiap kali berbicara dengan nada penuh harapan."Iya Bu, nanti kita bicars
Pagi itu . . .Darren duduk di meja kantornya, memandang layar komputer dengan ekspresi dingin yang menjadi ciri khasnya. Fokusnya tidak pernah terpecah. Setiap angka yang diproses, setiap keputusan yang diambil, semua adalah bagian dari rencana besar yang telah ia susun bertahun-tahun dengan penuh perhitungan."Permisi Pak Darren, dokumen untuk rapat siang nanti sudah siap di meja Anda," ujar sekretarisnya, Lisa, dengan nada sopan namun canggung."Baik. Pastikan semua laporan sudah diperiksa ulang."" Saya tidak mau ada kesalahan," jawab Darren tanpa mengangkat pandangannya dari layar.Darren selalu seperti itu, tepat, tegas, dan tak kenal kompromi. Tidak ada ruang untuk kesalahan dalam hidupnya, termasuk dalam urusan pribadi. Baginya, hidup adalah tentang kontrol penuh.Ketika layar komputernya menampilkan kalender yang penuh dengan jadwal rapat, sebuah notifikasi pesan dari Papinya muncul di ponselnya:"Kapan kamu akan membawa calon istrimu ke rumah? Jangan menunda-nunda lagi DARRE
Acara malam itu hanyalah makan malam santai di rumah Maya dan Kenji, atau setidaknya begitulah yang Alia pikirkan. Maya dan Kenji, sahabatnya sejak masa kuliah, tahu betul apa yang sedang ia alami. Tekanan keluarga yang terus-menerus menuntutnya untuk menikah membuat Alia merasa terjebak.Sebagai seorang ilustrator freelance, ia mencintai kebebasannya dan enggan melepas kariernya hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.Sementara itu, Darren, sahabat Kenji, berada di situasi serupa meskipun latar belakangnya berbeda.Sebagai seorang manajer proyek di perusahaan multinasional, ia sibuk dengan pekerjaannya yang penuh tanggung jawab, sehingga keluarganya mulai khawatir ia akan melewatkan usia ideal untuk menikah.Tanpa sepengetahuan Alia dan Darren, malam itu Maya dan Kenji sengaja mempertemukan mereka.Jeng jeng . . .. . . .Ketika Alia sampai dirumah Maya ia disambut dengan hangat oleh Maya yang memeluknya erat.Namun, suasana hatinya berubah saat matanya bertemu dengan Darren yang
Hari itu udara sore terasa berat bagi Alia, meski matahari terbenam dengan warna jingga yang indah.Duduk di sebuah kafe kopi sederhana favoritnya, ia berhadapan dengan Darren yang tengah menyeruput es kopinya tanpa ekspresi. Pertemuan ini bukan untuk berbicara tentang masa depan penuh cinta, melainkan tentang menyelesaikan masalah yang sama-sama menekan mereka.“Jadi. . . ” Darren memulai, suaranya datar.“Kita sepakat menikah. Tidak ada basa-basi, tidak ada perasaan yang perlu dilibatkan, hanya ini.” Ia menunjuk ke arah daftar poin-poin yang baru saja ia tulis di secarik kertas.Alia menatap kertas itu.Poin-poinnya rapi dan langsung ke inti, tapi terasa dingin.“Pernikahan. Tanpa cinta. Tanpa harapan. Hanya untuk menyelesaikan tekanan kehidupan masing-masing.”“Kurang lebih begitu,” jawab Alia pelan, mencoba mencerna kata-kata tersebut.“Kamu yakin bisa menjalani ini?” sambungnya lagi raguDarren mengangkat bahu. “Tentu saja. Aku lebih suka pernikahan seperti ini. Tidak ada drama,
Malam pertama mereka dimulai dengan suasana yang aneh, canggung, dan penuh keheningan yang menggantung seperti kabut tipis. Kamar pengantin mereka sangat mewah, luas dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung kristal berkilauan. Tirai beludru merah marun melambai lembut di dekat jendela besar yang menghadap ke taman luas dengan air mancur bercahaya. Tempat tidur ukuran king berdiri megah di tengah ruangan, dilapisi sprei satin putih. Lilin aromaterapi yang diletakkan di meja-meja kecil di setiap sisi tempat tidur memancarkan keharuman lembut vanila dan mawar, menciptakan nuansa intim yang bertolak belakang dengan keheningan yang melingkupi dua penghuni barunya.Setelah mereka menyelesaikan sholat isya berjamaah. Darren duduk di sisi kanan tempat tidur, tubuhnya tegap namun kaku, seperti sedang bersiap untuk menghadapi rapat penting. Jemarinya terus memutar-mutar jam tangan, kebiasaannya saat gugup. Sementara itu, Alia duduk di sisi kiri, memainkan ujung kerudungnya dengan
Pernikahan Alia dan Darren berlangsung di taman kecil salah satu vila milik keluarga Darren. Tempatnya memang indah, tetapi atmosfernya terasa jauh dari kesan hangat. Tidak ada cinta yang bersemi di sini, hanya janji pernikahan yang dingin dan penuh formalitas.Langit sore menjadi latar belakang. Matahari hampir tenggelam, menyisakan semburat oranye di cakrawala.Di tengah taman, sebuah meja kecil dengan kain putih bersih berdiri di bawah pohon rindang. Beberapa kursi tertata rapi, dihuni oleh keluarga dekat yang datang lebih karena kewajiban daripada antusiasme.Alia berdiri di ruang ganti kecil di dalam vila, menatap bayangannya di cermin."Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Tidak ada renda mewah atau perhiasan yang mencolok, hanya gaun satin polos yang dipilih untuk acara ini." gumam Alia.Ibu Alia, berdiri di belakang, membantu merapikan kerudung putrinnya."Kamu cantik banget, Sayang," ujar Ibu dengan suara pelan.Alia tersenyum tipis."Makasih Bu." jawab Alia singkat"Seben
Hari itu udara sore terasa berat bagi Alia, meski matahari terbenam dengan warna jingga yang indah.Duduk di sebuah kafe kopi sederhana favoritnya, ia berhadapan dengan Darren yang tengah menyeruput es kopinya tanpa ekspresi. Pertemuan ini bukan untuk berbicara tentang masa depan penuh cinta, melainkan tentang menyelesaikan masalah yang sama-sama menekan mereka.“Jadi. . . ” Darren memulai, suaranya datar.“Kita sepakat menikah. Tidak ada basa-basi, tidak ada perasaan yang perlu dilibatkan, hanya ini.” Ia menunjuk ke arah daftar poin-poin yang baru saja ia tulis di secarik kertas.Alia menatap kertas itu.Poin-poinnya rapi dan langsung ke inti, tapi terasa dingin.“Pernikahan. Tanpa cinta. Tanpa harapan. Hanya untuk menyelesaikan tekanan kehidupan masing-masing.”“Kurang lebih begitu,” jawab Alia pelan, mencoba mencerna kata-kata tersebut.“Kamu yakin bisa menjalani ini?” sambungnya lagi raguDarren mengangkat bahu. “Tentu saja. Aku lebih suka pernikahan seperti ini. Tidak ada drama,
Acara malam itu hanyalah makan malam santai di rumah Maya dan Kenji, atau setidaknya begitulah yang Alia pikirkan. Maya dan Kenji, sahabatnya sejak masa kuliah, tahu betul apa yang sedang ia alami. Tekanan keluarga yang terus-menerus menuntutnya untuk menikah membuat Alia merasa terjebak.Sebagai seorang ilustrator freelance, ia mencintai kebebasannya dan enggan melepas kariernya hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.Sementara itu, Darren, sahabat Kenji, berada di situasi serupa meskipun latar belakangnya berbeda.Sebagai seorang manajer proyek di perusahaan multinasional, ia sibuk dengan pekerjaannya yang penuh tanggung jawab, sehingga keluarganya mulai khawatir ia akan melewatkan usia ideal untuk menikah.Tanpa sepengetahuan Alia dan Darren, malam itu Maya dan Kenji sengaja mempertemukan mereka.Jeng jeng . . .. . . .Ketika Alia sampai dirumah Maya ia disambut dengan hangat oleh Maya yang memeluknya erat.Namun, suasana hatinya berubah saat matanya bertemu dengan Darren yang
Pagi itu . . .Darren duduk di meja kantornya, memandang layar komputer dengan ekspresi dingin yang menjadi ciri khasnya. Fokusnya tidak pernah terpecah. Setiap angka yang diproses, setiap keputusan yang diambil, semua adalah bagian dari rencana besar yang telah ia susun bertahun-tahun dengan penuh perhitungan."Permisi Pak Darren, dokumen untuk rapat siang nanti sudah siap di meja Anda," ujar sekretarisnya, Lisa, dengan nada sopan namun canggung."Baik. Pastikan semua laporan sudah diperiksa ulang."" Saya tidak mau ada kesalahan," jawab Darren tanpa mengangkat pandangannya dari layar.Darren selalu seperti itu, tepat, tegas, dan tak kenal kompromi. Tidak ada ruang untuk kesalahan dalam hidupnya, termasuk dalam urusan pribadi. Baginya, hidup adalah tentang kontrol penuh.Ketika layar komputernya menampilkan kalender yang penuh dengan jadwal rapat, sebuah notifikasi pesan dari Papinya muncul di ponselnya:"Kapan kamu akan membawa calon istrimu ke rumah? Jangan menunda-nunda lagi DARRE
Alia duduk di meja kerjanya yang berantakan, pensil di tangan, matanya kosong menatap lembaran kertas putih yang tergeletak di depannya. Komputer di sampingnya menunjukkan layar penuh dengan pekerjaan yang belum selesai. Semua tampak begitu kabur, dan pikirannya tak bisa fokus. Ini sudah hari keempat ia terjebak dalam kebuntuan kreatif, dan ia merasa sangat lelah.Sejak kecil, ia selalu dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta dan perhatian, namun tidak pernah bebas dari harapan.PERNIKAHAN!!! selalu menjadi topik utama dalam setiap percakapan keluarga, terutama ibu Alia akhir-akhir ini mengingat Alia sudah masuk usia akhir 20an.Ibunya sering kali memberi nasihat tentang betapa pentingnya menikah di usia muda, sementara Alia hanya bisa mendengarkan tanpa banyak berkata."Kamu tahu kan, nak, umurmu sudah semakin matang. 28 tahun loh. Pikirkan masa depan. Tidak baik hidup melajang sampai tua" begitu kata ibu, setiap kali berbicara dengan nada penuh harapan."Iya Bu, nanti kita bicars
C I N T A ? ?Siti Nur Alia, ia tidak pernah benar-benar memahaminya. Baginya, cinta hanyalah DONGENG INDAH yang terlalu sering dibungkus dengan ekspektasi, tuntutan, dan janji-janji palsu. Sejak kecil, ia terbiasa melihat cinta sebagai konsep yang indah di permukaan, tetapi rapuh dan penuh luka ketika diuji oleh realita. Alia tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan. Hidupnya adalah lingkaran tuntutan tanpa jeda, terutama desakan orang tua untuk segera menikah dan membangun keluarga. Namun, bagi Alia, menikah tidak pernah menjadi prioritas, apalagi sebuah impian.“Alia, kamu ini sudah cukup umur. Apa tidak ingin membahagiakan orang tua?”Itulah kalimat yang terus-menerus ia dengar. Setiap kali kata-kata itu muncul, hatinya terasa penuh, tetapi ia tak pernah menunjukkan perasaannya. Sebagai seorang wanita yang independen dan realistis, Alia memilih memusatkan hidupnya pada pekerjaannya. Tempat di mana ia bisa merasa berguna dan diakui tanpa perlu memedulikan perasaan yang rumit sepert