Tasya tertidur pulas, setelah puas menangis dan ditenangkan oleh Annie dan Damian di sisinya. Anak kecil itu setengah mendengkur, tampak kelelahan.Ada sisa mata sembab di wajahnya, dengan tangan yang tanpa sadar memeluk lengan Annie.Sementara Annie terus menitikkan air mata, tak tega memandang Tasya yang begitu menyedihkan. Dia tidak menyangka jika segalanya berakhir seperti ini.Awalnya dia kira, Tasya langsung bisa menerima Gina. Karena anaknya itu tampak sangat akrab dengan Gina. Tapi diluar dugaan, Tasya memendam bebannya sendiri yang baru berani dia keluarkan ketika segalanya sudah terlanjur sejauh ini.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Annie lirih, berharap tidak membangunkan Tasya.“Maksudmu?”“Apakah kamu tetap akan melanjutkan pernikahan?”Damian terdiam. Bukannya dia tidak bisa menjawab, tapi lebih karena ingin menjaga perasaan Annie.“Sebaiknya kamu tidur disini, bersama Tasya,” Damian mengalihkan pembicaraan. “Kasihan Sean jika pulang selarut ini,”Pria itu beranjak b
“Siapa itu malam-malam gini ribut?” seru Lukman, keluar dari dalam kamar dengan lari cepat.Damian–yang masih setengah sadar hampir saja limbung, andai Annie tidak menahan tubuhnya.“Sepertinya itu Steve,” tebak Annie, kesal luar biasa. “Biar aku saja yang keluar. Dam, tolong jaga Sean,”Annie berlari keluar dari dalam rumah Damian. Dan benar, dia mendapati Damian sedang berdiri celingukan di balik pagar tinggi rumah Damian.Pria itu terus menggedor pagar, membuat siapapun mendengarnya dengan nyaring karena suasana yang sunyi.“Kamu apa-apaan, hah?!” seru Annie, meneriaki Steve yang ada dibalik pagar. “Apa tidak bisa, datang dengan cara yang baik?”“Tidak!” sahut Steve keras. “Aku tidak akan membiarkan si brengsek itu membawa pergi calon istriku!”“Jangan membuatku malu, Steve!” bentak Annie. “Kamu juga, bersikaplah seperti dokter spesialis yang punya reputasi!”“Aku tidak peduli,” sambar Steve, murka. “Aku mau
“Apa? Kenapa Tasya tiba-tiba bilang begitu?” Damian mengernyitkan dahi. “Apa Om Wijaya bilang sesuatu pada Tasya?” Dia langsung menaruh curiga pada Wijaya. Karena Tasya tidak mungkin terpikirkan hal itu, kecuali ada orang yang menghasutnya.Tasya mengangguk polos.“Dia bilang apa?” Damian tak sabar. Dia tersulut emosi.“Om bilang … Sean sudah bersama Tuhan. Sudah meninggal,” jawab Tasya. “Kalau Sean sudah meninggal, terus Om Wijaya siapa temannya? Biar Miss Gina menemani Om, Pa,”“Sudah, sudah,” potong Sari. Membuyarkan emosi yang sempat menggebu di dada Damian. “Nanti telat nganter Tasya, lho. Sudah sana berangkat!” pinta Sari.Sesampainya sekolah, Tasya segera berlari masuk ke dalam kelas karena satu menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.Sementara Damian masih berdiri di samping mobilnya, sedikit mendongak berharap bisa melihat sosok Gina meski dari kejauhan.Namun wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Padahal setiap pagi Gina selalu berdiri rapi di depan ruangannya, menyap
Telinga Annie berdiri. “Dengar dari mana?”“Kabar itu sudah seperti konsumsi umum disini, An,” kata Nina, sembari mempersiapkan berkas-berkas yang hendak dia pelajari. “Kamu masih ingat Ajeng?”Mendengar nama Ajeng, membuat suasana hati Annie berubah buruk. Tentu dia ingat, karena Ajenglah yang membantu Damian dalam proses perceraian mereka.“Katanya sih, dia yang nyebarin berita itu ke semua orang,” bisik Nina. “Sepertinya dia masih dendam padamu,”Annie hanya menautkan alis, tampak tak minat. Dia sama sekali tidak menyahut, dan mencoba untuk menyibukkan diri dengan meja kerjanya yang masih cukup berantakan dengan pekerjaan lama.“An!” seru Nina, tiba-tiba nadanya meninggi. “Kamu ingat artis Andrea itu? Yang pernah menikah diam-diam dengan Tuan Wijaya,”“Nin!” Annie melotot. “Andrea yang mengenalkanku pada Wijaya! Kamu lupa, ya?” ketusnya, karena sejak tadi Nina bertanya seakan dia telah melupakan banyak hal di dunia kerjanya.Nina nyengir. “Kamu tahu gimana kondisi dia sekarang?”An
Tergelak tawa Rudi, mendengar pertanyaan Annie. “Kamu sudah kembali pada dirimu, An. Selalu penuh curiga,” ucapnya.Annie menautkan alis, sambil melipat tangan. “Aku hanya penuh kehati-hatian,” timpalnya. “Ada perlu apa Papa kemari?”“Papa hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di hari pertamamu setelah lama cuti,”“Aku bukan anak kecil, Pa,” seloroh Annie. “Kalau Papa cukup punya waktu luang, kenapa Papa tidak menemui Tasya? Dia sedang dalam kondisi tidak baik,”“Tasya?” Telinga Rudi berdiri. “Apa mantan suamimu itu tidak merawatnya?”Annie dengan cepat menggeleng. “Kalau Papa ingin tahu, Papa jemput Tasya pulang sekolah hari ini,”“Ada apa dengan Tasya? Dia sakit?” Rudi tetap mencecar Annie.“Papa jemput saja. Aku akan telepon Damian, bilang kalau Tasya hari ini dijemput Papa,” Annie segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Damian.“An?” panggil Rudi, setelah Annie memutus sambungannya. “Apa yang kamu pikirkan sekarang?”Annie memicingkan mata. “Pertanyaan Papa semakin mempe
“Sebenarnya Papa melarangku bercerita padamu, tapi kurasa kamu harus tahu,” Wijaya tampak ragu untuk bicara. “Ada apa?” Gina justru makin kuat mendesak. “Apa Papa sakit?”“Sebaiknya kita bergegas,” Wijaya mulai membukakan pintu untuk Gina. “Kamu mau kan, ke rumah Papa bersamaku?” tanyanya sekali lagi, untuk memastikan Gina tidak merasa terpaksa.Gina mengangguk. Dia naik ke dalam mobil Wijaya. Sementara Wijaya tampak mengulaskan senyum tipis bahagia, karena Gina mau untuk naik ke dalam mobilnya.Sepanjang perjalanan mereka berdua memilih diam. Tapi Wijaya beberapa kali melirik ke arah Gina, sekedar untuk memastikan kondisi hati mantan istrinya itu.Namun sadar sedang diamati, Gina dengan cepat membuang muka. Dia memilih untuk mengamati jalanan dibalik jendela, sambil bertopang dagu.Wijaya menelan ludah. Cukup kecewa dengan sikap Gina. “Bagaimana Tasya? Apa dia sudah baikan?” tanyanya, mencairkan suasana.“Seperti biasa. Dia masih tidak mau bertemu denganku,” jawab Gina. “Tapi aku ma
“Burhan, jelaskan!” Makin kencang Wijaya berteriak.Gina yang masih terkejut, mendekati Burhan. Dia gundang bahu pria itu sekerasnya.“Ada apa ini? Kenapa Wijaya diseret seperti itu, Burhan?” protes Wijaya.“Maafkan saya, Nyonya Gina,” sesal Burhan.Tetapi pria itu justru menarik lengan Gina, menyeretnya paksa keluar dari rumah Hadi Wijaya.Kini keduanya ditendang keluar. Persis seperti dua orang tidak berguna. Wijaya hendak melawan, namun Gina menahan. Dia menggeleng pada Wijaya, sebagai isyarat untuk menyuruh mantan suaminya itu berhenti.“Sebaiknya kita pergi dari sini,” saran Gina.“Tapi kita belum diberi penjelasan! Aku harus menuntut Burhan dengan perlakuan ini!” teriak Wijaya tak terima.“Itu tidak akan menyelesaikan masalah,” Gina tetap menahan. “Kita harus pergi. Keluar dari sini. Dan memikirkan rencana selanjutnya,”Wijaya menahan amarahnya, dengan menggigit bibir. Dia berkacak pinggang, masih kesal setengah mati dengan perlakuan Burhan. Harga dirinya tentu merasa tercoreng,
Emma amat tidak sabar. Dia berjalan maju, mengunci pergerakan Burhan hingga pria itu tidak bisa banyak bergerak. Lehernya ditekan dengan lengan Emma sekuatnya.“Cepat bilang!” bentak Emma. Bagaimanapun, dulunya dia adalah pengawal yang bekerja untuk keluarga konglomerat ini.“Tuan Hadi … s-sudah meninggal … “ ucap Burhan terbata-bata.Kaki Wijaya serasa lemas. Dia hampir saja ambruk, andai para anak buah Emma tidak segera menjaga keseimbangannya.“Tidak … “ gumam Gina. Dia lebih tenang dan bisa menguasai diri. Meskipun dia belum bisa menerima kenyataan.“Burhan! Kenapa mereka ada disini?” Wina tiba-tiba keluar dari dalam ruangan inti. Wanita itu menuding ke arah Wijaya dan Gina layaknya mereka berdua adalah sampah.“Beraninya kau … “ Wijaya hendak menerjang Wina.“Apa!” sentak Wina, justru balik menantang. “Kau berani padaku, hah? Dasar anak haram! Kau itu tidak berhak atas apapun tentang Papa. Sudah untung kau diberikan perusahaan itu. Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah in