Tergelak tawa Rudi, mendengar pertanyaan Annie. “Kamu sudah kembali pada dirimu, An. Selalu penuh curiga,” ucapnya.Annie menautkan alis, sambil melipat tangan. “Aku hanya penuh kehati-hatian,” timpalnya. “Ada perlu apa Papa kemari?”“Papa hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di hari pertamamu setelah lama cuti,”“Aku bukan anak kecil, Pa,” seloroh Annie. “Kalau Papa cukup punya waktu luang, kenapa Papa tidak menemui Tasya? Dia sedang dalam kondisi tidak baik,”“Tasya?” Telinga Rudi berdiri. “Apa mantan suamimu itu tidak merawatnya?”Annie dengan cepat menggeleng. “Kalau Papa ingin tahu, Papa jemput Tasya pulang sekolah hari ini,”“Ada apa dengan Tasya? Dia sakit?” Rudi tetap mencecar Annie.“Papa jemput saja. Aku akan telepon Damian, bilang kalau Tasya hari ini dijemput Papa,” Annie segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Damian.“An?” panggil Rudi, setelah Annie memutus sambungannya. “Apa yang kamu pikirkan sekarang?”Annie memicingkan mata. “Pertanyaan Papa semakin mempe
“Sebenarnya Papa melarangku bercerita padamu, tapi kurasa kamu harus tahu,” Wijaya tampak ragu untuk bicara. “Ada apa?” Gina justru makin kuat mendesak. “Apa Papa sakit?”“Sebaiknya kita bergegas,” Wijaya mulai membukakan pintu untuk Gina. “Kamu mau kan, ke rumah Papa bersamaku?” tanyanya sekali lagi, untuk memastikan Gina tidak merasa terpaksa.Gina mengangguk. Dia naik ke dalam mobil Wijaya. Sementara Wijaya tampak mengulaskan senyum tipis bahagia, karena Gina mau untuk naik ke dalam mobilnya.Sepanjang perjalanan mereka berdua memilih diam. Tapi Wijaya beberapa kali melirik ke arah Gina, sekedar untuk memastikan kondisi hati mantan istrinya itu.Namun sadar sedang diamati, Gina dengan cepat membuang muka. Dia memilih untuk mengamati jalanan dibalik jendela, sambil bertopang dagu.Wijaya menelan ludah. Cukup kecewa dengan sikap Gina. “Bagaimana Tasya? Apa dia sudah baikan?” tanyanya, mencairkan suasana.“Seperti biasa. Dia masih tidak mau bertemu denganku,” jawab Gina. “Tapi aku ma
“Burhan, jelaskan!” Makin kencang Wijaya berteriak.Gina yang masih terkejut, mendekati Burhan. Dia gundang bahu pria itu sekerasnya.“Ada apa ini? Kenapa Wijaya diseret seperti itu, Burhan?” protes Wijaya.“Maafkan saya, Nyonya Gina,” sesal Burhan.Tetapi pria itu justru menarik lengan Gina, menyeretnya paksa keluar dari rumah Hadi Wijaya.Kini keduanya ditendang keluar. Persis seperti dua orang tidak berguna. Wijaya hendak melawan, namun Gina menahan. Dia menggeleng pada Wijaya, sebagai isyarat untuk menyuruh mantan suaminya itu berhenti.“Sebaiknya kita pergi dari sini,” saran Gina.“Tapi kita belum diberi penjelasan! Aku harus menuntut Burhan dengan perlakuan ini!” teriak Wijaya tak terima.“Itu tidak akan menyelesaikan masalah,” Gina tetap menahan. “Kita harus pergi. Keluar dari sini. Dan memikirkan rencana selanjutnya,”Wijaya menahan amarahnya, dengan menggigit bibir. Dia berkacak pinggang, masih kesal setengah mati dengan perlakuan Burhan. Harga dirinya tentu merasa tercoreng,
Emma amat tidak sabar. Dia berjalan maju, mengunci pergerakan Burhan hingga pria itu tidak bisa banyak bergerak. Lehernya ditekan dengan lengan Emma sekuatnya.“Cepat bilang!” bentak Emma. Bagaimanapun, dulunya dia adalah pengawal yang bekerja untuk keluarga konglomerat ini.“Tuan Hadi … s-sudah meninggal … “ ucap Burhan terbata-bata.Kaki Wijaya serasa lemas. Dia hampir saja ambruk, andai para anak buah Emma tidak segera menjaga keseimbangannya.“Tidak … “ gumam Gina. Dia lebih tenang dan bisa menguasai diri. Meskipun dia belum bisa menerima kenyataan.“Burhan! Kenapa mereka ada disini?” Wina tiba-tiba keluar dari dalam ruangan inti. Wanita itu menuding ke arah Wijaya dan Gina layaknya mereka berdua adalah sampah.“Beraninya kau … “ Wijaya hendak menerjang Wina.“Apa!” sentak Wina, justru balik menantang. “Kau berani padaku, hah? Dasar anak haram! Kau itu tidak berhak atas apapun tentang Papa. Sudah untung kau diberikan perusahaan itu. Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah in
Gina meminta Wijaya untuk menurunkannya hanya di depan gerbang rumahnya. Dia tidak ingin susah-susah membukakan gerbang untuk Wijaya masuk.Langkah Gina gontai. Bahkan saat para satpam rumahnya menyapanya. Tapi tubuhnya terpaksa kembali tegak, setelah melihat mobil Damian terparkir rapi di dalam.Gina tertegun. Dia berusaha mencari sosok Damian–yang ternyata duduk di kursi kemudi. Pandangan pria itu terasa amat dingin, meski Gina hanya bisa melihatnya samar-samar dari balik kaca depan mobil.“Damian?” Gina mengetuk jendela mobil.Dengan gerakan lambat, pria itu membuka kaca jendelanya. Dia sama sekali tidak memandang Gina. Tatapannya lurus dan tampak sangat dingin. Gina bisa merasakan kemarahan Damian, namun terlalu takut untuk bertanya.Gina hanya bisa menunduk. Sambil menggigit bibir, dia memainkan jemarinya. Perasaan sedih dan depresi karena kematian Hadi Wijaya masih membayang di pelupuk matanya.“Apakah tidak ada yang ingin kamu ucapkan padaku?” tegur Damian.Sayangnya, Gina men
Bola mata Rudi bergetar, setelah membaca isi dari hasil tes DNA itu. Bahkan demi menjaga kesadarannya yang cukup terguncang, dia segera melepas kacamatanya.“Pak Rudi, Bapak baik-baik saja?” tanya sang anak buah, cukup cemas.Rudi menarik nafas sangat panjang. Lalu menghembuskannya keras. “Tolong, rahasiakan dari siapapun. Termasuk dari Annie dan istriku,”***“An, sampai kapan kamu menghindariku?” tuntut Steve, ketika Annie melewatinya begitu saja saat hendak berangkat kerja.Annie menoleh. “Sampai kapan juga kamu tinggal disini? Ini rumahku, dan kita belum terikat pernikahan!” geram Annie.Steve beranjak berdiri. Sembari merapikan pakaian kerjanya, dia berusaha menarik tubuh Annie ke dalam dekapannya.Namun Annie justru mundur untuk menghindar. “Jangan coba macam-macam,” ancamnya.“Aku kan ayah Sean. Dan kita juga sebentar lagi menikah. Aku akan tetap tinggal disini, untuk menjagamu dari si brengsek Damian,”Annie memutar bola mata, makin kesal. “Tidak ada yang terjadi padaku dan Da
“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” Bukannya menjawab, Annie justru balik bertanya.“Jawab pertanyaan Papa,”Annie menggeleng. “Aku tahu, sesuatu pasti terjadi,” tebak Annie. “Apakah Papa mengetahui hasil tes DNA itu?”Rudi kembali menarik nafas panjang. Lalu memutar kemudi, masuk ke dalam ruang parkir kantor Annie yang terletak di basement.“Jawab, Pa! Papa tahu sesuatu, kan? Dan itu menyangkut Damian,” tuntut Annie. “Papa tidak mungkin berubah baik pada Damian, kecuali Papa tahu sesuatu,”“Ayo turun. Nanti kamu terlambat,” ajak Rudi, mulai turun lebih dulu.Annie mengikuti pergerakan ayahnya, tapi jauh lebih cepat. Bahkan dia membanting pintu mobil.“Papa memang memilih diam, tapi aku akan mencari tahu,” tandas Annie. “Aku akan tahu semuanya, dan Papa akan menyesal karena sudah menutupi dariku,”Annie berjalan cepat meninggalkan Rudi, tanpa mau mengucapkan pamit. Sementara Rudi masih diam di tempatnya, sama sekali tidak tersulut emosi.Justru yang dia rasakan kini hanyalah rasa bersa
“Dia … Rudi Evan,” jawab Gina perlahan.“Rudi? Kenapa dia … “Belum sampai Damian menyelesaikan perkataannya, pintu ruangan Gina diketuk. Kemudian masuklah sosok Rudi Evan, yang tampak canggung.Dan ketika menyadari ada Damian bersama Gina, matanya melebar kaget. Namun sebagai seorang pejabat tinggi, Rudi tentu menjaga sikapnya.Dengan langkah tegap, Rudi Evan berjalan pelan mendekat ke meja kerja Gina.“Selamat siang, Bu Gina,” sapa Rudi.Gina mengangguk. “Selamat siang, Pak Rudi. Silahkan duduk,” Rudi lantas duduk di kursi yang disediakan di depan meja Gina. Matanya terus melirik ke arah Damian, tampak sedikit gelisah.“K-kalau begitu, saya permisi dulu,” ujar Damian. Sadar akan atmosfer tak menyenangkan antara mereka bertiga.Gina sempat beradu tatap dengan Damian, yang mengisyaratkan bahwa mereka harus segera berpisah. Karena tampaknya Rudi ingin membicarakan sesuatu yang serius. Setelah