Bruk!
Satu tas besar berisi baju dilemparkan Ivy tepat di depan mata Ahava. Tangan terulur ke depan, meraih tas berisi pakaian. Dadanya terasa sesak, air mata pun luruh. 'Haruskah aku pergi meninggalkan rumah beserta seluruh kenangannya di sini, Ma, Pa?' batin Ahava menjerit. "Sudah sana pergi!" Bibi Belinda menendang tubuh Ahava, mengusirnya secara kejam.Menyeka air mata sekaligus mencoba untuk tersenyum meski hatinya terasa sangat sakit. Bangkit berdiri kemudian beranjak pergi. Ahava berusaha setegar mungkin menerima perlakuan Paman dan Bibinya. Berselimutkan dinginnya angin malam, Ahava terduduk di sepanjang trotoar. Memeluk tas erat-erat sebagai bantalan untuk kepalanya bersandar. Rasa perih mulai menggerogoti perut Ahava. Sedari pagi perutnya memang belum terisi sesuap nasi pun. Paman Frank dan Bibi Belinda memang selalu begitu. Tidak akan mengizinkan Ahava makan bila pekerjaan rumah belum selesai. Ketika pekerjaan rumah selesai dan Ahava hampir menelan sesuap nasi, Martin datang ke dapur meminta dibuatkan secangkir kopi. Setelahnya, semuanya jadi kacau akibat salah paham. Ahava dituduh menggoda Martin-kekasih Ivy, lalu dia diusir dari rumahnya sendiri. Di tengah menahan rasa lapar, Ahava mencoba memejamkan mata. Namun, sayup-sayup terdengar suara rintihan seseorang. Terdengar begitu menyayat hati. Rasa penasaran dan ketakutakan berbenturan di dalam diri Ahava. Disatu sisi dia begitu penasaran dan ingin memastikan asal sumber suara, tetapi disisi lain dia juga takut. Bagaimana kalau ini semua hanya tipu daya orang jahat? Bukankah sekarang sedang marak-maraknya kasus begal dan pencurian yang berpura-pura terluka agar si korban iba kepadanya? Lalu setelahnya, si korban akan dirampas harta bendanya, bahkan yang lebih parahnya lagi si korban dicelakai bahkan dibunuh. Memikirkan itu semua, Ahava jadi merinding sendiri. Ahava mencoba tidak memedulikan suara tersebut. Ahava kembali memejamkan mata. Semakin Ahava mencoba menepisnya, semakin besar pula rasa penasaran di dalam dirinya. Besarnya rasa penasaran di dalam diri Ahava mengantarkan langkah kakinya mendekati sumber suara. Kini, Ahava berdiri di depan bangunan kosong. Suasana di dalamnya begitu gelap. Hanya terdapat sedikit cahaya dari sorot lampu di pinggir jalan yang menerangi. Ahava jadi ragu dan hendak berbalik, tetapi lagi-lagi suara kesakitan itu memenuhi gendang telinganya. "Tolong..." Teriakan bernada rintihan kembali menggema. Ahava membulatkan tekat. Memasuki bangunan kosong dengan hati-hati. Mengedarkan pandang ke sana ke mari mencari asal sumber suara. Semakin masuk ke dalam bangunan kosong tersebut, Ahava mendapati seorang pria dewasa tengah terluka. Terkapar tak berdaya dengan perut berlumuran darah. Darah segar terus mengalir dari perutnya, merembes membasahi kemeja yang digunakan. "Tolong..." rintihnya lagi. "Biar aku bantu, Tuan. Sebelumnya maaf ya, aku akan melepaskan bajumu agar lebih mudah membebat luka ini."Berjongkok, Ahava menunduk dan mulai membuka kancing kemeja pria itu. Mengambil selembar kain, lalu membebat luka sayatan itu dengan hati-hati. "Nah, sudah, Tuan. Sekarang pakailah kemeja Almarhum Papaku! Tidak mungkin kan kamu akan mengenakan pakaian bersimbah darah itu? Setelah ini aku akan membawamu ke rumah sakit."Tong... Tong... TongBunyi kayu dipukul mengalun seirama derap langkah kaki yang kian mendekati bangunan kosong. Beberapa warga yang tengah melakukan kegiatan ronda malam memang selalu mengecek bangunan kosong tersebut. Takutnya digunakan sebagai tempat mesum. "Heh, sedang apa kalian berdua?" teriak salah seorang peronda. Posisi Ahava yang sedang menunduk hendak membantu pria itu duduk, ternyata disalah artikan oleh para peronda. Mereka semua mengira Ahava berbuat mesum. "Sudah, bawa saja mereka berdua ke balai desa. Pezina seperti mereka harus diadili. Aku akan memanggil Pak Kades dan sesepuh untuk menikahkan mereka berdua," ucap Pak Darko."Ayo, ikut kami!" paksa beberapa peronda lainnya. Mencekal kedua pergelangan tangan Ahava dan pria dewasa itu. Belum sempat Ahava mengatakan satu kalimat pun untuk meminta bantuan, Ahava dan seorang pria yang tidak dia ketahui namanya diarak menuju balai desa. Diseret dengan paksa tanpa belas kasih sedikitpun. Seharusnya para peronda menolong pria yang tengah terluka itu. Paling tidak membawanya ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Bukan malah menyeretnya dengan paksa dan menuduh berbuat asusila. Dada kembang kempis, hati dilanda gelisah, Ahava benar-benar merutuki nasib buruk yang sedang menimpanya. Niat baiknya justru mengantarkan dia pada takdir yang tidak diinginkan. "Lepaskan! Aku tidak berzina," pinta Ahava seraya meronta agar cekalan di kedua pergelangan tangannya terlepas. "Sudahlah, tidak usah mengelak. Kami melihat kalian berdua sedang berbuat mesum di bangunan kosong itu.""Jangan fitnah. Kami berdua tidak berzina. Tadi dia terluka dan aku menolongnya," ucap Ahava. "Halah, alasan! Kamu pikir kami percaya, hah?""Sudah, tidak usah mengelak lagi. Ayo, ikut kami!"Beberapa warga yang mendengar keributan, sontak keluar dari rumah dan melihatnya. Para lambe-lambean tersenyum semringah mendapatkan bahan gosip terbaru. Bagai hembusan angin yang cepat menyebar, sama seperti gosip. Berita tentang perbuatan asusila keduanya sudah tersebar di seluruh penjuru desa. Semua warga memenuhi aula balai desa. Menyoroti Ahava dan pria di sampingnya dengan tatapan jijik, merendahkan, serta menghakimi. "Cih, dasar pezina!" umpat salah seorang warga. "Nikahkan saja mereka berdua, Pak Kades! Kami tidak ingin desa ini terkutuk karena dijadikan sarang maksiat.""Setuju..." sahut warga desa lainnya. "Tenang... Tenang... Semuanya silakan duduk!" ucap Pak Kades menengahi. "Apa yang mereka katakan benar?" tanya Pak Kades menginterogasi dua anak manusia yang dijadikan tersangka. Menggelengkan kepala, Ahava menampik tuduhan para warga. "Tidak, Pak Kades. Aku menolong pria ini. Dia sedang terluka.""Bohong! Kami melihatnya sendiri, Pak Kades. Mereka berdua memang sedang berbuat mesum. Tidak mungkin lelaki dan perempuan berduaan di bangunan kosong kalau bukan untuk berbuat maksiat," ucap salah satu peronda. "Betul, Pak Kades. Saya juga sempat melihat ada noda darah di tanah bangunan kosong itu. Pasti itu darah perawannya pezina ini," ucap Pak Darko. Bagai api yang menyulut bara, membuat suasana panas bertambah panas. "Noda itu asalnya dari perut pria ini, Pak Kades. Dia terluka. Perutnya disayat," ucap Ahava. "Omong kosong! Tidak usah banyak alasan kamu, Ava. Kamu pikir kami percaya, hah?" kesal Pak Darko. "Sudahlah, tinggal nikahkan mereka berdua saja apa susahnya sih, Pak Kades?" geram salah seorang warga. "Betul, Pak Kades. Cepat nikahkan mereka berdua! Aku sudah sangat muak melihat kelakuan menjijikkannya setiap hari," ucap Paman Frank yang baru tiba. "Jangan lupa, setelah ini usir dia dari desa ini!" imbuhnya. "Paman, tolong jangan menyebarkan fitnah. Aku sama sekali tidak pernah melakukan hal sehina itu," kesal Ahava. "Halah, omong kosong. Dasar ratu drama kamu ya!" sentak Bibi Belinda. "Ayo tunggu apalagi, Pak Kades. Cepat nikahkan mereka berdua atau desa ini akan terkena kutukan dari para leluhur!" ucap sesepuh desa. "Tidak, Pak Kades. Tidak... Jangan nikahkan aku dengan pria ini. Kami berdua tidak saling mengenal. Aku berani bersumpah atas nama Tuhanku kalau kami tidak melakukan hal sehina itu," ucap Ahava. "Jangan membawa nama Tuhan. Mulut kotormu tak pantas menyebut nama Agung itu," ucap Pak Darko. Suara ricuh berdesakan memekakan gendang telinga. Permintaan dari warga tidak mungkin diacuhkan begitu saja. Semua warga meminta kedua manusia itu dinikahkan agar desa tercinta terhindar dari kutukan leluhur. "Ava, maafkan saya ya. Saya tahu kamu gadis baik. Saya percaya kamu tidak mungkin melakukan hal sehina ini, tetapi pernikahan ini jalan terbaik untuk masalahmu saat ini," ucap Pak Kades. "Halah, nggak usah banyak basa basi, Pak Kades. Cepat nikahkan mereka!" desak warga. Menghela napas berat, Pak Kades menundukkan kepala dalam. Lalu, memandang wajah sendu Ahava. Pak Kades berharap keputusannya akan berdampak baik untuk hidup Ahava ke depannya. "Baiklah, saya akan menikahkan mereka berdua," lirih Pak Kades. Napas tersengal-sengal, rasa sesak menghimpit rongga dada. Pernikahan impian bersama pria yang dicinta hanya akan jadi mimpi belaka. "Aku tidak mau menikah dengannya, Pak Kades. Kami tidak berzina. Tuan, tolong bicaralah! Katakan yang sebenarnya terjadi. Kumohon!" pinta Ahava memelas. Berulang kali Ahava mengguncang lengan pria di sampingnya. Berharap pria itu mau membuka suara. Mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ini semua hanyalah salah paham semata. Mereka berdua sama sekali tidak berzina. Namun sayang sekali, yang didapati Ahava hanya lirikan sekilas dari pria itu. Mulut terkatup sempurna. Nampaknya dia benar-benar enggan berbicara. "Tuan, tolong bicaralah! Katakan yang sebenarnya, Tuan!" rengek Ahava. "Diamlah, Ava! Terima saja nasibmu. Sudah syukur jalang sepertimu dinikahi. Dasar tidak tahu diri!" sarkas Bibi Belinda. Air mata mulai berdesakan, menerobos benteng pertahanan. Malam ini hidup Ahava benar-benar nelangsa. Diusir dari rumahnya sendiri, lalu difitnah berzina dengan seorang pria yang sama sekali tidak dia kenal. Semua terlalu menyesakkan bagi Ahava. Niat baiknya justru mengantarkan pada sebuah takdir yang tidak pernah dia sangka. Menikah dengan pria asing. Dengan sebuah keterpaksaan pula. Bagaimana dia akan membina bahtera rumah tangga, kalau semua berawal dari sebuah keterpaksaan? Sesepuh desa menjadi penghulu yang akan menikahkan keduanya. Berbekal sebuah nama yang ditulis pada selembar kertas dan jam tangan milik pria itu yang dijadikan mahar, pria dewasa itu mengucapkan janji suci pernikahan dengan suara lirih seperti menahan rasa sakit. "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!"Ahava menunduk dalam. Sesekali ekor matanya melirik pria di sampingnya sekilas. Pandangan pria itu lurus ke depan. Bahkan, usai mengucapkan ijab kabul pun pria tersebut enggan memandang Ahava-gadis yang statusnya berubah menjadi istrinya. 'Ya, Tuhan... Bagaimana aku harus menjalani biduk rumah tangga dengan pria asing ini? Sanggupkah aku menjalani pernikahan yang tidak berlandaskan cinta ini?'Rembulan merangkak, malam kian bertambah malam. Dua insan anak manusia berjalan di bawah pekatnya malam. Sedari tadi keduanya hanya menyusuri jalanan desa, tanpa arah tanpa tujuan. Mulut terkatup sempurna. Baik Ahava maupun Tuan Dirgantara sama sekali tidak membuka suara sekedar membahas tujuan selanjutnya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali suara burung gagak mengisi kesunyian malam, menjadikan sunyi malam kian mencekam. Tuan Dirgantara meringis. Luka sayatan di area perutnya kian terasa nyeri akibat dibawa berjalan sedari tadi. Menunduk dan memegangi area perut yang terasa kian sakit, Tuan Dirgantara hampir saja limbung akibat tidak kuasa menahan rasa sakit. "Astaga, Tuan!" pekik Ahava. Ahava menahan lengan Tuan Dirgantara. Susah payah Ahava membawa tubuh kekar dan berat itu ke trotoar. Mendudukkannya di sana. "Maafkan aku, Tuan. Aku hampir saja lupa kalau kamu sedang terluka. Pasti sangat sakit ya dibawa berjalan sedari tadi?""Sudah tahu tanya," ketus Tuan D
"Katakan bahwa ini semua tidak benar, Mas!" sentak Renata. "Sayangnya ini semua benar. Ya kan, Dirgantara?" ucap Nyonya Esme sinis. "Baby, kamu jahat ya! Apa aku dan Kak Renata masih kurang untukmu, hah?" amuk Olivia memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Bukan begitu, Liv. Aku terpaksa menikahi gadis ini. Kami berdua diarak dan dinikahkan paksa di balai desa," ucap Tuan Dirgantara. "Kalian berdua berzina, hah?" amuk Renata kian menjadi-jadi. Ikut memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Tidak. Semuanya hanya salah paham. Dia menolongku, tapi warga malah mengira kami berbuat mesum," jelas Tuan Dirgantara. "Omong kosong macam apa ini?" ucap Olivia tidak percaya. "Bohong! Kamu pasti sedang mengarang cerita kan, Mas?" tebas Renata. Tawa sumbang menghiasi wajahnya. "Sumpah, Re, Liv. Mana mungkin aku membohongi kalian berdua," ucap Tuan Dirgantara frustasi. Renata dan Olivia tidak hentinya mengamuk dan memukuli dada Tuan Dirgantara. Pria dewasa yang sedang berbaring di atas brankar
Mendengar ucapan istri barunya, perut Tuan Dirgantara serasa dikocok. Tuan Dirgantara mengumbar tawa sumbang. Baru kali ini ada seorang wanita yang menginjak harga dirinya. Merendahkan secara terang-terangan. "Yakin mau pergi dari kehidupanku?" sinis Tuan Dirgantara. "Bukankah kamu yang tidak sudi hidup bersama gadis kampung sepertiku?""Ya, mana sudi aku hidup bersamamu. Melihat penampilan kampunganmu saja membuatku mual," sarkas Tuan Dirgantara. "Kalau begitu marilah kita akhiri semua ini dengan cara baik-baik," putus Ahava. "Tidak! Kamu terlanjur masuk dalam kehidupanku, maka lahirkan anak untukku. Setelahnya aku akan membebaskanmu. Mari kita buat kontrak perjanjian!"Netra Ahava terbelalak. Telinganya mencoba mencerna apa yang dikatakan Tuan Dirgantara. Dasar pria sinting! Ahava sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir tuan besar satu ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan ikatan suci pernikahan? "Apa kamu pikir aku mesin pencetak anak, hah?" kesal Ahava. "Ya, anggap saja
Tangan kekar Tuan Dirgantara merangkul pinggul Ahava. Bahkan sampai merapatkan tubuh mereka untuk saling menempel. Ahava bisa merasakan napas Tuan Dirgantara menyapu permukaan kulit wajahnya.Jemari kokoh Tuan Dirgantara mengusap pipi halus Ahava dengan sensual. Rasa takut kian menyergap. Sekujur tubuh Ahava dibuat meremang sekaligus gemetar di waktu bersamaan. "Rileks, Sayangku. Jangan tegang begitu dong. Sebentar lagi kamu akan merasakan surga dunia," kekeh Tuan Dirgantara. "Tidak mau! Aaa... Lepaskan aku!"Ahava kembali mendorong dada Tuan Dirgantara. Berusaha sekeras mungkin mengenyahkan tubuh besar itu dari atasnya. Lagi-lagi, Tuan Dirgantara tidak bergeming sama sekali. Tuan Dirgantara menarik sudut bibirnya ke atas. Pemberontakan yang dilakukan Ahava membuat Tuan Dirgantara merasa tertantang. "Mau berontak, hmm? Dasar kucing nakal!"Tubuh Ahava semakin bergetar tatkala Tuan Dirgantara menyapu permukaan lehernya. Pria dewasa itu menyunggingkan senyum sinisnya. Seolah merasa
"Ambillah kembali uangku di rumah Frank dan Belinda. Nominalnya lima puluh juta. Jangan sampai ada yang kurang.""Baik, Nyonya."'Dasar bodoh! Kalian berdua hanya aku peralat untuk melancarkan tujuanku. Mana sudi aku memberikan hartaku pada manusia serakah seperti kalian.'***Wajah wanita paruh baya itu kian memucat. Segepok uang yang baru saja didapatkannya lenyap dari tempat persembunyian. Padahal Bibi Belinda sangat yakin tidak salah menaruhnya. Bibi Belinda tergopoh menghampiri Paman Frank. "Sayang, kamu mengambil uang simpanan kita?" tanya Bibi Belinda. Lebih kepada sebuah tuduhan."Tidak, Sayang," balas Paman Frank."Bohong!" sentak Bibi Belinda."Buat apa aku bohong. Bukankah kamu yang menyimpannya?" Paman Frank balik bertanya. Tampak kesal karena dituduh.Bibi Belinda menghembuskan napas kasar. Seolah melepaskan amarah yang sempat diledakkan pada suaminya. "Tidak ada di lemari, Sayang. Aku kira kamu yang membawanya.""Tidak. Mungkin keselip. Ayo, kita cari!"Bibi Belinda dan
"Sayang..."Dipeluknya sang kekasih hati. Segala resah yang sempat membuatnya tidak bisa tidur semalaman, akhirnya terjawab sudah. Suaminya baik-baik saja. Bahkan, pagi ini Tuan Dirgantara tampak lebih bugar. Wajahnya pun tampak berseri. "Wajahmu cerah sekali," ucap Renata. Mengusap halus rahang tegas Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mengulum senyuman. "Iya dong, kan sepagi ini dijenguk kesayangan."Dengan jahilnya, Tuan Dirgantara mendorong wajah Renata maju ke depan. Mengecup bibir ranum wanitanya penuh cinta. Renata melotot. Wajahnya bersemu merah. Tidak menduga diberikan kejutan manis yang selalu disukainya. "Sayang, kamu nakal ya..." Renata memukul pelan dada Tuan Dirgantara. Sementara Tuan Dirgantara hanya terkekeh. "Sini!" Tuan Dirgantara menggeser tubuhnya. Menepuk sisi kosong pada brankarnya. "Nggak muat ih.""Muat. Ayolah, aku pengen tidur dipeluk kamu," rengek Tuan Dirgantara. "Ini udah pagi, Sayang. Waktunya bangun, bukan tidur.""Masa bodoh. Ayo, cepat!" paksa Tuan
Tiga hari sudah Tuan Dirgantara dirawat di Internasional Hospital. Kini, dia sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat. Sepanjang lorong Internasional Hospital, Renata dan Olivia terus menggandeng tangan Tuan Dirgantara. Ahava sama sekali tidak diizinkan menyentuh suami mereka. Jangankan menyentuh, berdekatan saja tidak boleh. Renata juga sangat membatasi interaksi diantara keduanya. Max melambatkan langkahnya. Menyejajari langkah Ahava yang berjalan di belakang suami dan kakak madunya. Entah mengapa Max menjadi sangat iba kepada Ahava. "Nona tidak apa-apakan?" tanya Max. Ahava mengulum senyumnya. Menggelengkan kepala pelan. Tidak mengerti maksud Max. "Memangnya aku kenapa, Max?""Barangkali Nona cemburu melihat Tuan dan kedua istrinya."Ahava tertawa pelan. "Ha ha ha... Aku sama sekali tidak cemburu, Max. Memangnya siapa aku boleh cemburu?""Ya, Nona kan istri Tuan.""Aku hanya sebatas istri di atas telapak tangan saja, Max. Bahkan, bil
Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
"Bagaimana Mas, apa sudah dapat rumahnya?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Ya, aku juga sudah menyelesaikan pembayarannya. Kamu tinggal tandatangani saja akta jual belinya.""Aaaa... Thank u, Sayangku... Kamu memang terbaik." Sorak riang Renata. "Besok mau temani aku ke sana?" tanyanya kemudian. "Ke sanalah sendiri, Re. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal.""Baiklah... Baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Sayang.""Sudah ya, aku kerja dulu.""Hm... Byee, Sayangku..."Tersenyum kecut, Tuan Dirgantara merasa tak ubahnya seperti seekor rubah licik. "Sorry, Re. Caraku mungkin memang terlalu licik dan kamu akan kecewa kalau tahu, tapi aku tidak punya cara lain lagi."***"Hai, Re... Lama tidak bertemu ya?" sapa Antony ramah. "Iya juga ya... Aku baru tahu loh kalau seorang CEO sepertimu turun langsung mengurusi customernya.""Spesial karena kamu istri temanku."Setelah 30 menit berkendara, akhirnya keduanya sampai di rumah baru Renata. "Nah, ini dia rumahnya. Apa kamu suka?"Renata
"Liv, tolong tanda tangani berkas ini!""Apa itu, Baby?""Lembar persetujuan untuk mengesahkan pernikahanku dengan Ava," jawab Tuan Dirgantara terlampau jujur. "Kenapa harus disahkan segala? Kamu mencintainya?" selidik Olivia. Tuan Dirgantara menggaruk tengkuknya, merasa salah tingkah seketika. Lantas, dia segera menguasai keadaan. "Bukan itu. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Mama."Olivia mengetuk-ketukkan telunjuk di dagunya. Menimbang baik dan buruknya bila memberi persetujuan. "Apa yang akan kudapat kalau menyetujuinya?" tanya Olivia mencoba bernegosiasi. "Apa saja yang kau mau akan kukabulkan, Baby."Nah, ini yang Olivia suka dari suaminya. Kalau begini kan tidak ada yang dirugikan, win win solution istilahnya. "Baiklah, berhubung kita tidak lagi tinggal di mansion, jadi aku minta dibelikan rumah dua lantai. Ingat, atas namaku!""Oh ya, aku juga tidak mau kalau nantinya rumah itu ditinggali oleh kedua istrimu yang lain.""Oke. Apapun untukmu, Baby."Benar bukan pemikiran
"Di depan ada ribut-ribut ya?" kepo salah seorang pelayan. "Emm... Tuan dan Nyonya besar sedang terlibat pertengkaran," balas pelayan lainnya. "Hah, yang benar?" ucapnya tak percaya. "Lihat saja sendiri kalau tidak percaya.""Nggak ah, sayang nyawaku. Bisa digorok sama Nyonya besar nanti kalau ketahuan kepo.""Tahu nggak apa penyebabnya?" ujarnya mulai julid. "Apa memangnya?""Nona Ava.""Hust... Jangan ngawur kalau bicara! Bisa kena hukum kamu kalau Nyonya besar tahu.""Serius, aku ndak bohong. Ini semua memang karena Nona Ava. Sebelum Nona ada di sini, apa pernah Tuan dan Nyonya besar bertengkar sampai melibatkan bodyguard? Endak to? Palingan juga adu mulut aja," ucapnya sembari melirik sana sini, takut ada yang mendengar ucapannya. Mendengar kasak-kusuk dari beberapa pelayan, Ahava menjalankan laju kursi rodanya. Menatap nanar pertengkaran ibu dan anak itu dari kaca jendela kamarnya. Netra Ahava memanas. Merasa sedih sekaligus teramat kecewa pada diri sendiri. Karenanya, hubun
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r
Awan menggelayut hitam di langit, tampaknya hujan akan segera datang. Benar saja, tidak lama kemudian rintik hujan membasahi tanah yang gersang. Di bawah guyuran air hujan, Renata terus saja berlari tanpa arah. Dada kembang kempis menahan letupan amarah yang dirasa sangat menyesakkan. Laut tak selamanya tenang. Pastilah badai akan datang menghantam. Pun sama halnya dengan biduk rumah tangga yang dijalaninya. Delapan tahun sudah Renata menjalani biduk rumah tangga bersama Tuan Dirgantara. Berbagai macam badai telah mereka lalui bersama, tapi tidak sedikitpun memadamkan percikan asmara diantara keduanya. Namun, hari ini semuanya terasa berbeda. Renata merasakan cinta Tuan Dirgantara untuknya semakin mengikis. Entah dibagi untuk Olivia, Ahava, atau justru keduanya. Katakanlah Renata teramat egois, sebab hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati Tuan Dirgantara.Renata rasanya tidak sanggup mendapati kenyataan cinta Tuan Dirgantara telah terbagi, tapi itulah kenyat
Renata mencegat taksi. Mengikuti mobil Tuan Dirgantara dari belakang. Rasa penasarannya terlalu tinggi. Akan dibawa ke mana adik madunya itu? "Kenapa yang dibawa pergi hanya Livia saja? Kenapa Mas Dirga justru mengacuhkanku?"Kening Renata mengerut mendapati sang suami membawa Olivia ke rumah sakit. "Kenapa Livia dibawa ke rumah sakit?""Mas, Livia kenapa?" tanya Renata begitu Tuan Dirgantara usai mengantarkan Olivia ke ruang pemeriksaan. Tuan Dirgantara menatap Renata begitu tajam. Kilat amarah memancar di mata sang juragan. "Livia sakit, Renata. Dasar tolol! Kamu itu tinggal berdua dengannya. Kenapa bisa tidak tahu?" maki Tuan Dirgantara. Renata membekap mulutnya. Netranya tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka kalau suami yang begitu mencintainya memaki-maki dirinya di depan umum. "Ta-tadi Olivia sehat, Mas. A-aku tidak tahu kalau dia sakit," ucap Renata dengan nada bergetar menahan tangis. "Dasarnya saja kamu yang tidak peduli dengannya. Sampai Livia sekarat pun mungkin kamu j
Olivia baru saja tiba. Dia begitu terkejut mendapati seisi kamar yang berubah menjadi porakporanda seperti habis terkena gempa. "Astaga... Kenapa bisa berantakan begini sih, Kak?" tanya Olivia. "Diamlah!" bentak Renata. "Santai dong! Ditanya baik-baik juga," kesal Olivia. "Pantas saja cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah sih," sindir Olivia kemudian. Bugh! Satu buah bantal dilemparkan Renata kepada Olivia. Olivia yang mendapatkan serangan mendadak jelas tidak sempat menghindar. Bantal tersebut mengenai wajahnya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang mengenai nakas. "Aduh..." ringis Olivia. Mengusap tubuh bagian belakangnya. Netra Olivia memerah, memandang tajam ke arah Renata. Bila situasi saat ini digambarkan dalam karakter animasi, maka di atas kepala Olivia sudah terdapat tanduk berwarna merah menyerupai banteng. Olivia mengambil bantal tersebut. Masih dengan mimik muka garangnya Olivia terus memandangi Renata. Mendekati sang madu dan membalas perbuatannya jauh lebih