Rembulan merangkak, malam kian bertambah malam. Dua insan anak manusia berjalan di bawah pekatnya malam. Sedari tadi keduanya hanya menyusuri jalanan desa, tanpa arah tanpa tujuan. Mulut terkatup sempurna. Baik Ahava maupun Tuan Dirgantara sama sekali tidak membuka suara sekedar membahas tujuan selanjutnya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali suara burung gagak mengisi kesunyian malam, menjadikan sunyi malam kian mencekam.
Tuan Dirgantara meringis. Luka sayatan di area perutnya kian terasa nyeri akibat dibawa berjalan sedari tadi. Menunduk dan memegangi area perut yang terasa kian sakit, Tuan Dirgantara hampir saja limbung akibat tidak kuasa menahan rasa sakit. "Astaga, Tuan!" pekik Ahava. Ahava menahan lengan Tuan Dirgantara. Susah payah Ahava membawa tubuh kekar dan berat itu ke trotoar. Mendudukkannya di sana. "Maafkan aku, Tuan. Aku hampir saja lupa kalau kamu sedang terluka. Pasti sangat sakit ya dibawa berjalan sedari tadi?""Sudah tahu tanya," ketus Tuan Dirgantara."Darahnya sudah merembes, Tuan. Ini harus dibawa ke rumah sakit," panik Ahava. "Pinjam ponselmu!""A-aku tidak mempunyai ponsel, Tuan."Kalau saja tidak sedang menahan rasa sakit, pastilah Tuan Dirgantara marah besar. Menahan gemuruh di dalam dada, menjambak rambutnya sendiri akibat frustasi, Tuan Dirgantara hanya bisa mengumpat di dalam batinnya. Tuan Dirgantara sama sekali tidak habis pikir, bagaimana bisa di zaman secanggih ini masih ada orang yang tidak memiliki ponsel. Kalau sudah seperti ini harus bagaimana? Padahal ponsel tersebut akan Tuan Dirgantara gunakan untuk meminta bantuan kepada orang-orangnya. Sementara Tuan Dirgantara dan Ahava merenungi nasib mereka, di balik pohon seberang jalan terdapat seorang lelaki yang tengah memata-matai sepasang suami istri baru tersebut. "Nyonya, Tuan Dirgantara diarak warga dan dipaksa menikahi gadis yang menolongnya.""Ha ha ha... Bagus. Berita yang membahagiakan.""Oh ya, Nyonya, Tuan Dirgantara sepertinya sudah terkulai lemas. Dari tadi beliau berjalan dengan menahan rasa sakit akibat luka sayatan itu.""Sekarang kamu tolong dia. Berikan bantuan untuknya!""Siap, Nyonya, laksanakan."Lelaki dengan hodie berwarna hitam berlari menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Menghidupkan mesin dan menjalankan kemudi. Melihat mobil sedan melintas ke arah mereka, netra Ahava tampak berbinar. Secercah harapan muncul. Ahava melambaikan tangannya. Berharap mobil tersebut berhenti dan memberikan pertolongan. "Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanya seorang lelaki dari dalam mobil dan membuka setengah kaca mobilnya. "Suami saya sedang terluka. Saya minta tolong antarkan kami ke rumah sakit ya," pinta Ahava. "Baik, silakan masuk!" ucapnya seraya membuka pintu mobil. Ahava tergopoh menghampiri Tuan Dirgantara. Tanpa sadar senyuman menghiasi wajah cantiknya. Sebentar lagi suaminya itu akan mendapatkan pertolongan. Perasaan Ahava menjadi lega karenanya. "Ayo, kita harus ke rumah sakit!"Meraih tangan kokoh Tuan Dirgantara, Ahava hendak memapah Tuan Dirgantara. "Lepas! Aku bisa jalan sendiri," sentak Tuan Dirgantara. Mau tidak mau, Ahava terpaksa melepaskan tangan kokoh Tuan Dirgantara. Ahava berjalan di belakang suaminya persis. Layaknya seorang ibu yang menjaga putranya ketika sedang latihan berjalan. "Apa saya boleh meminjam ponselmu?" tanya Tuan Dirgantara pada lelaki yang menolongnya. "Boleh, Tuan. Ini!""Hallo, Max. Cepat susul aku ke internasional hospital!""Siapa yang sakit, Tuan?" tanya Max."Jangan banyak tanya. Cepat ke rumah sakit sekarang!"Tut... Tut... "Hallo, Tuan... Arghhh, sial! Selalu saja begitu," gerutu Max.Tuan Dirgantara dibawa ke recovery room. Luka sayatannya ternyata cukup dalam dan mengharuskan adanya jahitan untuk menutupnya. Dada naik turun, napas tidak beraturan. Max berlarian ke ruang operasi. Didapatinya seorang lelaki dan perempuan di depan ruangan itu. "Apa benar Tuan Dirgantara di dalam?" tanya Max."Ya," balas lelaki hodie hitam. "Kamu siapa?" tanya Max kepadanya. "Saya yang menolongnya.""Oh, terima kasih banyak sudah menolong Tuan Dirgantara.""Sama-sama, Tuan.""Kalau kamu?" tanya Max memindai wajah cantik Ahava. Tergugu, Ahava sendiri bingung harus berkata apa. Hendak mengatakan bahwa dia istri dari Tuan Dirgantara, tetapi takut tidak diakui oleh suaminya sendiri. "Dia istrinya," balas lelaki hodie hitam. Max tertawa sumbang. "Ha ha ha... Jangan bercanda kamu.""Saya sedang tidak melawak, Tuan," kesal lelaki hodie hitam. "Tahu dari mana kamu kalau dia istri Tuan Dirgantara?" tanya Max menyelidik. "Tadi, Nona ini yang mengatakannya sendiri."Max menepiskan tangan ke udara. "Halah... Zaman sekarang banyak yang mengaku-aku. Lagipula, wanita mana yang tidak mau bersanding dengan Tuanku.""Siapa yang mengaku-aku, Max?"Suara lantang Nyonya Esme menarik atensi ketiganya, terlebih Ahava. Menoleh ke sumber suara, Ahava memandangi wanita paruh baya dengan penampilan glamour itu. "Wanita ini, Nyonya." Max menunjuk Ahava. Selama beberapa detik, kedua sorot mata mereka saling bertemu di satu garis lurus. Ahava bisa merasakan betapa tajam sorot mata wanita paruh baya di hadapannya ini. Tidak kuat ditatap sedemikian lekat, Ahava mengalihkan pandang. Nyonya Esme masih betah memandangi Ahava. Memindai penampilan Ahava dari atas ke bawah. Tanpa Ahava ketahui, Nyonya Esme memulas senyum samar di bibir bergincu merahnya. "Benarkah kamu istri dari putraku?" tanya Nyonya Esme. Menundukkan kepala, Ahava mengangguk samar. Tidak berani Ahava menjawab dengan gamblang. Ketakutan teramat besar sedang menyertainya. Bagaimana kalau keluarga besar Tuan Dirgantara tidak dapat menerima dirinya?"Ayo ikut aku!"Nyonya Esme menarik pergelangan tangan Ahava. Membawanya ikut serta ke ruang dokter kandungan. "Mengapa kita ke sini, Nyonya?" tanya Ahava heran. "Sudah ikut saja. Jangan banyak bicara!" ketus Nyonya Esme. Setelah melakukan pemeriksaan, senyum Nyonya Esme terus terkembang. Hatinya begitu berbunga mengetahui rahim Ahava dalam keadaan sehat dan siap untuk dibuahi. "Kamu harus cepat hamil. Aku sudah tidak sabar untuk menimang cucu," ucap Nyonya Esme. 'Apa itu artinya, Nyonya ini menerimaku sebagai menantunya?' batin Ahava.Ahava dan Nyonya Esme kembali ke recovery room. Operasi Tuan Dirgantara sudah selesai dilakukan. Pintu terbuka, dokter yang baru saja menangani Tuan Dirgantara keluar dari sana. "Bagaimana keadaan putraku, Dok?" tanya Nyonya Esme. "Kondisi Tuan Dirgantara sudah membaik, Nyonya. Luka sayatan di perutnya sudah kami jahit. Sebentar lagi perawat akan memindahkan beliau ke ruang perawatan.""Ya, terima kasih.""Sama-sama, Nyonya Esme. Kalau begitu saya permisi dulu."Perasaan penuh kelegaan memenuhi rongga dada. Penuh syukur Ahava ucapkan pada Tuhan, karena telah berbaik hati memberikan pertolongan kepada suaminya. Tuan Dirgantara terbaring di atas brankar. Dua orang perawat mendorongnya, membawa Tuan Dirgantara ke ruang perawatan. "Kejarlah suamimu, dampingi dia!" perintah Nyonya Esme. Menganggukkan kepala, Ahava berlari kecil guna menyejajarkan langkah kakinya dengan ranjang dorong tersebut. Setelah memastikan berbagai macam alat medis terpasang sempurna, perawat membungkukkan badan menghadap Nyonya Esme. "Kalau sudah tidak ada yang diperlukan, kami pamit undur diri, Nyonya," ucap salah seorang perawat. "Ya, terima kasih," balas Nyonya Esme. Sisa obat bius nampaknya mulai hilang. Kesadaran Tuan Dirgantara berangsur kembali. Kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Menyesuaikan cahaya di sekitarnya. "Bagaimana ceritanya bisa seperti ini, Tuan?" tanya Max begitu sang juragan sadarkan diri. "Diamlah, Max! Putraku butuh istirahat. Tidak bisakah pertanyaanmu itu disimpan untuk besok saja?" kesal Nyonya Esme. Max menundukkan kepala. "Maafkan saya, Nyonya," ungkapnya penuh penyesalan. Saat Max hendak undur diri, Tuan Dirgantara membuka suara. "Aku dirampok, Max," cerita Tuan Dirgantara. Max berbalik arah. Memandang sang juragan dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Hah? Di mana, Tuan?""Di jalanan desa tempat aku melakukan peninjauan tanah untuk pembangunan hotel baru.""Maafkan saya, Tuan. Seharusnya saya mengawal Tuan. Mungkin ini semua tidak akan terjadi," sesal Max. "Sudahlah, Max. Lagipula kamu juga disibukkan dengan urusan lain."Saat Max hendak menanyakan status Ahava, Renata dan Olivia masuk ke dalam ruang perawatan. Keduanya berhambur memeluk tubuh Tuan Dirgantara secara bersamaan. "Sayang, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bisa berakhir di rumah sakit seperti ini?" tanya Renata penuh kekhawatiran. Belum sempat Tuan Dirgantara menjawab pertanyaan Renata, Olivia sudah lebih dulu membingkai wajah tampan suaminya itu. Memalingkannya agar tidak bersitatap dengan Renata. Sontak, atensi Tuan Dirgantara hanya tertuju pada Olivia."Kamu tidak apakan, Baby? Mana saja yang sakit? Biar aku usap ya supaya cepat sembuh," ucap Olivia. "Aku tidak apa-apa," balas Tuan Dirgantara datar. "Re..." panggil Tuan Dirgantara. Meraih jemari lentik Renata, Tuan Dirgantara menelusupkan jemari kokohnya di sana. Membuat kedua jemari itu bertautan. "Peluk aku sekali lagi, Sayang. Yang tadi tidak berasa," manja Tuan Dirgantara. Renata tidak sungkan memeluk tubuh kekar suaminya dan memamerkan kemesraan mereka di depan banyak orang. Sementara Olivia, mundur perlahan. Sadar bahwa bukan dirinya yang diinginkan oleh Tuan Dirgantara. Olivia melirik sekilas ke arah Max dan mencebikkan bibirnya. Ahava sendiri masih tidak paham dengan situasi yang terjadi. 'Mengapa dua wanita ini memeluk suamiku? Siapakah mereka sebenarnya?'"Ehm..." Nyonya Esme berdehem. "Sepertinya kalian berdua terlalu nyaman berpelukan sampai tidak sadar bahwa ada banyak orang di sini," sindir Nyonya Esme. Dengan terpaksa, Renata melepaskan pelukannya. Sadar bahwa Nyonya Esme sangat tidak menyukainya. Apalagi, saat sedang bermesraan dengan Tuan Dirgantara seperti ini. "Siapa namamu?" tanya Nyonya Esme berbisik."Ahava, Nyonya," balas Ahava tidak kalah lirih. "Ya, Ava. Sana, peluk suamimu itu!" perintah Nyonya Esme. "Ta-tapi, Nyonya," ucap Ahava ragu. "Renata, menyingkir kamu!" sentak Nyonya Esme. Mendorong tubuh Renata agar menjauh dari Tuan Dirgantara. "Ma!" peringat Tuan Dirgantara. Sangat tidak suka dengan perlakuan sang mama terhadap istri pertamanya. "Jangan lupakan istri barumu, Dirgantara. Dia juga harus kamu sayangi. Jangan hanya mengumbar kemesraan dengan Renata saja.""Maksud Mama, Olivia? Bukankah tadi dia juga sudah memeluk Mas Dirga?" cicit Renata. Nyonya Esme terbahak. Entah mengapa ucapan Renata menggelitik sanubarinya. "Ha ha ha... Olivia dan kamu itu istri lama. Kalian berdua sudah kadaluarsa tahu," ejek Nyonya Esme. "Ma, sudahlah. Jangan membuat keributan di rumah sakit!" peringat Tuan Dirgantara."Ayo, Ava, ke sini!" perintah Nyonya Esme. Menunduk dan terus menunduk, Ahava berjalan perlahan menuju tempat pembaringan Tuan Dirgantara. Mematung dan berdiam diri di sisi brankar. Rasa canggung menelusup ke dalam hatinya. Tidak mungkin juga Ahava langsung memeluk Tuan Dirgantara seperti yang baru saja dilakukan oleh Renata dan Olivia. Bisa-bisa Tuan Dirgantara akan memaki-maki dirinya habis-habisan.Cukup lama Ahava bergeming, membuat Nyonya Esme kesal saja. Mendekati Ahava, Nyonya Esme mendorong tubuh mungil itu hingga menubruk dan menindih tubuh Tuan Dirgantara. Sejenak, keduanya saling bersitatap. Entah mengapa, ada letupan kecil yang menyelinap di hati Ahava. Lalu, keduanya saling membuang pandang. "Mama apa-apaan sih? Sakit tahu," sembur Tuan Dirgantara. "Makannya dipeluk istrimu itu. Jangan hanya didiamkan saja. Kamu juga, Ava. Jangan kaku-kaku begitulah sama suami sendiri," omel Nyonya Esme. "Istri? Maksud, Mama?" tanya Renata memperjelas. Nyonya Esme merangkul tubuh mungil Ahava. Menunjukkan kedekatannya dengan istri baru putranya. "Perkenalkan, dia Ahava. Istri baru Dirgantara," ucap Nyonya Esme. Sontak, Renata dan Olivia terlonjak. Netra keduanya terbelalak. Menyangkal bahwa yang dikatakan mertuanya itu tidak benar. "Jangan bercanda, Ma!" ucap Olivia. "Siapa yang bercanda, hah? Status Ahava sama seperti kalian. Dia istri Dirgantara," jelas Nyonya Esme. Mendengar ucapan Nyonya Esme, dada Renata dan Olivia menjadi sesak. Tidak hanya mereka berdua, Ahava pun merasakan sesak memenuhi rongga dada, membuat napasnya tersengal. 'Jadi, mereka berdua istri Tuan Dirgantara? Lalu, aku?' batin Ahava kalang kabut. Memandang nanar Nyonya Esme, Ahava memberanikan diri bertanya. "Ja-jadi, aku... aku... Istri ketiga dari Tuan Dirgantara, Nyonya?""Katakan bahwa ini semua tidak benar, Mas!" sentak Renata. "Sayangnya ini semua benar. Ya kan, Dirgantara?" ucap Nyonya Esme sinis. "Baby, kamu jahat ya! Apa aku dan Kak Renata masih kurang untukmu, hah?" amuk Olivia memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Bukan begitu, Liv. Aku terpaksa menikahi gadis ini. Kami berdua diarak dan dinikahkan paksa di balai desa," ucap Tuan Dirgantara. "Kalian berdua berzina, hah?" amuk Renata kian menjadi-jadi. Ikut memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Tidak. Semuanya hanya salah paham. Dia menolongku, tapi warga malah mengira kami berbuat mesum," jelas Tuan Dirgantara. "Omong kosong macam apa ini?" ucap Olivia tidak percaya. "Bohong! Kamu pasti sedang mengarang cerita kan, Mas?" tebas Renata. Tawa sumbang menghiasi wajahnya. "Sumpah, Re, Liv. Mana mungkin aku membohongi kalian berdua," ucap Tuan Dirgantara frustasi. Renata dan Olivia tidak hentinya mengamuk dan memukuli dada Tuan Dirgantara. Pria dewasa yang sedang berbaring di atas brankar
Mendengar ucapan istri barunya, perut Tuan Dirgantara serasa dikocok. Tuan Dirgantara mengumbar tawa sumbang. Baru kali ini ada seorang wanita yang menginjak harga dirinya. Merendahkan secara terang-terangan. "Yakin mau pergi dari kehidupanku?" sinis Tuan Dirgantara. "Bukankah kamu yang tidak sudi hidup bersama gadis kampung sepertiku?""Ya, mana sudi aku hidup bersamamu. Melihat penampilan kampunganmu saja membuatku mual," sarkas Tuan Dirgantara. "Kalau begitu marilah kita akhiri semua ini dengan cara baik-baik," putus Ahava. "Tidak! Kamu terlanjur masuk dalam kehidupanku, maka lahirkan anak untukku. Setelahnya aku akan membebaskanmu. Mari kita buat kontrak perjanjian!"Netra Ahava terbelalak. Telinganya mencoba mencerna apa yang dikatakan Tuan Dirgantara. Dasar pria sinting! Ahava sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir tuan besar satu ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan ikatan suci pernikahan? "Apa kamu pikir aku mesin pencetak anak, hah?" kesal Ahava. "Ya, anggap saja
Tangan kekar Tuan Dirgantara merangkul pinggul Ahava. Bahkan sampai merapatkan tubuh mereka untuk saling menempel. Ahava bisa merasakan napas Tuan Dirgantara menyapu permukaan kulit wajahnya.Jemari kokoh Tuan Dirgantara mengusap pipi halus Ahava dengan sensual. Rasa takut kian menyergap. Sekujur tubuh Ahava dibuat meremang sekaligus gemetar di waktu bersamaan. "Rileks, Sayangku. Jangan tegang begitu dong. Sebentar lagi kamu akan merasakan surga dunia," kekeh Tuan Dirgantara. "Tidak mau! Aaa... Lepaskan aku!"Ahava kembali mendorong dada Tuan Dirgantara. Berusaha sekeras mungkin mengenyahkan tubuh besar itu dari atasnya. Lagi-lagi, Tuan Dirgantara tidak bergeming sama sekali. Tuan Dirgantara menarik sudut bibirnya ke atas. Pemberontakan yang dilakukan Ahava membuat Tuan Dirgantara merasa tertantang. "Mau berontak, hmm? Dasar kucing nakal!"Tubuh Ahava semakin bergetar tatkala Tuan Dirgantara menyapu permukaan lehernya. Pria dewasa itu menyunggingkan senyum sinisnya. Seolah merasa
"Ambillah kembali uangku di rumah Frank dan Belinda. Nominalnya lima puluh juta. Jangan sampai ada yang kurang.""Baik, Nyonya."'Dasar bodoh! Kalian berdua hanya aku peralat untuk melancarkan tujuanku. Mana sudi aku memberikan hartaku pada manusia serakah seperti kalian.'***Wajah wanita paruh baya itu kian memucat. Segepok uang yang baru saja didapatkannya lenyap dari tempat persembunyian. Padahal Bibi Belinda sangat yakin tidak salah menaruhnya. Bibi Belinda tergopoh menghampiri Paman Frank. "Sayang, kamu mengambil uang simpanan kita?" tanya Bibi Belinda. Lebih kepada sebuah tuduhan."Tidak, Sayang," balas Paman Frank."Bohong!" sentak Bibi Belinda."Buat apa aku bohong. Bukankah kamu yang menyimpannya?" Paman Frank balik bertanya. Tampak kesal karena dituduh.Bibi Belinda menghembuskan napas kasar. Seolah melepaskan amarah yang sempat diledakkan pada suaminya. "Tidak ada di lemari, Sayang. Aku kira kamu yang membawanya.""Tidak. Mungkin keselip. Ayo, kita cari!"Bibi Belinda dan
"Sayang..."Dipeluknya sang kekasih hati. Segala resah yang sempat membuatnya tidak bisa tidur semalaman, akhirnya terjawab sudah. Suaminya baik-baik saja. Bahkan, pagi ini Tuan Dirgantara tampak lebih bugar. Wajahnya pun tampak berseri. "Wajahmu cerah sekali," ucap Renata. Mengusap halus rahang tegas Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mengulum senyuman. "Iya dong, kan sepagi ini dijenguk kesayangan."Dengan jahilnya, Tuan Dirgantara mendorong wajah Renata maju ke depan. Mengecup bibir ranum wanitanya penuh cinta. Renata melotot. Wajahnya bersemu merah. Tidak menduga diberikan kejutan manis yang selalu disukainya. "Sayang, kamu nakal ya..." Renata memukul pelan dada Tuan Dirgantara. Sementara Tuan Dirgantara hanya terkekeh. "Sini!" Tuan Dirgantara menggeser tubuhnya. Menepuk sisi kosong pada brankarnya. "Nggak muat ih.""Muat. Ayolah, aku pengen tidur dipeluk kamu," rengek Tuan Dirgantara. "Ini udah pagi, Sayang. Waktunya bangun, bukan tidur.""Masa bodoh. Ayo, cepat!" paksa Tuan
Tiga hari sudah Tuan Dirgantara dirawat di Internasional Hospital. Kini, dia sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat. Sepanjang lorong Internasional Hospital, Renata dan Olivia terus menggandeng tangan Tuan Dirgantara. Ahava sama sekali tidak diizinkan menyentuh suami mereka. Jangankan menyentuh, berdekatan saja tidak boleh. Renata juga sangat membatasi interaksi diantara keduanya. Max melambatkan langkahnya. Menyejajari langkah Ahava yang berjalan di belakang suami dan kakak madunya. Entah mengapa Max menjadi sangat iba kepada Ahava. "Nona tidak apa-apakan?" tanya Max. Ahava mengulum senyumnya. Menggelengkan kepala pelan. Tidak mengerti maksud Max. "Memangnya aku kenapa, Max?""Barangkali Nona cemburu melihat Tuan dan kedua istrinya."Ahava tertawa pelan. "Ha ha ha... Aku sama sekali tidak cemburu, Max. Memangnya siapa aku boleh cemburu?""Ya, Nona kan istri Tuan.""Aku hanya sebatas istri di atas telapak tangan saja, Max. Bahkan, bil
Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
Sepanjang perjalanan menuju paviliun Ahava terus menggerutu. Tampaknya dia terlalu kesal karena satu minggu ke depan waktunya akan tersita bersama suami yang kerjaannya hanya marah-marah saja kepadanya. Sampai di dapur pun Ahava masih menggerutu. Bibirnya monyong-monyong sejauh 5cm. Ahava terlalu sibuk dengan kekesalannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok pria gagah yang berdiri di belakangnya. 'Sialan! Rupanya dia mengumpatiku. Lihat saja nanti!' batin Tuan Dirgantara kesal. Grep! Ahava tersentak saat sepasang jemari besar melingkar di depan perutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, didapatinya wajah tampan Tuan Dirgantara. Pria dewasa itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma kesegaran buah yang berasal dari rambut istri ketiganya. "Tu-Tuan?" gugup Ahava. Saking gugupnya, lulutnya jadi gemetaran. Istri ketiga sang juragan berusaha menyingkirkan sepasang tangan besar Tuan Dirgantara. Bukannya terlepas, justru semakin mengencang saja. Ahava sampai frustasi sekaligus k
"Bagaimana Mas, apa sudah dapat rumahnya?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Ya, aku juga sudah menyelesaikan pembayarannya. Kamu tinggal tandatangani saja akta jual belinya.""Aaaa... Thank u, Sayangku... Kamu memang terbaik." Sorak riang Renata. "Besok mau temani aku ke sana?" tanyanya kemudian. "Ke sanalah sendiri, Re. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal.""Baiklah... Baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Sayang.""Sudah ya, aku kerja dulu.""Hm... Byee, Sayangku..."Tersenyum kecut, Tuan Dirgantara merasa tak ubahnya seperti seekor rubah licik. "Sorry, Re. Caraku mungkin memang terlalu licik dan kamu akan kecewa kalau tahu, tapi aku tidak punya cara lain lagi."***"Hai, Re... Lama tidak bertemu ya?" sapa Antony ramah. "Iya juga ya... Aku baru tahu loh kalau seorang CEO sepertimu turun langsung mengurusi customernya.""Spesial karena kamu istri temanku."Setelah 30 menit berkendara, akhirnya keduanya sampai di rumah baru Renata. "Nah, ini dia rumahnya. Apa kamu suka?"Renata
"Liv, tolong tanda tangani berkas ini!""Apa itu, Baby?""Lembar persetujuan untuk mengesahkan pernikahanku dengan Ava," jawab Tuan Dirgantara terlampau jujur. "Kenapa harus disahkan segala? Kamu mencintainya?" selidik Olivia. Tuan Dirgantara menggaruk tengkuknya, merasa salah tingkah seketika. Lantas, dia segera menguasai keadaan. "Bukan itu. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Mama."Olivia mengetuk-ketukkan telunjuk di dagunya. Menimbang baik dan buruknya bila memberi persetujuan. "Apa yang akan kudapat kalau menyetujuinya?" tanya Olivia mencoba bernegosiasi. "Apa saja yang kau mau akan kukabulkan, Baby."Nah, ini yang Olivia suka dari suaminya. Kalau begini kan tidak ada yang dirugikan, win win solution istilahnya. "Baiklah, berhubung kita tidak lagi tinggal di mansion, jadi aku minta dibelikan rumah dua lantai. Ingat, atas namaku!""Oh ya, aku juga tidak mau kalau nantinya rumah itu ditinggali oleh kedua istrimu yang lain.""Oke. Apapun untukmu, Baby."Benar bukan pemikiran
"Di depan ada ribut-ribut ya?" kepo salah seorang pelayan. "Emm... Tuan dan Nyonya besar sedang terlibat pertengkaran," balas pelayan lainnya. "Hah, yang benar?" ucapnya tak percaya. "Lihat saja sendiri kalau tidak percaya.""Nggak ah, sayang nyawaku. Bisa digorok sama Nyonya besar nanti kalau ketahuan kepo.""Tahu nggak apa penyebabnya?" ujarnya mulai julid. "Apa memangnya?""Nona Ava.""Hust... Jangan ngawur kalau bicara! Bisa kena hukum kamu kalau Nyonya besar tahu.""Serius, aku ndak bohong. Ini semua memang karena Nona Ava. Sebelum Nona ada di sini, apa pernah Tuan dan Nyonya besar bertengkar sampai melibatkan bodyguard? Endak to? Palingan juga adu mulut aja," ucapnya sembari melirik sana sini, takut ada yang mendengar ucapannya. Mendengar kasak-kusuk dari beberapa pelayan, Ahava menjalankan laju kursi rodanya. Menatap nanar pertengkaran ibu dan anak itu dari kaca jendela kamarnya. Netra Ahava memanas. Merasa sedih sekaligus teramat kecewa pada diri sendiri. Karenanya, hubun
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r
Awan menggelayut hitam di langit, tampaknya hujan akan segera datang. Benar saja, tidak lama kemudian rintik hujan membasahi tanah yang gersang. Di bawah guyuran air hujan, Renata terus saja berlari tanpa arah. Dada kembang kempis menahan letupan amarah yang dirasa sangat menyesakkan. Laut tak selamanya tenang. Pastilah badai akan datang menghantam. Pun sama halnya dengan biduk rumah tangga yang dijalaninya. Delapan tahun sudah Renata menjalani biduk rumah tangga bersama Tuan Dirgantara. Berbagai macam badai telah mereka lalui bersama, tapi tidak sedikitpun memadamkan percikan asmara diantara keduanya. Namun, hari ini semuanya terasa berbeda. Renata merasakan cinta Tuan Dirgantara untuknya semakin mengikis. Entah dibagi untuk Olivia, Ahava, atau justru keduanya. Katakanlah Renata teramat egois, sebab hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati Tuan Dirgantara.Renata rasanya tidak sanggup mendapati kenyataan cinta Tuan Dirgantara telah terbagi, tapi itulah kenyat
Renata mencegat taksi. Mengikuti mobil Tuan Dirgantara dari belakang. Rasa penasarannya terlalu tinggi. Akan dibawa ke mana adik madunya itu? "Kenapa yang dibawa pergi hanya Livia saja? Kenapa Mas Dirga justru mengacuhkanku?"Kening Renata mengerut mendapati sang suami membawa Olivia ke rumah sakit. "Kenapa Livia dibawa ke rumah sakit?""Mas, Livia kenapa?" tanya Renata begitu Tuan Dirgantara usai mengantarkan Olivia ke ruang pemeriksaan. Tuan Dirgantara menatap Renata begitu tajam. Kilat amarah memancar di mata sang juragan. "Livia sakit, Renata. Dasar tolol! Kamu itu tinggal berdua dengannya. Kenapa bisa tidak tahu?" maki Tuan Dirgantara. Renata membekap mulutnya. Netranya tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka kalau suami yang begitu mencintainya memaki-maki dirinya di depan umum. "Ta-tadi Olivia sehat, Mas. A-aku tidak tahu kalau dia sakit," ucap Renata dengan nada bergetar menahan tangis. "Dasarnya saja kamu yang tidak peduli dengannya. Sampai Livia sekarat pun mungkin kamu j
Olivia baru saja tiba. Dia begitu terkejut mendapati seisi kamar yang berubah menjadi porakporanda seperti habis terkena gempa. "Astaga... Kenapa bisa berantakan begini sih, Kak?" tanya Olivia. "Diamlah!" bentak Renata. "Santai dong! Ditanya baik-baik juga," kesal Olivia. "Pantas saja cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah sih," sindir Olivia kemudian. Bugh! Satu buah bantal dilemparkan Renata kepada Olivia. Olivia yang mendapatkan serangan mendadak jelas tidak sempat menghindar. Bantal tersebut mengenai wajahnya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang mengenai nakas. "Aduh..." ringis Olivia. Mengusap tubuh bagian belakangnya. Netra Olivia memerah, memandang tajam ke arah Renata. Bila situasi saat ini digambarkan dalam karakter animasi, maka di atas kepala Olivia sudah terdapat tanduk berwarna merah menyerupai banteng. Olivia mengambil bantal tersebut. Masih dengan mimik muka garangnya Olivia terus memandangi Renata. Mendekati sang madu dan membalas perbuatannya jauh lebih