"Katakan bahwa ini semua tidak benar, Mas!" sentak Renata.
"Sayangnya ini semua benar. Ya kan, Dirgantara?" ucap Nyonya Esme sinis. "Baby, kamu jahat ya! Apa aku dan Kak Renata masih kurang untukmu, hah?" amuk Olivia memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Bukan begitu, Liv. Aku terpaksa menikahi gadis ini. Kami berdua diarak dan dinikahkan paksa di balai desa," ucap Tuan Dirgantara. "Kalian berdua berzina, hah?" amuk Renata kian menjadi-jadi. Ikut memukuli dada bidang Tuan Dirgantara. "Tidak. Semuanya hanya salah paham. Dia menolongku, tapi warga malah mengira kami berbuat mesum," jelas Tuan Dirgantara. "Omong kosong macam apa ini?" ucap Olivia tidak percaya. "Bohong! Kamu pasti sedang mengarang cerita kan, Mas?" tebas Renata. Tawa sumbang menghiasi wajahnya. "Sumpah, Re, Liv. Mana mungkin aku membohongi kalian berdua," ucap Tuan Dirgantara frustasi. Renata dan Olivia tidak hentinya mengamuk dan memukuli dada Tuan Dirgantara. Pria dewasa yang sedang berbaring di atas brankar itu sempat meringis kesakitan akibat pukulan Renata meleset mengenai perutnya. "Sudah, hentikan! Kalian mau membunuh putraku, hah?" sentak Nyonya Esme. "Ma! Mas Dirga sudah keterlaluan. Mama tidak bisa membelanya seperti ini," kesal Renata. "Sudahlah, Baby. Jujur saja kalau kamu sudah bosan dengan kami dan ingin mencari daun muda. Iya, kan?" sentak Olivia. "Tidak, Re, Liv. Ayolah, percaya padaku," pinta Tuan Dirgantara. Meraih jemari kedua istrinya, Tuan Dirgantara berusaha membujuk Renata dan Olivia. "Ish... Nggak usah pegang-pegang," sentak keduanya bersamaan. "Ayolah, jangan merajuk! Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Sumpah!""Yasudah begini saja, kamu ceraikan dia, Baby. Gampang kan?" ucap Olivia. "Nah, benar itu. Ayo tunggu apalagi, cepat talak dia, Mas!" desak Renata. "Tidak, aku tidak setuju! Dirga, kalau sampai kamu berani menceraikan Ava, maka kalian semua harus angkat kaki dari mansion!" ancam Nyonya Esme. "Tidak masalah, Ma. Mas Dirga pasti bisa memberikan tempat tinggal untuk kami semewah mansion milik Mama itu," ucap Renata tidak mau kalah. Sontak, Nyonya Esme tertawa sumbang. "Ha ha ha... Mimpi kamu. Memangnya Dirgantara punya apa, hah?""Dirga, kamu tidak lupa kan kalau aset mendiang Papamu diberikan kepada siapa? Ingat, aset itu hanya dititipkan sementara kepadamu," peringat Nyonya Esme. Renata dan Olivia menghentakkan kakinya dengan kesal. Raut wajah mereka suram seketika. Ada kekesalan yang ditahan, sebab pembahasan Nyonya Esme sama sekali tidak menyenangkan. 'Sial! Si tua bangka itu terus-terusan mengingatkan masalah ahli waris,' batin Olivia menggerutu. "Tapi, Mas Dirga juga berhak mendapatkan aset itu, Ma. Selama ini Mas Dirga yang mengembangkan bisnis peninggalan Papa. Tidak mungkin dong hasil kerja keras Mas Dirga selama ini sia-sia," sahut Olivia. "Ya jelas tidak sia-sia dong, Liv. Dirgantara kan juga berhak mendapatkan haknya sebesar 50%. Ya, tapi dengan syarat yang ditentukan itu tadi. Dirgantara bisa memiliki haknya setelah 50% aset lainnya diberikan kepada penerusnya," ucap Nyonya Esme. "Sudahlah, Re, Liv. Kalian kan sudah tahu masalah itu. Untuk apa harus dibahas berulang kali sih?" kesal Tuan Dirgantara. "Ya intinya biar kamu tidak menikah lagi dan mendapatkan hakmu itu, Mas. Masa begitu saja tidak mengerti," kesal Renata. "Kalau kamu tidak mau Dirgantara menikah lagi, lahirkan anak untuk Dirgantara secepatnya!" sarkas Nyonya Esme. "Mama mengejekku karena tidak bisa memiliki anak, iya?" sengit Renata. "Loh, siapa yang mengejek sih, Re. Kan aturannya memang seperti itu. Dirgantara harus mendapatkan keturunan agar dia bisa memiliki 50% bagiannya itu. Masa begitu saja kamu tidak paham dan harus dijelaskan berulang kali sih," dengkus Nyonya Esme."Sudah... Sudah... Lebih baik kalian semua pulang. Biar Max yang menjagaku di sini. Kepalaku mau pecah rasanya mendengarkan perdebatan ini," keluh Tuan Dirgantara. "Max juga harus ikut pulang!" perintah Nyonya Esme. "Tapi bagaimana dengan Tuan Dirgantara, Nyonya?" tanya Max. "Biar Ava yang merawat Dirgantara," ucap Nyonya Esme. "A-aku, Nyonya?" tunjuk Ahava pada dirinya sendiri. "Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mendapatkan hati Dirgantara," bisik Nyonya Esme. ***"Arghhh... Sialan, brengsek!" amuk Renata. "Tenanglah, Kak. Kamu pikir aku juga tidak kesal dengan si tua bangka itu?" ucap Olivia. "Sialan memang. Yang dibahas si tua bangka selalu saja soal pewaris dan pewaris. Kamu juga, kenapa sudah dua tahun menikah belum juga hamil, hah?" sentak Renata. "Ya sabar, Kak. Memang belum dikasih kok. Kak Re sendiri kan tahu kalau aku tidak ada masalah. Mungkin memang Mas Dirganya saja yang mandul," kesal Olivia. "Mulutmu itu. Sembarangan saja kalau ngomong."Drttt... Drttt... "Ya?""........""Oke. Aku ke sana sekarang juga.""Kak Re, aku harus pergi dulu.""Mau ke mana kamu? Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering keluar rumah," curiga Renata. "Biasalah, Kak. Teman arisanku mengajak bertemu. Bye, Kak."Olivia melenggang begitu saja, membuat Renata semakin kesal saja. "Brengsek memang anak itu. Sudah tahu situasinya sedang panas begini. Bisa-bisanya dia bersenang-senang dengan teman-temannya," kesal Renata. "Percuma saja aku masukkan bocah sialan itu di dalam rumah tanggaku kalau sampai saat ini tidak hamil-hamil juga. Bisa-bisa semua harta ini akan dikuasai Ava. Arghhh, brengsek!" amuk Renata semakin menjadi-jadi. Membuangi kosmetik di meja rias hingga berserakan di atas lantai.***"Nyonya, kau tidak lupa dengan bagianku kan?""Cih, dasar mata duitan!""Ayolah, Nyonya. Tuan Dirgantara bisa menikah dengan Ava juga karena aku yang memperlancar semuanya. Jangan lupakan itu.""Ambil bagianmu dan cepat angkat kaki dari rumahku!"Satu gepok ratusan ribu dilemparkan. Netra Bibi Belinda kian berbinar-binar ketika menangkap lembaran merah itu. Membuang Ahava dari hidupnya benar-benar sesuatu yang menguntungkan. Tidak hanya mendapatkan uang puluhan juta, aset yang mendiang orangtua Ahava punya juga sebentar lagi pasti akan menjadi miliknya. Bibi Belinda yakin itu."Bagaimana, Sayang? Kamu mendapatkan uangnya?" tanya Paman Frank penuh harap. "Jelas dong, Sayang." Bibi Belinda mengulum senyum semringah. Memamerkan segepok uang ratusan ribu di depan mata Paman Frank, membuat netra pria paruh baya itu hijau seketika. Mengambil segepok uang, Paman Frank menciumi bau harum dari uang tersebut. "Gila, Sayang. Uangnya banyak sekali. Ayo, kita hitung!" ucap Paman Frank antusias. "Tidak usah dihitung. Aku sudah tahu jumlahnya. Ada lima puluh juta, Sayang. Aku yang meminta nominal itu."Paman Frank mencolek dagu Bibi Belinda. "Ah, kamu memang pandai kalau soal uang, Sayang.""Tahu menguntungkan begini, sudah aku buang Ava dari dulu," imbuh Paman Frank. "Ava di sini juga menguntungkan buat kita, Sayang. Jangan lupakan jasanya sebagai babu di rumah ini," kekeh Bibi Belinda. "Tapi kan lebih menguntungkan Ava pergi dari rumah ini, Sayang. Selain kita mendapatkan puluhan juta, aset mendiang Kakakku pasti sebentar lagi akan menjadi milikku.""Sudah pasti itu, Sayang. Kita harus segera mengurusnya agar aset-aset itu berbalik atas namamu.""Ah, rasanya aku sudah tidak sabar menjadi orang paling kaya di desa ini.""Sama, Sayang. Aku juga tidak sabar," ucap Bibi Belinda antusias. "Bahagia sekali rasanya tertawa di atas penderitaan bocah sialan itu.""Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Ava ke depannya. Pasti jauh lebih tersiksa daripada di rumah ini," kekeh Bibi Belinda. "Ya, kamu benar, Sayang. Hidup di dalam keluarga konglomerat tidak akan semudah itu. Aku yakin kedua istri Tuan Dirgantara akan menyiksa Ava di sana. Ha ha ha..."***"Tuan, mau makan buah? Aku kupaskan apel ya?" tawar Ahava. "Tidak usah sok baik kamu. Kamu pikir aku tidak tahu akal bulusmu, hah?" sentak Tuan Dirgantara. "Maksudnya?" tanya Ahava sama sekali tidak mengerti. "Ha ha ha... Sekarang berlaga sok polos kamu ya. Dasar menjijikkan," umpat Tuan Dirgantara. "Maksud Tuan apa? Aku benar-benar tidak mengerti.""Kamu pasti senang kan menjadi istriku? Dengan begitu kamu bisa menguasai 50% aset kekayaan keluargaku.""Senang? Ha ha ha... Yang benar saja." Ahava tertawa miris. "Asal Tuan tahu, pernikahan ini sama sekali bukan impianku. Kalau boleh memilih, lebih baik hidup miskin dengan pria yang aku cintai daripada menjadi istri ketiga dari pria kaya sepertimu. Kamu pikir aku tidak akan tertekan hidup bersama dua orang istrimu itu, Tuan Dirgantara yang terhormat?" ucap Ahava bernada tinggi. Terdengar getar yang menggema di suaranya. Dada kembang kempis, ada letupan kekesalan yang sedari tadi Ahava tahan. Entah mengapa keberanian itu muncul begitu saja. Unek-unek yang Ahava simpan akhirnya dia keluarkan juga. Bukan hanya Tuan Dirgantara dan kedua istrinya yang tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Ahava pun sama. Dia sama sekali tidak ingin berada di situasi yang sulit seperti ini. Berada diantara kedua istri Tuan Dirgantara bukanlah suatu hal yang mudah untuk Ahava. Wanita mana yang rela berbagi suami. Terlebih dibagi tiga dengan dirinya. Yang paling membuat Ahava jengkel, dia dianggap senang bisa masuk ke dalam rumah tangga yang berisi dua wanita lain di dalamnya. Apalagi, dituduh ingin menguasai 50% aset kekayaan keluarga sang juragan. Sangat-sangat membuat Ahava jengkel setengah mati. "Bulshit! Siapa yang tidak mau menjadi istriku, hah? Bahkan di luaran sana banyak wanita yang terang-terangan menggodaku agar bisa menjadi istriku.""Jangan samakan semua wanita dengan pemikiranmu itu, Tuan! Aku sama sekali tidak sama seperti mereka.""Halah, omong kosong. Pasti sekarang kamu sedang memainkan peran agar aku tertarik padamu kan? Sorry... Gadis desa sepertimu sama sekali tidak menarik di mataku."Kekesalan Ahava semakin tidak bisa dikendalikan. Gadis lembut dan baik hati bisa menjadi garang seketika hatinya disakiti oleh seorang pria, terlebih suaminya sendiri. Netra tajam keduanya saling beradu. Menyorot rasa tidak suka satu sama lain. "Baiklah, kalau begitu talak aku sekarang juga!" tantang Ahava. "Aku juga tidak mau menjadi istri dari pria angkuh sepertimu!" imbuh Ahava.Mendengar ucapan istri barunya, perut Tuan Dirgantara serasa dikocok. Tuan Dirgantara mengumbar tawa sumbang. Baru kali ini ada seorang wanita yang menginjak harga dirinya. Merendahkan secara terang-terangan. "Yakin mau pergi dari kehidupanku?" sinis Tuan Dirgantara. "Bukankah kamu yang tidak sudi hidup bersama gadis kampung sepertiku?""Ya, mana sudi aku hidup bersamamu. Melihat penampilan kampunganmu saja membuatku mual," sarkas Tuan Dirgantara. "Kalau begitu marilah kita akhiri semua ini dengan cara baik-baik," putus Ahava. "Tidak! Kamu terlanjur masuk dalam kehidupanku, maka lahirkan anak untukku. Setelahnya aku akan membebaskanmu. Mari kita buat kontrak perjanjian!"Netra Ahava terbelalak. Telinganya mencoba mencerna apa yang dikatakan Tuan Dirgantara. Dasar pria sinting! Ahava sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir tuan besar satu ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan ikatan suci pernikahan? "Apa kamu pikir aku mesin pencetak anak, hah?" kesal Ahava. "Ya, anggap saja
Tangan kekar Tuan Dirgantara merangkul pinggul Ahava. Bahkan sampai merapatkan tubuh mereka untuk saling menempel. Ahava bisa merasakan napas Tuan Dirgantara menyapu permukaan kulit wajahnya.Jemari kokoh Tuan Dirgantara mengusap pipi halus Ahava dengan sensual. Rasa takut kian menyergap. Sekujur tubuh Ahava dibuat meremang sekaligus gemetar di waktu bersamaan. "Rileks, Sayangku. Jangan tegang begitu dong. Sebentar lagi kamu akan merasakan surga dunia," kekeh Tuan Dirgantara. "Tidak mau! Aaa... Lepaskan aku!"Ahava kembali mendorong dada Tuan Dirgantara. Berusaha sekeras mungkin mengenyahkan tubuh besar itu dari atasnya. Lagi-lagi, Tuan Dirgantara tidak bergeming sama sekali. Tuan Dirgantara menarik sudut bibirnya ke atas. Pemberontakan yang dilakukan Ahava membuat Tuan Dirgantara merasa tertantang. "Mau berontak, hmm? Dasar kucing nakal!"Tubuh Ahava semakin bergetar tatkala Tuan Dirgantara menyapu permukaan lehernya. Pria dewasa itu menyunggingkan senyum sinisnya. Seolah merasa
"Ambillah kembali uangku di rumah Frank dan Belinda. Nominalnya lima puluh juta. Jangan sampai ada yang kurang.""Baik, Nyonya."'Dasar bodoh! Kalian berdua hanya aku peralat untuk melancarkan tujuanku. Mana sudi aku memberikan hartaku pada manusia serakah seperti kalian.'***Wajah wanita paruh baya itu kian memucat. Segepok uang yang baru saja didapatkannya lenyap dari tempat persembunyian. Padahal Bibi Belinda sangat yakin tidak salah menaruhnya. Bibi Belinda tergopoh menghampiri Paman Frank. "Sayang, kamu mengambil uang simpanan kita?" tanya Bibi Belinda. Lebih kepada sebuah tuduhan."Tidak, Sayang," balas Paman Frank."Bohong!" sentak Bibi Belinda."Buat apa aku bohong. Bukankah kamu yang menyimpannya?" Paman Frank balik bertanya. Tampak kesal karena dituduh.Bibi Belinda menghembuskan napas kasar. Seolah melepaskan amarah yang sempat diledakkan pada suaminya. "Tidak ada di lemari, Sayang. Aku kira kamu yang membawanya.""Tidak. Mungkin keselip. Ayo, kita cari!"Bibi Belinda dan
"Sayang..."Dipeluknya sang kekasih hati. Segala resah yang sempat membuatnya tidak bisa tidur semalaman, akhirnya terjawab sudah. Suaminya baik-baik saja. Bahkan, pagi ini Tuan Dirgantara tampak lebih bugar. Wajahnya pun tampak berseri. "Wajahmu cerah sekali," ucap Renata. Mengusap halus rahang tegas Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mengulum senyuman. "Iya dong, kan sepagi ini dijenguk kesayangan."Dengan jahilnya, Tuan Dirgantara mendorong wajah Renata maju ke depan. Mengecup bibir ranum wanitanya penuh cinta. Renata melotot. Wajahnya bersemu merah. Tidak menduga diberikan kejutan manis yang selalu disukainya. "Sayang, kamu nakal ya..." Renata memukul pelan dada Tuan Dirgantara. Sementara Tuan Dirgantara hanya terkekeh. "Sini!" Tuan Dirgantara menggeser tubuhnya. Menepuk sisi kosong pada brankarnya. "Nggak muat ih.""Muat. Ayolah, aku pengen tidur dipeluk kamu," rengek Tuan Dirgantara. "Ini udah pagi, Sayang. Waktunya bangun, bukan tidur.""Masa bodoh. Ayo, cepat!" paksa Tuan
Tiga hari sudah Tuan Dirgantara dirawat di Internasional Hospital. Kini, dia sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat. Sepanjang lorong Internasional Hospital, Renata dan Olivia terus menggandeng tangan Tuan Dirgantara. Ahava sama sekali tidak diizinkan menyentuh suami mereka. Jangankan menyentuh, berdekatan saja tidak boleh. Renata juga sangat membatasi interaksi diantara keduanya. Max melambatkan langkahnya. Menyejajari langkah Ahava yang berjalan di belakang suami dan kakak madunya. Entah mengapa Max menjadi sangat iba kepada Ahava. "Nona tidak apa-apakan?" tanya Max. Ahava mengulum senyumnya. Menggelengkan kepala pelan. Tidak mengerti maksud Max. "Memangnya aku kenapa, Max?""Barangkali Nona cemburu melihat Tuan dan kedua istrinya."Ahava tertawa pelan. "Ha ha ha... Aku sama sekali tidak cemburu, Max. Memangnya siapa aku boleh cemburu?""Ya, Nona kan istri Tuan.""Aku hanya sebatas istri di atas telapak tangan saja, Max. Bahkan, bil
Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
Sepanjang perjalanan menuju paviliun Ahava terus menggerutu. Tampaknya dia terlalu kesal karena satu minggu ke depan waktunya akan tersita bersama suami yang kerjaannya hanya marah-marah saja kepadanya. Sampai di dapur pun Ahava masih menggerutu. Bibirnya monyong-monyong sejauh 5cm. Ahava terlalu sibuk dengan kekesalannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok pria gagah yang berdiri di belakangnya. 'Sialan! Rupanya dia mengumpatiku. Lihat saja nanti!' batin Tuan Dirgantara kesal. Grep! Ahava tersentak saat sepasang jemari besar melingkar di depan perutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, didapatinya wajah tampan Tuan Dirgantara. Pria dewasa itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma kesegaran buah yang berasal dari rambut istri ketiganya. "Tu-Tuan?" gugup Ahava. Saking gugupnya, lulutnya jadi gemetaran. Istri ketiga sang juragan berusaha menyingkirkan sepasang tangan besar Tuan Dirgantara. Bukannya terlepas, justru semakin mengencang saja. Ahava sampai frustasi sekaligus k
"Berikan aku lima puluh juta lagi atau rahasiamu akan kubongkar, Nyonya!" ancam Bibi Belinda pada sambungan telepon. "Dengar ya, Belinda! Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah mengancamku atau akan kubuat hidupmu tidak tenang!" balasnya balik mengancam Bibi Belinda. Tut... Tut... "Sialan!" geram Bibi Belinda. Semenjak kehilangan uang lima puluh jutanya, Bibi Belinda hampir gila rasanya. Sudah uangnya raib, rumah tangganya pun jadi bermasalah.Paman Frank memang sudah kembali ke rumah, tetapi selama berada di rumah dia selalu acuh pada Bibi Belinda. Jelas saja, Paman Frank masih kesal pada Bibi Belinda. Apalagi, kalau bukan perkara Bibi Belinda yang menyebabkan Ivy-anak semata wayangnya keluar dari rumah. Sebab kekesalannya itu, Paman Frank tidak lagi memberikan uang kepada sang istri. Paman Frank justru menggunakan gajinya untuk menghidupi Ivy yang tinggal di kota sebelah. "Sayang..." panggil Bibi Belinda mendayu-dayu.Bibi Belinda berusaha merayu Paman Frank agar mendapatkan