"Ambillah kembali uangku di rumah Frank dan Belinda. Nominalnya lima puluh juta. Jangan sampai ada yang kurang.""Baik, Nyonya."'Dasar bodoh! Kalian berdua hanya aku peralat untuk melancarkan tujuanku. Mana sudi aku memberikan hartaku pada manusia serakah seperti kalian.'***Wajah wanita paruh baya itu kian memucat. Segepok uang yang baru saja didapatkannya lenyap dari tempat persembunyian. Padahal Bibi Belinda sangat yakin tidak salah menaruhnya. Bibi Belinda tergopoh menghampiri Paman Frank. "Sayang, kamu mengambil uang simpanan kita?" tanya Bibi Belinda. Lebih kepada sebuah tuduhan."Tidak, Sayang," balas Paman Frank."Bohong!" sentak Bibi Belinda."Buat apa aku bohong. Bukankah kamu yang menyimpannya?" Paman Frank balik bertanya. Tampak kesal karena dituduh.Bibi Belinda menghembuskan napas kasar. Seolah melepaskan amarah yang sempat diledakkan pada suaminya. "Tidak ada di lemari, Sayang. Aku kira kamu yang membawanya.""Tidak. Mungkin keselip. Ayo, kita cari!"Bibi Belinda dan
"Sayang..."Dipeluknya sang kekasih hati. Segala resah yang sempat membuatnya tidak bisa tidur semalaman, akhirnya terjawab sudah. Suaminya baik-baik saja. Bahkan, pagi ini Tuan Dirgantara tampak lebih bugar. Wajahnya pun tampak berseri. "Wajahmu cerah sekali," ucap Renata. Mengusap halus rahang tegas Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mengulum senyuman. "Iya dong, kan sepagi ini dijenguk kesayangan."Dengan jahilnya, Tuan Dirgantara mendorong wajah Renata maju ke depan. Mengecup bibir ranum wanitanya penuh cinta. Renata melotot. Wajahnya bersemu merah. Tidak menduga diberikan kejutan manis yang selalu disukainya. "Sayang, kamu nakal ya..." Renata memukul pelan dada Tuan Dirgantara. Sementara Tuan Dirgantara hanya terkekeh. "Sini!" Tuan Dirgantara menggeser tubuhnya. Menepuk sisi kosong pada brankarnya. "Nggak muat ih.""Muat. Ayolah, aku pengen tidur dipeluk kamu," rengek Tuan Dirgantara. "Ini udah pagi, Sayang. Waktunya bangun, bukan tidur.""Masa bodoh. Ayo, cepat!" paksa Tuan
Tiga hari sudah Tuan Dirgantara dirawat di Internasional Hospital. Kini, dia sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat. Sepanjang lorong Internasional Hospital, Renata dan Olivia terus menggandeng tangan Tuan Dirgantara. Ahava sama sekali tidak diizinkan menyentuh suami mereka. Jangankan menyentuh, berdekatan saja tidak boleh. Renata juga sangat membatasi interaksi diantara keduanya. Max melambatkan langkahnya. Menyejajari langkah Ahava yang berjalan di belakang suami dan kakak madunya. Entah mengapa Max menjadi sangat iba kepada Ahava. "Nona tidak apa-apakan?" tanya Max. Ahava mengulum senyumnya. Menggelengkan kepala pelan. Tidak mengerti maksud Max. "Memangnya aku kenapa, Max?""Barangkali Nona cemburu melihat Tuan dan kedua istrinya."Ahava tertawa pelan. "Ha ha ha... Aku sama sekali tidak cemburu, Max. Memangnya siapa aku boleh cemburu?""Ya, Nona kan istri Tuan.""Aku hanya sebatas istri di atas telapak tangan saja, Max. Bahkan, bil
Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
Sepanjang perjalanan menuju paviliun Ahava terus menggerutu. Tampaknya dia terlalu kesal karena satu minggu ke depan waktunya akan tersita bersama suami yang kerjaannya hanya marah-marah saja kepadanya. Sampai di dapur pun Ahava masih menggerutu. Bibirnya monyong-monyong sejauh 5cm. Ahava terlalu sibuk dengan kekesalannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok pria gagah yang berdiri di belakangnya. 'Sialan! Rupanya dia mengumpatiku. Lihat saja nanti!' batin Tuan Dirgantara kesal. Grep! Ahava tersentak saat sepasang jemari besar melingkar di depan perutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, didapatinya wajah tampan Tuan Dirgantara. Pria dewasa itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma kesegaran buah yang berasal dari rambut istri ketiganya. "Tu-Tuan?" gugup Ahava. Saking gugupnya, lulutnya jadi gemetaran. Istri ketiga sang juragan berusaha menyingkirkan sepasang tangan besar Tuan Dirgantara. Bukannya terlepas, justru semakin mengencang saja. Ahava sampai frustasi sekaligus k
"Berikan aku lima puluh juta lagi atau rahasiamu akan kubongkar, Nyonya!" ancam Bibi Belinda pada sambungan telepon. "Dengar ya, Belinda! Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah mengancamku atau akan kubuat hidupmu tidak tenang!" balasnya balik mengancam Bibi Belinda. Tut... Tut... "Sialan!" geram Bibi Belinda. Semenjak kehilangan uang lima puluh jutanya, Bibi Belinda hampir gila rasanya. Sudah uangnya raib, rumah tangganya pun jadi bermasalah.Paman Frank memang sudah kembali ke rumah, tetapi selama berada di rumah dia selalu acuh pada Bibi Belinda. Jelas saja, Paman Frank masih kesal pada Bibi Belinda. Apalagi, kalau bukan perkara Bibi Belinda yang menyebabkan Ivy-anak semata wayangnya keluar dari rumah. Sebab kekesalannya itu, Paman Frank tidak lagi memberikan uang kepada sang istri. Paman Frank justru menggunakan gajinya untuk menghidupi Ivy yang tinggal di kota sebelah. "Sayang..." panggil Bibi Belinda mendayu-dayu.Bibi Belinda berusaha merayu Paman Frank agar mendapatkan
"Kak Re, apa kita akan jadi gelandangan setelah ini?" tanya Olivia berbisik. "Entahlah, Liv... Aku juga pusing memikirkan ini semua.""Coba bujuk Mas Dirga, Kak. Bagaimana pun jangan sampai kita keluar dari mansion. Ingat tujuan kita." Olivia merasa enggan bila harus meninggalkan kemegahan yang selama ini didapat. "Hmmm... Ya ya ya..." sahut Renata malas. Renata menggigit jari telunjuknya. Baru kali ini dia merasa gugup untuk sekedar berbicara dengan suaminya sendiri. Namun, rasa tak rela meninggalkan mansion keluarga Diningrat jauh lebih berat dari itu semua. "Mas, kamu yakin mau pergi dari mansion?" tanya Renata."Hmmm... Cepat kemasi barang-barangmu!""Memangnya kita mau tinggal di mana?""Apartemen.""Hah?" Renata melongo tak percaya. "Apartemenmu itu terlalu sempit untuk kita tinggali, Mas. Kamarnya saja hanya satu. Mana mungkin kita semua tinggal di sana.""Bisa tidak kalau berhenti mengoceh dan tidak membuatku bertambah pusing?" gertak Tuan Dirgantara. "Yasudah kalau mau
"Tuan, di luar banyak para pendemo," lapor Bella-sang sekretaris. "Shittt! Kenapa bisa terjadi?""Warga menolak tanah mereka dibeli, Tuan.""Brengsek! Bukankah kemarin sudah deal?""Hanya sebagian kecil yang sudah deal, Tuan. Sebagian besar dari mereka tidak mau menjual tanahnya.""Max!!!" panggil Tuan Dirgantara berteriak. "Ya, Tuan?""Atasi masalah ini, Max. Aku ingin mereka semua rela melepaskan tanahnya. Kalau pun terpaksa, buat penawaran dengan harga yang lebih tinggi dari kemarin. Pokoknya proyek ini harus berjalan sesuai rencana kita.""Baik, Tuan."Tuan Dirgantara memijat pelipisnya. Astaga... Hari masih pagi, tetapi kepalanya sudah pusing saja.Sementara itu, Max menemui warga yang melakukan unjuk rasa. Netra Max terbelalak seketika mendapati ratusan warga telah memadati depan gedung perkantoran. Max pikir hanya puluhan jumlahnya. Tidak tahu bila sampai sebanyak ini. "Shittt!!!" umpat Max. Mereka mendorong pagar dan mencoba untuk masuk ke dalam gedung. Parahnya, diantara