"Bangun, Ahava! Kau tak boleh mati, bodoh!" sentak Tuan Dirgantara, terus menguncang sosok di balik kain putih bersih. Berharap sosok tersebut hanya sekedar pingsan semata, kemudian akan kembali tersadar. Namun, wajahnya pucat, tubuhnya kaku, disertai kulit yang semakin lama berubah menjadi dingin. Beberapa waktu lalu, dokter menyatakan bahwa istri ketiganya telah berpulang ke sisi Tuhan. "Arghhh, brengsekkk! Bahkan menjaga istrimu sendiri saja kau tak becus. Lihatlah, betapa bodohnya dirimu hingga dia mati dengan cara mengenaskan. Huhuhu..."Bahu sang juragan bergetar hebat. Pria arogan dan terkenal kejam menjatuhkan bulir air matanya. Tidak pernah Tuan Dirgantara menangis, kecuali disaat dia merasa dunia tidak adil kepadanya. Baru satu minggu dia memiliki seorang istri yang bisa diajaknya berdebat dan adu mulut. Bahkan, baru semalam dia merayu istrinya agar bersedia melewatkan malam panas bersama. Sekarang apa yang didapatkannya? Hanya tubuh kaku nan pucat tergeletak di kamar jen
Mungkin di dalam hatinya memang belum ada rasa cinta, tapi melihat wanitanya tergeletak tanpa daya dengan alat bantu medis membuat dadanya terasa sangat sesak. Terlebih penjelasan dari dokter sangat mengganggu pikirannya. Ahava-nya mengalami patah tulang serius. Beberapa bulan ke depan kakinya tidak dapat berfungsi secara normal. Tergambar jelas raut wajah penuh kekhawatiran sekaligus kepedihan. Memang benar Ahava-nya dapat diselamatkan, tetapi apakah gadis dua puluh tahun itu mampu menerima kondisinya saat ini? Wajah yang sedari tadi suram hanya tertunduk, menatap punggung tangan sang wanita yang tertancap selang infus. Dikecupinya punggung tangan itu berulang kali. Rasa bersalah kian merebak dalam sanubari. Mengakui pada diri sendiri bahwa dirinya tidak mampu menjalankan peran sebagai seorang suami dengan baik. Seharusnya dia bisa menjadi perisai bagi keluarga kecilnya."Maafkan aku, Ahava. Maaf..." lirihnya, tampak begitu pilu. Nyonya Esme mengusap bahu sang putra dengan begit
Olivia baru saja tiba. Dia begitu terkejut mendapati seisi kamar yang berubah menjadi porakporanda seperti habis terkena gempa. "Astaga... Kenapa bisa berantakan begini sih, Kak?" tanya Olivia. "Diamlah!" bentak Renata. "Santai dong! Ditanya baik-baik juga," kesal Olivia. "Pantas saja cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah sih," sindir Olivia kemudian. Bugh! Satu buah bantal dilemparkan Renata kepada Olivia. Olivia yang mendapatkan serangan mendadak jelas tidak sempat menghindar. Bantal tersebut mengenai wajahnya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang mengenai nakas. "Aduh..." ringis Olivia. Mengusap tubuh bagian belakangnya. Netra Olivia memerah, memandang tajam ke arah Renata. Bila situasi saat ini digambarkan dalam karakter animasi, maka di atas kepala Olivia sudah terdapat tanduk berwarna merah menyerupai banteng. Olivia mengambil bantal tersebut. Masih dengan mimik muka garangnya Olivia terus memandangi Renata. Mendekati sang madu dan membalas perbuatannya jauh lebih
Renata mencegat taksi. Mengikuti mobil Tuan Dirgantara dari belakang. Rasa penasarannya terlalu tinggi. Akan dibawa ke mana adik madunya itu? "Kenapa yang dibawa pergi hanya Livia saja? Kenapa Mas Dirga justru mengacuhkanku?"Kening Renata mengerut mendapati sang suami membawa Olivia ke rumah sakit. "Kenapa Livia dibawa ke rumah sakit?""Mas, Livia kenapa?" tanya Renata begitu Tuan Dirgantara usai mengantarkan Olivia ke ruang pemeriksaan. Tuan Dirgantara menatap Renata begitu tajam. Kilat amarah memancar di mata sang juragan. "Livia sakit, Renata. Dasar tolol! Kamu itu tinggal berdua dengannya. Kenapa bisa tidak tahu?" maki Tuan Dirgantara. Renata membekap mulutnya. Netranya tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka kalau suami yang begitu mencintainya memaki-maki dirinya di depan umum. "Ta-tadi Olivia sehat, Mas. A-aku tidak tahu kalau dia sakit," ucap Renata dengan nada bergetar menahan tangis. "Dasarnya saja kamu yang tidak peduli dengannya. Sampai Livia sekarat pun mungkin kamu j
Awan menggelayut hitam di langit, tampaknya hujan akan segera datang. Benar saja, tidak lama kemudian rintik hujan membasahi tanah yang gersang. Di bawah guyuran air hujan, Renata terus saja berlari tanpa arah. Dada kembang kempis menahan letupan amarah yang dirasa sangat menyesakkan. Laut tak selamanya tenang. Pastilah badai akan datang menghantam. Pun sama halnya dengan biduk rumah tangga yang dijalaninya. Delapan tahun sudah Renata menjalani biduk rumah tangga bersama Tuan Dirgantara. Berbagai macam badai telah mereka lalui bersama, tapi tidak sedikitpun memadamkan percikan asmara diantara keduanya. Namun, hari ini semuanya terasa berbeda. Renata merasakan cinta Tuan Dirgantara untuknya semakin mengikis. Entah dibagi untuk Olivia, Ahava, atau justru keduanya. Katakanlah Renata teramat egois, sebab hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati Tuan Dirgantara.Renata rasanya tidak sanggup mendapati kenyataan cinta Tuan Dirgantara telah terbagi, tapi itulah kenyat
'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se