'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se
"Di depan ada ribut-ribut ya?" kepo salah seorang pelayan. "Emm... Tuan dan Nyonya besar sedang terlibat pertengkaran," balas pelayan lainnya. "Hah, yang benar?" ucapnya tak percaya. "Lihat saja sendiri kalau tidak percaya.""Nggak ah, sayang nyawaku. Bisa digorok sama Nyonya besar nanti kalau ketahuan kepo.""Tahu nggak apa penyebabnya?" ujarnya mulai julid. "Apa memangnya?""Nona Ava.""Hust... Jangan ngawur kalau bicara! Bisa kena hukum kamu kalau Nyonya besar tahu.""Serius, aku ndak bohong. Ini semua memang karena Nona Ava. Sebelum Nona ada di sini, apa pernah Tuan dan Nyonya besar bertengkar sampai melibatkan bodyguard? Endak to? Palingan juga adu mulut aja," ucapnya sembari melirik sana sini, takut ada yang mendengar ucapannya. Mendengar kasak-kusuk dari beberapa pelayan, Ahava menjalankan laju kursi rodanya. Menatap nanar pertengkaran ibu dan anak itu dari kaca jendela kamarnya. Netra Ahava memanas. Merasa sedih sekaligus teramat kecewa pada diri sendiri. Karenanya, hubun
"Liv, tolong tanda tangani berkas ini!""Apa itu, Baby?""Lembar persetujuan untuk mengesahkan pernikahanku dengan Ava," jawab Tuan Dirgantara terlampau jujur. "Kenapa harus disahkan segala? Kamu mencintainya?" selidik Olivia. Tuan Dirgantara menggaruk tengkuknya, merasa salah tingkah seketika. Lantas, dia segera menguasai keadaan. "Bukan itu. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Mama."Olivia mengetuk-ketukkan telunjuk di dagunya. Menimbang baik dan buruknya bila memberi persetujuan. "Apa yang akan kudapat kalau menyetujuinya?" tanya Olivia mencoba bernegosiasi. "Apa saja yang kau mau akan kukabulkan, Baby."Nah, ini yang Olivia suka dari suaminya. Kalau begini kan tidak ada yang dirugikan, win win solution istilahnya. "Baiklah, berhubung kita tidak lagi tinggal di mansion, jadi aku minta dibelikan rumah dua lantai. Ingat, atas namaku!""Oh ya, aku juga tidak mau kalau nantinya rumah itu ditinggali oleh kedua istrimu yang lain.""Oke. Apapun untukmu, Baby."Benar bukan pemikiran
"Bagaimana Mas, apa sudah dapat rumahnya?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Ya, aku juga sudah menyelesaikan pembayarannya. Kamu tinggal tandatangani saja akta jual belinya.""Aaaa... Thank u, Sayangku... Kamu memang terbaik." Sorak riang Renata. "Besok mau temani aku ke sana?" tanyanya kemudian. "Ke sanalah sendiri, Re. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal.""Baiklah... Baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Sayang.""Sudah ya, aku kerja dulu.""Hm... Byee, Sayangku..."Tersenyum kecut, Tuan Dirgantara merasa tak ubahnya seperti seekor rubah licik. "Sorry, Re. Caraku mungkin memang terlalu licik dan kamu akan kecewa kalau tahu, tapi aku tidak punya cara lain lagi."***"Hai, Re... Lama tidak bertemu ya?" sapa Antony ramah. "Iya juga ya... Aku baru tahu loh kalau seorang CEO sepertimu turun langsung mengurusi customernya.""Spesial karena kamu istri temanku."Setelah 30 menit berkendara, akhirnya keduanya sampai di rumah baru Renata. "Nah, ini dia rumahnya. Apa kamu suka?"Renata
Bruk! Satu tas besar berisi baju dilemparkan Ivy tepat di depan mata Ahava. Tangan terulur ke depan, meraih tas berisi pakaian. Dadanya terasa sesak, air mata pun luruh. 'Haruskah aku pergi meninggalkan rumah beserta seluruh kenangannya di sini, Ma, Pa?' batin Ahava menjerit. "Sudah sana pergi!" Bibi Belinda menendang tubuh Ahava, mengusirnya secara kejam.Menyeka air mata sekaligus mencoba untuk tersenyum meski hatinya terasa sangat sakit. Bangkit berdiri kemudian beranjak pergi. Ahava berusaha setegar mungkin menerima perlakuan Paman dan Bibinya. Berselimutkan dinginnya angin malam, Ahava terduduk di sepanjang trotoar. Memeluk tas erat-erat sebagai bantalan untuk kepalanya bersandar. Rasa perih mulai menggerogoti perut Ahava. Sedari pagi perutnya memang belum terisi sesuap nasi pun. Paman Frank dan Bibi Belinda memang selalu begitu. Tidak akan mengizinkan Ahava makan bila pekerjaan rumah belum selesai. Ketika pekerjaan rumah selesai dan Ahava hampir menelan sesuap nasi, Martin
Rembulan merangkak, malam kian bertambah malam. Dua insan anak manusia berjalan di bawah pekatnya malam. Sedari tadi keduanya hanya menyusuri jalanan desa, tanpa arah tanpa tujuan. Mulut terkatup sempurna. Baik Ahava maupun Tuan Dirgantara sama sekali tidak membuka suara sekedar membahas tujuan selanjutnya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali suara burung gagak mengisi kesunyian malam, menjadikan sunyi malam kian mencekam. Tuan Dirgantara meringis. Luka sayatan di area perutnya kian terasa nyeri akibat dibawa berjalan sedari tadi. Menunduk dan memegangi area perut yang terasa kian sakit, Tuan Dirgantara hampir saja limbung akibat tidak kuasa menahan rasa sakit. "Astaga, Tuan!" pekik Ahava. Ahava menahan lengan Tuan Dirgantara. Susah payah Ahava membawa tubuh kekar dan berat itu ke trotoar. Mendudukkannya di sana. "Maafkan aku, Tuan. Aku hampir saja lupa kalau kamu sedang terluka. Pasti sangat sakit ya dibawa berjalan sedari tadi?""Sudah tahu tanya," ketus Tuan D