Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
Sepanjang perjalanan menuju paviliun Ahava terus menggerutu. Tampaknya dia terlalu kesal karena satu minggu ke depan waktunya akan tersita bersama suami yang kerjaannya hanya marah-marah saja kepadanya. Sampai di dapur pun Ahava masih menggerutu. Bibirnya monyong-monyong sejauh 5cm. Ahava terlalu sibuk dengan kekesalannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok pria gagah yang berdiri di belakangnya. 'Sialan! Rupanya dia mengumpatiku. Lihat saja nanti!' batin Tuan Dirgantara kesal. Grep! Ahava tersentak saat sepasang jemari besar melingkar di depan perutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, didapatinya wajah tampan Tuan Dirgantara. Pria dewasa itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma kesegaran buah yang berasal dari rambut istri ketiganya. "Tu-Tuan?" gugup Ahava. Saking gugupnya, lulutnya jadi gemetaran. Istri ketiga sang juragan berusaha menyingkirkan sepasang tangan besar Tuan Dirgantara. Bukannya terlepas, justru semakin mengencang saja. Ahava sampai frustasi sekaligus k
"Berikan aku lima puluh juta lagi atau rahasiamu akan kubongkar, Nyonya!" ancam Bibi Belinda pada sambungan telepon. "Dengar ya, Belinda! Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah mengancamku atau akan kubuat hidupmu tidak tenang!" balasnya balik mengancam Bibi Belinda. Tut... Tut... "Sialan!" geram Bibi Belinda. Semenjak kehilangan uang lima puluh jutanya, Bibi Belinda hampir gila rasanya. Sudah uangnya raib, rumah tangganya pun jadi bermasalah.Paman Frank memang sudah kembali ke rumah, tetapi selama berada di rumah dia selalu acuh pada Bibi Belinda. Jelas saja, Paman Frank masih kesal pada Bibi Belinda. Apalagi, kalau bukan perkara Bibi Belinda yang menyebabkan Ivy-anak semata wayangnya keluar dari rumah. Sebab kekesalannya itu, Paman Frank tidak lagi memberikan uang kepada sang istri. Paman Frank justru menggunakan gajinya untuk menghidupi Ivy yang tinggal di kota sebelah. "Sayang..." panggil Bibi Belinda mendayu-dayu.Bibi Belinda berusaha merayu Paman Frank agar mendapatkan
"Kak Re, apa kita akan jadi gelandangan setelah ini?" tanya Olivia berbisik. "Entahlah, Liv... Aku juga pusing memikirkan ini semua.""Coba bujuk Mas Dirga, Kak. Bagaimana pun jangan sampai kita keluar dari mansion. Ingat tujuan kita." Olivia merasa enggan bila harus meninggalkan kemegahan yang selama ini didapat. "Hmmm... Ya ya ya..." sahut Renata malas. Renata menggigit jari telunjuknya. Baru kali ini dia merasa gugup untuk sekedar berbicara dengan suaminya sendiri. Namun, rasa tak rela meninggalkan mansion keluarga Diningrat jauh lebih berat dari itu semua. "Mas, kamu yakin mau pergi dari mansion?" tanya Renata."Hmmm... Cepat kemasi barang-barangmu!""Memangnya kita mau tinggal di mana?""Apartemen.""Hah?" Renata melongo tak percaya. "Apartemenmu itu terlalu sempit untuk kita tinggali, Mas. Kamarnya saja hanya satu. Mana mungkin kita semua tinggal di sana.""Bisa tidak kalau berhenti mengoceh dan tidak membuatku bertambah pusing?" gertak Tuan Dirgantara. "Yasudah kalau mau
"Tuan, di luar banyak para pendemo," lapor Bella-sang sekretaris. "Shittt! Kenapa bisa terjadi?""Warga menolak tanah mereka dibeli, Tuan.""Brengsek! Bukankah kemarin sudah deal?""Hanya sebagian kecil yang sudah deal, Tuan. Sebagian besar dari mereka tidak mau menjual tanahnya.""Max!!!" panggil Tuan Dirgantara berteriak. "Ya, Tuan?""Atasi masalah ini, Max. Aku ingin mereka semua rela melepaskan tanahnya. Kalau pun terpaksa, buat penawaran dengan harga yang lebih tinggi dari kemarin. Pokoknya proyek ini harus berjalan sesuai rencana kita.""Baik, Tuan."Tuan Dirgantara memijat pelipisnya. Astaga... Hari masih pagi, tetapi kepalanya sudah pusing saja.Sementara itu, Max menemui warga yang melakukan unjuk rasa. Netra Max terbelalak seketika mendapati ratusan warga telah memadati depan gedung perkantoran. Max pikir hanya puluhan jumlahnya. Tidak tahu bila sampai sebanyak ini. "Shittt!!!" umpat Max. Mereka mendorong pagar dan mencoba untuk masuk ke dalam gedung. Parahnya, diantara
"Bangun, Ahava! Kau tak boleh mati, bodoh!" sentak Tuan Dirgantara, terus menguncang sosok di balik kain putih bersih. Berharap sosok tersebut hanya sekedar pingsan semata, kemudian akan kembali tersadar. Namun, wajahnya pucat, tubuhnya kaku, disertai kulit yang semakin lama berubah menjadi dingin. Beberapa waktu lalu, dokter menyatakan bahwa istri ketiganya telah berpulang ke sisi Tuhan. "Arghhh, brengsekkk! Bahkan menjaga istrimu sendiri saja kau tak becus. Lihatlah, betapa bodohnya dirimu hingga dia mati dengan cara mengenaskan. Huhuhu..."Bahu sang juragan bergetar hebat. Pria arogan dan terkenal kejam menjatuhkan bulir air matanya. Tidak pernah Tuan Dirgantara menangis, kecuali disaat dia merasa dunia tidak adil kepadanya. Baru satu minggu dia memiliki seorang istri yang bisa diajaknya berdebat dan adu mulut. Bahkan, baru semalam dia merayu istrinya agar bersedia melewatkan malam panas bersama. Sekarang apa yang didapatkannya? Hanya tubuh kaku nan pucat tergeletak di kamar jen
Mungkin di dalam hatinya memang belum ada rasa cinta, tapi melihat wanitanya tergeletak tanpa daya dengan alat bantu medis membuat dadanya terasa sangat sesak. Terlebih penjelasan dari dokter sangat mengganggu pikirannya. Ahava-nya mengalami patah tulang serius. Beberapa bulan ke depan kakinya tidak dapat berfungsi secara normal. Tergambar jelas raut wajah penuh kekhawatiran sekaligus kepedihan. Memang benar Ahava-nya dapat diselamatkan, tetapi apakah gadis dua puluh tahun itu mampu menerima kondisinya saat ini? Wajah yang sedari tadi suram hanya tertunduk, menatap punggung tangan sang wanita yang tertancap selang infus. Dikecupinya punggung tangan itu berulang kali. Rasa bersalah kian merebak dalam sanubari. Mengakui pada diri sendiri bahwa dirinya tidak mampu menjalankan peran sebagai seorang suami dengan baik. Seharusnya dia bisa menjadi perisai bagi keluarga kecilnya."Maafkan aku, Ahava. Maaf..." lirihnya, tampak begitu pilu. Nyonya Esme mengusap bahu sang putra dengan begit
Olivia baru saja tiba. Dia begitu terkejut mendapati seisi kamar yang berubah menjadi porakporanda seperti habis terkena gempa. "Astaga... Kenapa bisa berantakan begini sih, Kak?" tanya Olivia. "Diamlah!" bentak Renata. "Santai dong! Ditanya baik-baik juga," kesal Olivia. "Pantas saja cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah sih," sindir Olivia kemudian. Bugh! Satu buah bantal dilemparkan Renata kepada Olivia. Olivia yang mendapatkan serangan mendadak jelas tidak sempat menghindar. Bantal tersebut mengenai wajahnya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang mengenai nakas. "Aduh..." ringis Olivia. Mengusap tubuh bagian belakangnya. Netra Olivia memerah, memandang tajam ke arah Renata. Bila situasi saat ini digambarkan dalam karakter animasi, maka di atas kepala Olivia sudah terdapat tanduk berwarna merah menyerupai banteng. Olivia mengambil bantal tersebut. Masih dengan mimik muka garangnya Olivia terus memandangi Renata. Mendekati sang madu dan membalas perbuatannya jauh lebih