Mendengar ucapan istri barunya, perut Tuan Dirgantara serasa dikocok. Tuan Dirgantara mengumbar tawa sumbang. Baru kali ini ada seorang wanita yang menginjak harga dirinya. Merendahkan secara terang-terangan.
"Yakin mau pergi dari kehidupanku?" sinis Tuan Dirgantara. "Bukankah kamu yang tidak sudi hidup bersama gadis kampung sepertiku?""Ya, mana sudi aku hidup bersamamu. Melihat penampilan kampunganmu saja membuatku mual," sarkas Tuan Dirgantara. "Kalau begitu marilah kita akhiri semua ini dengan cara baik-baik," putus Ahava. "Tidak! Kamu terlanjur masuk dalam kehidupanku, maka lahirkan anak untukku. Setelahnya aku akan membebaskanmu. Mari kita buat kontrak perjanjian!"Netra Ahava terbelalak. Telinganya mencoba mencerna apa yang dikatakan Tuan Dirgantara. Dasar pria sinting! Ahava sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir tuan besar satu ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan ikatan suci pernikahan? "Apa kamu pikir aku mesin pencetak anak, hah?" kesal Ahava. "Ya, anggap saja begitu," balas Tuan Dirgantara enteng. "Dasar gila!" umpat Ahava. Brak! Pintu ditutup dengan sangat keras. Menimbulkan bunyi 'berdebum' di sana. Gadis 20 tahun itu berlari meninggalkan ruang perawatan Tuan Dirgantara. Ahava tidak bisa berlama-lama di dalam sana, sebab rasa sesak menghimpit rongga dada. Semakin lama keduanya berbincang, kian bertambah pula tingkat kekesalan pada diri Ahava. "Nona, anda mau ke mana?" tanya seorang lelaki yang berjaga di depan kamar perawatan. Ahava menduga dia adalah salah satu bodyguard Tuan Dirgantara."Bukan urusanmu," ketus Ahava. "Nona, anda harus tetap di dalam dan menemani Tuan!" ucap lelaki tersebut. "Mari, Nona!" ucap lelaki lainnya. Membawa Ahava masuk kembali ke dalam ruang perawatan. "Sudah kubilang tidak, ya tidak!" bantah Ahava bersikeras. "Tolong jangan mempersulit pekerjaan kami, Nona. Ayo, kembali lagi ke dalam!" paksanya. "Aku tidak mau. Lepaskan aku!" berontak Ahava. Mencoba melepaskan diri. Kedua bodyguard Tuan Dirgantara menulikan telinga mereka. Perintah dari sang majikan adalah keharusan yang wajib dipatuhi. Salah satunya menjaga Ahava agar tidak pergi dari sisi Tuan Dirgantara. "Maaf kami mengganggu, Tuan. Kami berdua hanya mengantarkan Nona kembali."Tuan Dirgantara menepiskan tangan ke udara. Mengusir kedua bodyguardnya. Melirik Ahava sinis, Tuan Dirgantara mengulum senyum yang dirasa sangat menjengkelkan bagi Ahava. "Cih, sudah kuduga kamu pasti kembali.""Jangan geer, Tuan. Dua bodyguardmu itu menghalangi jalanku. Pasti kamu yang menyuruh mereka bukan?"Tuan Dirgantara terbahak. "Menyuruh mereka menghalangi jalanmu? Ha ha ha... yang benar saja.""Ini semua pasti ulah Mama. Selamat, Ava. Kamu tidak bisa pergi dari hidupku. Kecuali aku sendiri yang membuang dirimu.""Aku tidak mau denganmu. Lepaskan aku!""Tidak, sebelum kau lahirkan anak untukku.""Sudah kubilang aku tidak mau. Aku bukan mesin pencetak anak.""Masa bodoh. Bagiku kamu hanya sekedar mesin pencetak anak. Camkan itu!"Ahava mengepalkan kedua tangannya. Menahan diri agar emosinya tidak kembali meledak. Ahava menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Memilih berbaring sejenak guna menghindari percakapan antara dirinya dan Tuan Dirgantara. "Heh, siapa yang menyuruhmu tidur? Cepat bangun!" sentak Tuan Dirgantara setengah berteriak. Ahava menulikan telinganya. Berpura-pura tidur dan tetap memejamkan mata. Ahava juga mendengkur agar Tuan Dirgantara semakin percaya bahwa dia memang tengah terlelap. "Dasar kampungan. Tidur saja pakai acara mendengkur. Menjijikan," umpat Tuan Dirgantara. "Hallo, Max...""Ahhh... Ya-ya, Tuan. Ada apa?" jawab Max terengah-engah, sangat gugup. Suaranya terdengar berat, membuat Tuan Dirgantara berpikir yang tidak-tidak. "Lama sekali menjawab teleponku, hah? Apa aku harus meneleponmu hingga ratusan kali baru kamu angkat?" amuk Tuan Dirgantara begitu mendengar suara Max. "Ma-maaf, Tuan... Sa-saya... Anu... Saya baru saja dari kamar mandi.""Ahhh..." desah Max sekali lagi tidak tertahankan. Mencelos begitu saja dari bibirnya. "Sialan! Kamu sebenarnya sedang apa, hah?" kesal Tuan Dirgantara. "Sedang... Sedang olahraga, Tuan," aku Max pada akhirnya. Tentu saja Tuan Dirgantara mengerti maksud dari ucapan Max. Kelakuan Max benar-benar membuatnya geram saja. Bagaimana tidak, majikannya tengah terbaring di rumah sakit, sementara dia malah enak-enakan ber-uh ah ria. "Bajingan! Cepat kemari!""Ba-baik, Tuan."Tut... Tut... Sambungan telepon dimatikan. Tuan Dirgantara menjambak rambutnya frustasi. Merasa kesialan sedang menimpanya. Seharusnya sepulang dari desa dia bisa bermanja-manja dengan Renata atau paling tidak menghabiskan satu ronde dengan Olivia. Bukan malah terbaring lemah di atas brankar dan hanya bisa mendengar suara Max yang sedang bercinta. Sungguh sial! "Baby, sudah... Hentikan! Ahhh... Cukup!" racau Max. "Uhhh... Tidak mau!" tolaknya. Merasa belum puas, wanita tersebut terus mencari kenikmatan yang dia inginkan. Mendominasi permainan, membuat Max bertekuk lutut terhadap kenikmatan yang diberi. Netra Max terus melirik panah jarum jam. Baru kali ini dia bercinta dengan diliputi rasa gelisah. Alih-alih menikmati permainan yang disuguhkan oleh si cantik, Max justru ingin mengakhiri permainan ini. Max tidak ingin semuanya menjadi kacau akibat lalai dalam menjalankan perintah sang juragan. "Cukup, kubilang hentikan! Aku sudah ditunggu Tuan Dirgantara, Baby. Kumohon mengertilah. Kita bisa melanjutkannya lain kali.""Aku mandi dulu ya, Baby."Cup!Max mengecup bibir si cantik sekilas. Lekas mendorong tubuh si cantik agar beranjak. Beringsut turun dari ranjang, Max berlari ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin."Arghhh... Dasar juragan sialan! Awas kamu ya sudah berani mengacau sesi bercintaku!" geram si cantik. Seusai mandi, Max mendapati si cantik yang masih merajuk. Meraih kedua jemari wanitanya, Max kecup penuh kasih jemari lentik si cantik. "Hei, jangan marah-marah, Baby. Kamu pikir aku juga tidak kesal karena acara bercinta kita terganggu? Tapi, ya sudahlah. Aku harus segera pergi sekarang. Byee, cantik..."***"Maaf, saya terlambat, Tuan," ucap Max. "Bajingan memang kamu, Max! Seharusnya kamu di sini mengurusku, bukan malah bercinta di luaran sana," amuk Tuan Dirgantara. Max menahan kekesalan. Max belum bisa melupakan acara bercintanya yang gagal. "Tadi Nyonya Esme sendiri yang menyuruh saya pulang. Saya tidak bisa membantah perintah beliau. Lagipula di sini juga ada Nona Ava yang merawat Tuan bukan?""Lihatlah dengan matamu itu, Max!" Netra Max mengikuti arah telunjuk Tuan Dirgantara. Didapatinya istri baru sang juragan yang tengah meringkuk di atas sofa. Niat Ahava bersandiwara dengan pura-pura tertidur malah menjadi tidur sungguhan. Hebat sekali bukan?"Lihat dengan mata kepalamu itu! Apa seperti itu yang dinamakan merawat?""Ya kan, saya tidak tahu kalau Nona tertidur, Tuan.""Sudahlah. Sekarang buatkan aku kontrak perjanjian. Aku mau dalam jangka waktu satu bulan Ava harus sudah mengandung benihku.""Satu bulan, Tuan? Bukankah terlalu cepat?""Kamu meragukan kemampuanku? Tidak sampai satu bulan. Bahkan satu kali celup aku bisa membuatnya hamil.""Hah? yang benar saja," gumam Max lirih. "Bicara apa kamu, Max?""Ah, tidak... tidak ada apa-apa, Tuan. Kalau begitu saya buatkan dulu kontrak perjanjiannya."***Max menggoncangkan lengan Ahava. "Nona, bangun!"Ahava tersentak. Bagun duduk dan mengumpulkan nyawanya kembali. "Astaga... Aku pikir siapa.""Nona, Tuan menyuruhmu menandatangi kontrak perjanjian ini!" Max menyodorkan map berisi kontrak perjanjian.Tanpa membukanya, Ahava sudah bisa menebak kalau isi di dalamnya surat perjanjian, di mana dia harus mengandung benih dari Tuan Dirgantara. "Tidak mau!" tolak Ahava mentah-mentah. "Tidak usah sombong kamu, Ava. Kamu butuh uang kan? Aku bisa memenuhi itu semua asalkan dalam waktu satu bulan kamu harus sudah mengandung benihku. Kita anggap perjanjian ini simbiosis mutualisme, bagaimana?""Sudah aku katakan kalau aku tidak mau. Aku bukan mesin pencetak anak.""Dasar keras kepala," gerutu Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mencabut selang infus di tangannya. Menyisakan bekas darah setelahnya. Menyeret kakinya perlahan mendekati Ahava. "Keluar dari ruangan ini, Max!" perintah Tuan Dirgantara. Max mendapati sorot tajam dari netra sang juragan. Auranya sangat kuat. Seperti hendak memakan manusia dalam keadaan hidup-hidup. Tanpa banyak bicara, Max berlalu meninggalkan ruang perawatan Tuan Dirgantara. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi mulus Ahava. Telinganya berdengung. Ahava dapat merasakan pipinya memanas. Ahava pikir, sekeras-kerasnya Tuan Dirgantara hanya akan menggertaknya saja. Ahava sama sekali tidak menyangka kalau Tuan Dirgantara tega menyakiti fisiknya. "Dasar gadis kampung tidak tahu diri. Aku sudah bermurah hati mau memberimu kerja sama yang menguntungkan, tapi sepertinya kamu keras kepala. Baiklah, kalau begitu aku akan menghamilimu saat ini juga, tanpa memberimu apapun setelahnya. Kamu akan kubuang setelah melahirkan anakku. Oh ya, kamu juga tidak akan kuijinkan melihat wajah anak yang kamu lahirkan nantinya."Tuan Dirgantara menjatuhkan tubuh Ahava ke atas sofa. Mengukung tubuh mungil Ahava di bawah kendalinya. Tuan Dirgantara menarik dagu Ahava, hendak mencium bibir Ahava secara paksa. Sontak, Ahava memalingkan wajahnya. Mendorong dada bidang Tuan Dirgantara sekuat tenaga. "Lepaskan aku!" berontak Ahava. Sayang sekali, sekuat apapun tenaga Ahava, lantas tidak membuat tubuh Tuan Dirgantara bergeming. Seringaian nampak di wajah tampan pria dewasa itu. "Aku tidak akan melepaskanmu. Malam ini juga kamu harus melayaniku, Sayang!"Tangan kekar Tuan Dirgantara merangkul pinggul Ahava. Bahkan sampai merapatkan tubuh mereka untuk saling menempel. Ahava bisa merasakan napas Tuan Dirgantara menyapu permukaan kulit wajahnya.Jemari kokoh Tuan Dirgantara mengusap pipi halus Ahava dengan sensual. Rasa takut kian menyergap. Sekujur tubuh Ahava dibuat meremang sekaligus gemetar di waktu bersamaan. "Rileks, Sayangku. Jangan tegang begitu dong. Sebentar lagi kamu akan merasakan surga dunia," kekeh Tuan Dirgantara. "Tidak mau! Aaa... Lepaskan aku!"Ahava kembali mendorong dada Tuan Dirgantara. Berusaha sekeras mungkin mengenyahkan tubuh besar itu dari atasnya. Lagi-lagi, Tuan Dirgantara tidak bergeming sama sekali. Tuan Dirgantara menarik sudut bibirnya ke atas. Pemberontakan yang dilakukan Ahava membuat Tuan Dirgantara merasa tertantang. "Mau berontak, hmm? Dasar kucing nakal!"Tubuh Ahava semakin bergetar tatkala Tuan Dirgantara menyapu permukaan lehernya. Pria dewasa itu menyunggingkan senyum sinisnya. Seolah merasa
"Ambillah kembali uangku di rumah Frank dan Belinda. Nominalnya lima puluh juta. Jangan sampai ada yang kurang.""Baik, Nyonya."'Dasar bodoh! Kalian berdua hanya aku peralat untuk melancarkan tujuanku. Mana sudi aku memberikan hartaku pada manusia serakah seperti kalian.'***Wajah wanita paruh baya itu kian memucat. Segepok uang yang baru saja didapatkannya lenyap dari tempat persembunyian. Padahal Bibi Belinda sangat yakin tidak salah menaruhnya. Bibi Belinda tergopoh menghampiri Paman Frank. "Sayang, kamu mengambil uang simpanan kita?" tanya Bibi Belinda. Lebih kepada sebuah tuduhan."Tidak, Sayang," balas Paman Frank."Bohong!" sentak Bibi Belinda."Buat apa aku bohong. Bukankah kamu yang menyimpannya?" Paman Frank balik bertanya. Tampak kesal karena dituduh.Bibi Belinda menghembuskan napas kasar. Seolah melepaskan amarah yang sempat diledakkan pada suaminya. "Tidak ada di lemari, Sayang. Aku kira kamu yang membawanya.""Tidak. Mungkin keselip. Ayo, kita cari!"Bibi Belinda dan
"Sayang..."Dipeluknya sang kekasih hati. Segala resah yang sempat membuatnya tidak bisa tidur semalaman, akhirnya terjawab sudah. Suaminya baik-baik saja. Bahkan, pagi ini Tuan Dirgantara tampak lebih bugar. Wajahnya pun tampak berseri. "Wajahmu cerah sekali," ucap Renata. Mengusap halus rahang tegas Tuan Dirgantara. Tuan Dirgantara mengulum senyuman. "Iya dong, kan sepagi ini dijenguk kesayangan."Dengan jahilnya, Tuan Dirgantara mendorong wajah Renata maju ke depan. Mengecup bibir ranum wanitanya penuh cinta. Renata melotot. Wajahnya bersemu merah. Tidak menduga diberikan kejutan manis yang selalu disukainya. "Sayang, kamu nakal ya..." Renata memukul pelan dada Tuan Dirgantara. Sementara Tuan Dirgantara hanya terkekeh. "Sini!" Tuan Dirgantara menggeser tubuhnya. Menepuk sisi kosong pada brankarnya. "Nggak muat ih.""Muat. Ayolah, aku pengen tidur dipeluk kamu," rengek Tuan Dirgantara. "Ini udah pagi, Sayang. Waktunya bangun, bukan tidur.""Masa bodoh. Ayo, cepat!" paksa Tuan
Tiga hari sudah Tuan Dirgantara dirawat di Internasional Hospital. Kini, dia sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan belum boleh melakukan pekerjaan yang berat. Sepanjang lorong Internasional Hospital, Renata dan Olivia terus menggandeng tangan Tuan Dirgantara. Ahava sama sekali tidak diizinkan menyentuh suami mereka. Jangankan menyentuh, berdekatan saja tidak boleh. Renata juga sangat membatasi interaksi diantara keduanya. Max melambatkan langkahnya. Menyejajari langkah Ahava yang berjalan di belakang suami dan kakak madunya. Entah mengapa Max menjadi sangat iba kepada Ahava. "Nona tidak apa-apakan?" tanya Max. Ahava mengulum senyumnya. Menggelengkan kepala pelan. Tidak mengerti maksud Max. "Memangnya aku kenapa, Max?""Barangkali Nona cemburu melihat Tuan dan kedua istrinya."Ahava tertawa pelan. "Ha ha ha... Aku sama sekali tidak cemburu, Max. Memangnya siapa aku boleh cemburu?""Ya, Nona kan istri Tuan.""Aku hanya sebatas istri di atas telapak tangan saja, Max. Bahkan, bil
Bunyi peralatan masak beradu. Kedua istri Tuan Dirgantara menyibukkan diri mereka di dapur semenjak sore. Suasana di dapur tampak kacau karena ulah Renata dan Olivia. Baik koki maupun pelayan tidak ada yang berani menegur keduanya, hanya mengawasi saja. Takut terjadi kebakaran akibat ulah kedua majikannya.Berbeda dengan Renata dan Olivia, Ahava justru tampak lebih santai. Dia baru saja menginjakkan kakinya di dapur sehabis maghrib. Ahava tidak terlalu peduli dengan lomba memasak ini. Kalau saja bukan karena Nyonya Esme yang sedari tadi menyuruhnya ke sini, Ahava tentu lebih memilih berbenah di paviliun ketimbang mengikuti persaingan seperti ini. "Besar kepala sekali kamu jam segini baru ke sini. Apa kamu pikir waktu satu jam bisa menyaingi masakanku?" ucap Renata judes. "Aku tidak mau bersaing dengan siapapun. Keberadaanku di sini hanya karena menuruti permintaan Mama saja," ucap Ahava. "Cih, munafik! Apa kamu pikir, aku percaya dengan omong kosongmu?"Ahava kembali mengunci mulut
Sepanjang perjalanan menuju paviliun Ahava terus menggerutu. Tampaknya dia terlalu kesal karena satu minggu ke depan waktunya akan tersita bersama suami yang kerjaannya hanya marah-marah saja kepadanya. Sampai di dapur pun Ahava masih menggerutu. Bibirnya monyong-monyong sejauh 5cm. Ahava terlalu sibuk dengan kekesalannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok pria gagah yang berdiri di belakangnya. 'Sialan! Rupanya dia mengumpatiku. Lihat saja nanti!' batin Tuan Dirgantara kesal. Grep! Ahava tersentak saat sepasang jemari besar melingkar di depan perutnya. Kepalanya menoleh ke belakang, didapatinya wajah tampan Tuan Dirgantara. Pria dewasa itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma kesegaran buah yang berasal dari rambut istri ketiganya. "Tu-Tuan?" gugup Ahava. Saking gugupnya, lulutnya jadi gemetaran. Istri ketiga sang juragan berusaha menyingkirkan sepasang tangan besar Tuan Dirgantara. Bukannya terlepas, justru semakin mengencang saja. Ahava sampai frustasi sekaligus k
"Berikan aku lima puluh juta lagi atau rahasiamu akan kubongkar, Nyonya!" ancam Bibi Belinda pada sambungan telepon. "Dengar ya, Belinda! Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah mengancamku atau akan kubuat hidupmu tidak tenang!" balasnya balik mengancam Bibi Belinda. Tut... Tut... "Sialan!" geram Bibi Belinda. Semenjak kehilangan uang lima puluh jutanya, Bibi Belinda hampir gila rasanya. Sudah uangnya raib, rumah tangganya pun jadi bermasalah.Paman Frank memang sudah kembali ke rumah, tetapi selama berada di rumah dia selalu acuh pada Bibi Belinda. Jelas saja, Paman Frank masih kesal pada Bibi Belinda. Apalagi, kalau bukan perkara Bibi Belinda yang menyebabkan Ivy-anak semata wayangnya keluar dari rumah. Sebab kekesalannya itu, Paman Frank tidak lagi memberikan uang kepada sang istri. Paman Frank justru menggunakan gajinya untuk menghidupi Ivy yang tinggal di kota sebelah. "Sayang..." panggil Bibi Belinda mendayu-dayu.Bibi Belinda berusaha merayu Paman Frank agar mendapatkan
"Kak Re, apa kita akan jadi gelandangan setelah ini?" tanya Olivia berbisik. "Entahlah, Liv... Aku juga pusing memikirkan ini semua.""Coba bujuk Mas Dirga, Kak. Bagaimana pun jangan sampai kita keluar dari mansion. Ingat tujuan kita." Olivia merasa enggan bila harus meninggalkan kemegahan yang selama ini didapat. "Hmmm... Ya ya ya..." sahut Renata malas. Renata menggigit jari telunjuknya. Baru kali ini dia merasa gugup untuk sekedar berbicara dengan suaminya sendiri. Namun, rasa tak rela meninggalkan mansion keluarga Diningrat jauh lebih berat dari itu semua. "Mas, kamu yakin mau pergi dari mansion?" tanya Renata."Hmmm... Cepat kemasi barang-barangmu!""Memangnya kita mau tinggal di mana?""Apartemen.""Hah?" Renata melongo tak percaya. "Apartemenmu itu terlalu sempit untuk kita tinggali, Mas. Kamarnya saja hanya satu. Mana mungkin kita semua tinggal di sana.""Bisa tidak kalau berhenti mengoceh dan tidak membuatku bertambah pusing?" gertak Tuan Dirgantara. "Yasudah kalau mau
"Bagaimana Mas, apa sudah dapat rumahnya?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Ya, aku juga sudah menyelesaikan pembayarannya. Kamu tinggal tandatangani saja akta jual belinya.""Aaaa... Thank u, Sayangku... Kamu memang terbaik." Sorak riang Renata. "Besok mau temani aku ke sana?" tanyanya kemudian. "Ke sanalah sendiri, Re. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal.""Baiklah... Baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Sayang.""Sudah ya, aku kerja dulu.""Hm... Byee, Sayangku..."Tersenyum kecut, Tuan Dirgantara merasa tak ubahnya seperti seekor rubah licik. "Sorry, Re. Caraku mungkin memang terlalu licik dan kamu akan kecewa kalau tahu, tapi aku tidak punya cara lain lagi."***"Hai, Re... Lama tidak bertemu ya?" sapa Antony ramah. "Iya juga ya... Aku baru tahu loh kalau seorang CEO sepertimu turun langsung mengurusi customernya.""Spesial karena kamu istri temanku."Setelah 30 menit berkendara, akhirnya keduanya sampai di rumah baru Renata. "Nah, ini dia rumahnya. Apa kamu suka?"Renata
"Liv, tolong tanda tangani berkas ini!""Apa itu, Baby?""Lembar persetujuan untuk mengesahkan pernikahanku dengan Ava," jawab Tuan Dirgantara terlampau jujur. "Kenapa harus disahkan segala? Kamu mencintainya?" selidik Olivia. Tuan Dirgantara menggaruk tengkuknya, merasa salah tingkah seketika. Lantas, dia segera menguasai keadaan. "Bukan itu. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Mama."Olivia mengetuk-ketukkan telunjuk di dagunya. Menimbang baik dan buruknya bila memberi persetujuan. "Apa yang akan kudapat kalau menyetujuinya?" tanya Olivia mencoba bernegosiasi. "Apa saja yang kau mau akan kukabulkan, Baby."Nah, ini yang Olivia suka dari suaminya. Kalau begini kan tidak ada yang dirugikan, win win solution istilahnya. "Baiklah, berhubung kita tidak lagi tinggal di mansion, jadi aku minta dibelikan rumah dua lantai. Ingat, atas namaku!""Oh ya, aku juga tidak mau kalau nantinya rumah itu ditinggali oleh kedua istrimu yang lain.""Oke. Apapun untukmu, Baby."Benar bukan pemikiran
"Di depan ada ribut-ribut ya?" kepo salah seorang pelayan. "Emm... Tuan dan Nyonya besar sedang terlibat pertengkaran," balas pelayan lainnya. "Hah, yang benar?" ucapnya tak percaya. "Lihat saja sendiri kalau tidak percaya.""Nggak ah, sayang nyawaku. Bisa digorok sama Nyonya besar nanti kalau ketahuan kepo.""Tahu nggak apa penyebabnya?" ujarnya mulai julid. "Apa memangnya?""Nona Ava.""Hust... Jangan ngawur kalau bicara! Bisa kena hukum kamu kalau Nyonya besar tahu.""Serius, aku ndak bohong. Ini semua memang karena Nona Ava. Sebelum Nona ada di sini, apa pernah Tuan dan Nyonya besar bertengkar sampai melibatkan bodyguard? Endak to? Palingan juga adu mulut aja," ucapnya sembari melirik sana sini, takut ada yang mendengar ucapannya. Mendengar kasak-kusuk dari beberapa pelayan, Ahava menjalankan laju kursi rodanya. Menatap nanar pertengkaran ibu dan anak itu dari kaca jendela kamarnya. Netra Ahava memanas. Merasa sedih sekaligus teramat kecewa pada diri sendiri. Karenanya, hubun
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r
Awan menggelayut hitam di langit, tampaknya hujan akan segera datang. Benar saja, tidak lama kemudian rintik hujan membasahi tanah yang gersang. Di bawah guyuran air hujan, Renata terus saja berlari tanpa arah. Dada kembang kempis menahan letupan amarah yang dirasa sangat menyesakkan. Laut tak selamanya tenang. Pastilah badai akan datang menghantam. Pun sama halnya dengan biduk rumah tangga yang dijalaninya. Delapan tahun sudah Renata menjalani biduk rumah tangga bersama Tuan Dirgantara. Berbagai macam badai telah mereka lalui bersama, tapi tidak sedikitpun memadamkan percikan asmara diantara keduanya. Namun, hari ini semuanya terasa berbeda. Renata merasakan cinta Tuan Dirgantara untuknya semakin mengikis. Entah dibagi untuk Olivia, Ahava, atau justru keduanya. Katakanlah Renata teramat egois, sebab hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati Tuan Dirgantara.Renata rasanya tidak sanggup mendapati kenyataan cinta Tuan Dirgantara telah terbagi, tapi itulah kenyat
Renata mencegat taksi. Mengikuti mobil Tuan Dirgantara dari belakang. Rasa penasarannya terlalu tinggi. Akan dibawa ke mana adik madunya itu? "Kenapa yang dibawa pergi hanya Livia saja? Kenapa Mas Dirga justru mengacuhkanku?"Kening Renata mengerut mendapati sang suami membawa Olivia ke rumah sakit. "Kenapa Livia dibawa ke rumah sakit?""Mas, Livia kenapa?" tanya Renata begitu Tuan Dirgantara usai mengantarkan Olivia ke ruang pemeriksaan. Tuan Dirgantara menatap Renata begitu tajam. Kilat amarah memancar di mata sang juragan. "Livia sakit, Renata. Dasar tolol! Kamu itu tinggal berdua dengannya. Kenapa bisa tidak tahu?" maki Tuan Dirgantara. Renata membekap mulutnya. Netranya tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka kalau suami yang begitu mencintainya memaki-maki dirinya di depan umum. "Ta-tadi Olivia sehat, Mas. A-aku tidak tahu kalau dia sakit," ucap Renata dengan nada bergetar menahan tangis. "Dasarnya saja kamu yang tidak peduli dengannya. Sampai Livia sekarat pun mungkin kamu j
Olivia baru saja tiba. Dia begitu terkejut mendapati seisi kamar yang berubah menjadi porakporanda seperti habis terkena gempa. "Astaga... Kenapa bisa berantakan begini sih, Kak?" tanya Olivia. "Diamlah!" bentak Renata. "Santai dong! Ditanya baik-baik juga," kesal Olivia. "Pantas saja cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah sih," sindir Olivia kemudian. Bugh! Satu buah bantal dilemparkan Renata kepada Olivia. Olivia yang mendapatkan serangan mendadak jelas tidak sempat menghindar. Bantal tersebut mengenai wajahnya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang mengenai nakas. "Aduh..." ringis Olivia. Mengusap tubuh bagian belakangnya. Netra Olivia memerah, memandang tajam ke arah Renata. Bila situasi saat ini digambarkan dalam karakter animasi, maka di atas kepala Olivia sudah terdapat tanduk berwarna merah menyerupai banteng. Olivia mengambil bantal tersebut. Masih dengan mimik muka garangnya Olivia terus memandangi Renata. Mendekati sang madu dan membalas perbuatannya jauh lebih