Lyra’s Point Of View
Dengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.
Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.
Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.
Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan mata dan hidung memerah. Aku mengabaikan lirikan-lirikan aneh dari karyawan-karyawan yang kulewati karena wajahku yang benar-benar sudah tak jelas lagi rupanya.
Mengabaikan teriakan Sekretaris di depan yang coba menghalangi, aku menerobos masuk ke ruangan pribadi milik sang Direktur. Mungkin karena mendengar derap langkahku memasuki ruangannya, dia pun mendongakkan wajahnya untuk melihat ke arahku. Tatapannya sedikit aneh melihat aku datang dengan wajahku yang terlihat menyedihkan.
"Kak Altair, marry me, please".
Kalimat itu pun terucap sempurna dari bibirku. Dia mengatupkan rahangnya rapat, seakan berpikir keras mengapa aku melontarkan kata pernikahan itu dengan lancang.
Untuknya, yang bahkan berstatus sebagai teman dekatku saja.
Altair dapat mengendalikan ekspresinya dengan baik. Dia masih memasang wajah datar andalannya, tanpa sedikitpun terlihat terkejut. Namun, dari matanya itu, aku dapat melihat jika dia bahkan lebih mengkhawatirkan keadaanku yang kacau dibanding kata-kata aneh yang baru saja kuucapkan.
Dia bangkit dari singgasananya kemudian tangannya yang kekar menarik lenganku. Diua memaksaku mengikutinya sampai kami berdiri depan pintu kecil yang berada di samping rak-rak tinggi yang berisi banyak buku.
Mulutku ternganga ketika Altair membuka pintu untuk menunjukkan apa yang berada di dalamnya. Disana terdapat ruangan berukuran cukup besar setara dengan kamar presidental suit hotel berbintang lima. Altair mendorongku masuk sedangkan dirinya masih berdiri tegap di ambang pintu.
"Istirahatlah disini. Nanti malam aku akan mengantarkanmu pulang setelah pekerjaanku selesai". Dia berujar kaku dan dari nadanya saja aku tahu jika dia tidak ingin dibantah.
Aku membalikkan badan. Mataku mencari matanya yang kerap kali menghindar lalu berujar. “Kau tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku sekarang?”.
Dia menggeleng.
“Bisakah kau mendengarkanku sekali saja, Lyra?”. Aku menciut mendengar penekanan di setiap suku kata yang diucapkannya. “Kau sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk kita bisa membicarakan ini”.
Mata sayunya menghujam mataku yang sekejap dapat membuat hatiku lebih tenang. Dia mencoba menarik kedua ujung bibirnya –meskipun gerakannya kaku—dan aku tak kuasa menolak permintaannya karena itu.
*
Normal Point Of View
Altair membersihkan meja kerjanya dari tumpukan-tumpukan kertas itu cepat. Untuk pertama kali di dalam sejarah hidupnya semenjak dia membangun dengan susah payah perusahaannya yang kini menjelma sebagai salah satu perusahaan besar itu dia meninggalkan ruangannya sebelum jam sepuluh malam.
Suatu hal yang langka terjadi. Karena saat ini jam baru menunjukkan pukul enam sore dan dia sudah bersiap untuk pulang ke rumah.
Lelaki itu mengulum senyum. Membayangkan bahwa setiap hari dia akan merindukan rumahnya karena ada seseorang yang menunggunya membuat hatinya menghangat.
Dengan gerakannya yang dibuat sepelan mungkin, Altair mengunjungi kamar yang seringkali ditempatinya jika sedang menginap di kantornya itu dengan jantung berdebar. Derap jantungnya semakin bertalu melihat sosok cantik yang selalu ada di bayangannya kini meringkuk di ranjangnya.
Sungguh, tak pernah terbesit di pikiran liarnya sekalipun bahwa dia bisa mengamati Lyra sebebas ini.
Gadis itu perlahan membuka kedua matanya kemudian mendudukkan tubuhnya dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang. Lyra melirik ke arah Altair yang sedang mati-matian menyembunyikan rasa takjubnya karena terpesona bahkan dengan wajah bangun tidur yang ditunjukkan gadis itu.
Lyra memang termasuk orang yang dapat terusik dari tidurnya walaupun hanya mendengar suara yang tidak keras. Itulah mengapa dia langsung bangun ketika Altair masuk ke kamar tersebut.
"Apa aku tertidur terlalu lama?".
Altair yang masih terpana dengan aura kecantikan alami yang terpancar dari gadis teman masa kecilnya itu tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Lyra, kemudian memandang gadis itu dengan raut wajah kebingungan.
"Ya?", katanya pendek.
Lyra terkekeh geli, dan dengan sengaja mengganti pertanyaannya dengan yang lainnya. Tentang hal utama yang menjadi alasannya datang kesini, meskipun pada akhirnya dia menyerah dan tertidur di ranjang empuk milik lelaki itu.
"Aku bertanya, apa kau mau menikah denganku?"
Altair menipiskan bibirnya gugup. Seperti biasa, dia mengamati mata cokelat gelap milik gadis itu untuk menemukan kebohongan di dalamnya.
Nihil.
Lyra benar-benar serius dengan ucapannya kali ini.
Namun, dia telah memikirkan sesuatu yang mungkin terjadi, tentang alasan gadis itu melamarnya tanpa diduga seperti saat ini. Dan alasan yang terpikirkannya itu memukuli hatinya hingga tak berbentuk.
Altair berjalan mendekati ranjang dengan langkah tergesa. Altair bergegas menitipkan tangannya di atas bahu Lyra, menundukkan badannya agar mereka dalam garis pandangan yang sama.
“Dengar”, Altair memulai kalimat dengan tarikan nafas panjang. “Kau harus menenangkan hatimu terlebih dahulu sebelum mengatakan hal itu, Lyra”. Gadis itu terdiam kala Altair mengungkapkan kebenaran. “Kau tidak serius dengan perkataanmu tadi dan aku anggap aku tak pernah mendengar kau yang mengajukan pertanyaan tentang pernikahan padaku”.
“Jika aku benar-benar serius, apa kau mau menikahiku, Kak?”.
"Bukankah aku sudah bilang untuk menenangkan hatimu terlebih dahulu? Kau tahu, jika yang kau lakukan itu salah? Menggunakanku untuk mengakhiri patah hatimu, memintaku menikah denganmu hanya karena kau ingin lari dari lelaki pengecut itu. Kau bahkan tak serius dengan permintaanmu itu, Lyra. Untuk apa aku menjawabnya?"
Lyra terpaku mendengarkan rentetan kata yang semakin merobek hatinya. Gadis itu salah. Seharusnya Lyra tidak datang ke tempat Altair untuk meredam rasa sakit yang bertubi-tubi dirasakannya. Dia bahkan berharap Altair dapat mengembalikan rasa percaya dirinya—sungguh itu adalah hal terbodoh yang pernah dipikirkannya.
Lyra dengan lancang menepis tangan Altair yang bersarang di pundaknya lalu melonjak dari ranjang. Mengambil tas tangannya dengan tergesa –meninggalkan Altair yang masih terpaku di tempatnya, meratapi kebodohannya yang telah menorehkan luka lain di hati Lyra.
Tetesan cairan bening yang mengalir dari mata indah gadis itu mencambuk hati Altair keras. Altair harus bertahan menahan sakit karena dia tak akan pernah sanggup mempertahankan gadis itu untuk berada di sampingnya, sebesar apapun dia menginginkannya.
Namun, relakah Altair melihat gadis itu tersakiti oleh lelaki lain? Haruskah dia hanya menjadi penonton yang hanya diam saja ketika melihat gadis itu hancur?
Atau......mungkinkah Altair dapat melaksanakan perintah Ibunya untuk menghalangi Lyra menerima pinangan Nathaniel—lelaki tak bertanggung jawab yang hanya menginginkan seorang anak dari gadisnya?
*
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
"Kau sudah datang?" Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun. Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya. "Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?" Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang. " Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut. Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Ka
Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya. Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah. Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana. Nathaniel Suara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyr
Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Lyra’s Point Of ViewDengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan ma
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya. Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah. Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana. Nathaniel Suara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyr
"Kau sudah datang?" Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun. Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya. "Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?" Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang. " Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut. Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Ka
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan