Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya.
Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah.Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana.NathanielSuara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyra menjadi terlalu banyak memikirkan lelaki itu sepertinya. Lyra harus benar-benar berhenti sebelum semuanya terlambat.Sungguh, pria itu dapat meruntuhkan pertahanannya hanya dalam sekali pertemuan.Bel itu pun terus berdering, meminta pemilik rumah untuk segera membuka pintu dan menyambut tamunya. Lyra terheran. Dia yang tak biasa menerima tamu terlalu pagi—kecuali itu Manajernya yang biasanya juga datang setelah ada janji itu tak bisa memikirkan kemungkinan lain.Siapa yang berani bertamu ke rumahnya sepagi ini?Lyra memutar kenop pintu taky akin. Dia terperangah saat menemukan seseorang berjas hitam mendampingi seorang wanita cantik berambut panjang yang duduk di kursi roda yang terlihat tak tak asing.Wanita yang duduk di kursi rodanya, Angela, mengisyaratkan pria berjas hitam untuk meninggalkan mereka berdua. "Aku akan menghubungimu jika urusanku sudah selesai".Sesaat setelah lelaki itu berlalu, Lyra membuka suara. Dia menanyakan identitas pengganggu pagi tenangnya yang sepertinya pernah dilihatnya di suatu tempat. Lyra pun membuka percakapan dengan dahi berkerut—mencoba mengingat-ingat. “Maaf, Anda siapa?""Aku Angela, istri dari Nathaniel. Kau mengenal suamiku, bukan?". Angela menyapa Lyra dengan kalimat datar. Tanpa ragu, Angela mengulurkan tangan kepada Lyra yang masih mencoba mencerna fakta bahwa dia melihat wanita itu persis di dalam undangan pernikahan yang pernah menghancurkan hidupnya.Lyra menggigit bibirnya merasa menyesal menanyakan identitas wanita yang berada di hadapannya. Mendengar seseorang mengakui Nathaniel sebagai suaminya membuat Lyra merasakan hatinya tercabik. Hampir saja dia menangis di hadapan wanita itu jika dia tidak ingat harga dirinya yang masih harus dipertahankan.Apakah ini wanita yang dipilih Nathaniel untuk menggantikan posisinya? Dalam sekilas melihatnya saja pun Lyra dapat menerka jika wanita ini adalah seorang wanita baik-baik yang tak mungkin merebut tunangan orang lain hanya karena wanita itu terobsesi untuk menikah.Jadi, kemungkinan terbesar adalah Nathaniel yang sudah bosan pada Lyra lalu begitu saja meninggalkannya? Sungguh sulit dipercaya. Setelah semua janji-janji palsu yang terucap dari bibir lelaki itu serta bualan manis yang sering kali Nathaniel lontarkan padanya.....Ini terlalu berlebihan.“Permisi”, suara elegan Angela membuyarkan lamunan Lyra. Angela yang duduk di atas kursi roda manual itu terlihat kesusahan dengan celah antara pintu dan ruang utama. “Bisakah kau membantuku masuk?", mintanya penuh harap.Lyra pun kembali hanyut dalam pikirannya.Nathaniel bahkan memilih wanita yang dikategorikan bukan seorang istri yang baik untuk menjadi pendampingnya. Wanita yang tak bisa melakukan apapun sendiri, dan membutuhkan bantuan orang lain di setiap waktu kehidupannya. Sebegitu besarkah cinta Nathaniel pada wanita itu, sehingga dapat menerima Angela ini dengan segala kekurangannya?Tiba-tiba pikiran tak pantas terlintas di benak Lyra.Dia memikirkan, bagaimana jika dirinya dalam posisi seperti itu? Akankah Nathaniel berubah pikiran dan kembali berbelok menatap ke arahnya?Bodoh, Lyra.Jangan bilang kau ingin menjadi cacat hanya karena ingin mendapatkan cinta seorang lelaki.Akhirnya keduanya duduk saling berhadapan di ruang tamu yang berada di rumah gadis itu. Lyra meletakkan dua cangkir yang berisi teh hangat itu di meja, lalu menanyakan maksud kedatangan Angela dengan baik-baik, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya terhadap Nathaniel waktu itu.“Apa maksud kedatanganmu kesini?”Angela mengulur waktunya untuk menjawab dengan mengesap teh hangat yang disiapkan gadis itu. Matanya menelisik wajah gadis yang duduk di hadapannya dengan seksama. Lyra terlihat sangat menawan, mempunyai fisik yang sempurna walau hanya tubuhnya hanya terbalut kaos dan celana pendek yang sangat biasa.Angela merasa iri.Angela bahkan merasa dirinya tak cantik dan seringkali merasa tak percaya diri jika disandingkan dengan Nathaniel. Sedangkan Angela bisa membayangkan bagaimana Nathaniel dan Lyra akan nampak sebagai pasangan paling sempurna jika keduanya berjalan bergandengan.Hati Angela mencelos.Akankah dia baik-baik saja jika gadis itu menerima permintaannya? Walaupun Angela sangat menginginkan seorang anak namun dia tak mau kehilangan Nathaniel dalam prosesnya.Terdengar egois untuk seseorang sepertinya, bukan?" Kau masih ingat apa yang dikatakan suamiku? Aku...ingin kau memberikan seorang anak untuk kami, Lyra. Aku tahu ini permintaan yang sangat berat mengingat kita bahkan sama sekali tidak mengenal. Tapi, bisakah kau mempertimbangkannya?"" Kenapa?", ucap Lyra dengan nadanya yang dibuat sedatar mungkin. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan rivalnya. Lyra sampai kapanpun tak ingin menunjukkan dia yang rapuh dihadapan wanita perebut mantan tunangannya itu."Kenapa kau memilihku, Angela? Kenapa kau ingin aku yang mengandung anak kalian?", tanya Lyra frustasi. Apa tak cukup Nathaniel menemuinya dan meremukkan kembali hatinya beberapa hari lalu? Dan sekarang, dia harus menerima pil pahit kedua dari wanita menyebabkan dia kehilangan orang yang sangat dicintainya." Aku membebaskan Nathaniel untuk memilih, dan dia memilihmu".Perkataan itu sontak membuat kedua bulatan hitam milik gadis itu melebar. Lyra tak percaya sama sekali dengan apa yang dikatakan wanita di hadapannya. Benarkah itu? Dia merasakan hatinya sedikit luluh karena Nathaniel bahkan menjadikan dirinya prioritas bagi kandidat calon Ibu dari anaknya. Walaupun tujuannya untuk menyakiti hatinya lagi, tapi tak dipungkiri dirinya merasa senang dengan fakta ini.Ya, dari awal dia memang terlalu bodoh karena mencintai lelaki itu. Tidak salah lagi, akan ada banyak perkataan dan perlakuannya yang bodoh untuk membawa lelaki itu ke dalam kehidupannya lagi." Aku tak punya seorang pun saudara ataupun teman. Itulah mengapa aku bahkan tak punya wanita lain untuk meminta tolong selain dirimu". Angela menggenggam tangan wanita itu di atas meja, lalu menatap mata hitam Lyra dengan sorotannya yang teduh." Kumohon, bantulah kami. Aku tak punya siapapun lagi selain Nathaniel. Dan aku sangat menginginkannya bahagia. Mungkin aku memang tak memiliki fisik yang sempurna, tapi aku ingin keluargaku memiliki anggota yang utuh. Kumohon, Lyra. Hanya kau-lah satu-satunya harapanku untuk mewujudkan impianku ini".Angela bahkan tak segan untuk menangis di hadapan orang asing. Lyra akhirnya mengetahui, mengapa Nathaniel lebih memilih wanita itu daripada dirinya. Walaupun Angela tak bisa menggunakan salah satu anggota geraknya, tapi Lyra kalah jauh dibanding wanita itu dalam urusan ketulusan.Lyra merubah posisinya, menumpangkan sebelah kakinya di atas kakinya yang tetap dipijakkan ke lantai lalu melanjutkan pembicaraan mereka. "Kau tidak takut? Apakah kau tak memikirkan bagaimana akibatnya nanti? Untuk rumah tanggamu, untuk suamimu. Apakah kau tidak apa-apa jika suamimu jatuh hati padaku, misalnya?".Lyra mengibaskan tangannya di depan wajahnya sendiri, kemudian menutup mulut karena tawanya mulai terurai. "Aku tak bermaksud menyombongkan diri atau apapun, tapi aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapanmu".Angela menjawab pertanyaan itu dengan suara lembutnya yang menenangkan. "Jika itu harus terjadi, maka aku tak bisa berbuat apapun. Akan tetapi, aku percaya suamiku. Dia.....tak mungkin mengkhianati cinta kami".Lyra menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk senyuman sinis seolah mencibir pemikiran gadis polos itu. Jika Angela tahu apa yang Nathaniel lakukan padanya, dia tak akan berani bicara seperti itu, bukan?Ini sepertinya akan menjadi permainan yang menarik, pikirnya. Selain itu, dia senang dia tak perlu repot mencari alasan lain untuk menerima tawaran menjadi istri kedua Nathaniel." Baiklah, aku menyetujui tawaranmu. Tapi, adakah sesuatu yang kau janjikan untuk balasannya?”. Dia berpikir ulang. Permainan ini sungguh akan kurang menarik jika dia mengungkapkannya sekarang. “Oh, tidak apa. Mungkin kita dapat membicarakan balasannya setelah aku memenuhi keinginanmu. Kau sanggup untuk memberikan apapun yang kuminta, bukan?"Angela mengangguk mantap lalu menjabat tangan Lyra sebagai tanda persetujuan. "Tentu. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan. Aku berjanji atas nama Nathaniel".*Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra’s Point Of ViewDengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan ma
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
"Kau sudah datang?" Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun. Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya. "Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?" Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang. " Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut. Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Ka
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Lyra’s Point Of ViewDengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan ma
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya. Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah. Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana. Nathaniel Suara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyr
"Kau sudah datang?" Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun. Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya. "Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?" Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang. " Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut. Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Ka
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan