"Kau sudah datang?"
Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun.Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya."Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?"Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang." Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut.Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Kau sudah makan?"" Sebelum pulang Nurse Shintia sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Kau mandilah, aku akan menyiapkan meja", tutur gadis itu lembut.Nathaniel mengecup dahi istrinya sesaat kemudian menatap mata sayu kesukaannya penuh kasih sayang. "Tidak perlu. Kau duduk saja disini. Jangan lakukan apapun. Aku yang akan menyiapkannya nanti".Raut wajah Angela berubah murung. Dia merasa jika dia adalah istri yang paling tak berguna di dunia ini. Bahkan melakukan hal sepele seperti itu saja terasa begitu menyulitkan baginya? Bagaimana bisa lelaki yang memiliki segalanya seperti Nathaniel lebih memilih dirinya yang cacat dibandingkan banyak wanita-wanita cantik yang mengejar cinta lelaki itu?"Biarkan aku melakukannya. Setidaknya, walaupun tubuhku tidak sempurna, aku bisa melakukan sesuatu untuk melayani suamiku".Kali ini Nathaniel tidak membantah. melihat wajah istrinya berubah sedih karena perkataannya tadi cukup membuatnya resah. "Baiklah kalau kau memaksa, aku tak bisa menolak. Kau harus berjanji melakukan semuanya dengan hati-hati. Mengerti?"Angela mengangguk semangat.Nathaniel melakukan rutinitas membersihkan diri dengan cepat. Lelaki itu tak mau jika Angela terlalu lama sendirian berkutat dengan barang-barang pecah belah. Dia khawatir terjadi sesuatu pada istrinya. Setelah bergegas keluar dari kamar mereka, Nathaniel menghembuskan nafas lega karena dia melihat Angela sudah duduk rapi di kursi rodanya setelah menyelesaikan semua yang ingin dilakukannya tadi.Namun, Nathaniel terkesiap mengamati pandangan istrinya yang tak fokus. Nathaniel tahu, pikiran negatif selalu membayangi Angela akhir-akhir ini. Entah kenapa Angela seringkali mengulang permintaannya untuk mencarikan rahim untuk anak mereka sambil penuh permohonan.Itulah mengapa Nathaniel memberanikan diri untuk kembali menyambangi gadis yang pernah menjadi bagian dari hidupnya dan berubah sangat membenci pria itu hanya untuk memenuhi keinginan Angela."Apa kau sudah menemuinya?", ujar gadis itu penuh tanya tepat setelah Nathaniel mengambil tempat yang kosong di meja makan.Nathaniel menatap wajah cantik istrinya lalu menundukkan kepalanya untuk mengalihkan perasaan yang muncul ketika istrinya mengungkap pertanyaan tentang pertemuannya dengan gadis yang pernah dicampakkannya itu kemarin."Aku sudah menemuinya", gumamnya pelan untuk menjawab rasa penasaran istrinya. Nathaniel tak membalas perkataan istrinya itu dengan lugas, karena dia benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakannya."Bagaimana?” jawab wanita itu antusias.“Apa dia.......bersedia?", tanya Angela lagi.Wanita itu ragu dengan pertanyaannya kali ini. Angela tak tahu harus bagaimana bersikap jika dia mendengar kata 'ya' terucap dari bibir Nathaniel. Haruskah dia senang? Ataukah merasa sedih, karena harus membagi suami yang sangat dicintainya itu dengan wanita lain?Nathaniel memutar otak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan penolakan yang diterimanya kemarin. Haruskah dia jujur jika Lyra membentaknya bahkan mengusirnya dengan kasar sewaktu dia menceritakan segalanya?Tidak mungkin.Angela pasti akan sangat kecewa bila dia mengungkapkan kebenaran itu.Jadi, Nathaniel hanya berani mengungkapkan rasa penyesalannya dengan meminta maaf." Maafkan aku.......", ucapnya lirih.Angela merasa hatinya sedikit sesak mengingat hanya wanita itulah satu-satunya harapan mereka sekarang. Dia tak bisa mencarikan wanita lain untuk suaminya dan membebaskan Nathaniel untuk memilih siapapun yang diinginkannya untuk menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka.Walaupun merasa ada goresan di hatinya yang membuat dirinya perih, Angela mencoba mengalihkan pikirannya memikirkan bahwa ini demi kebahagiaan rumah tangga mereka. Jadi dia harus setidaknya ikut berusaha meyakinkan wanita itu juga."Nathaniel, bisakah kau memberikan alamat Lyra padaku? Kurasa akan lebih baik jika aku juga dating menemuinya."*Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya. Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah. Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana. Nathaniel Suara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyr
Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra’s Point Of ViewDengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan ma
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasilphotoboxyang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat be
Lyra’s Point Of ViewDengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan ma
Flashback beberapa jam sebelum Lyra memasuki paksa ruangan AltairLyra memutuskan untuk menemui pasangan suami istri itu untuk meyakinkan keputusannya. Benar kata Ibu kesayangannya. Lyra harus mempertimbangkan semuanya matang-matang agar dia tidak menyesali keputusan apapun yang diambilnya nanti nanti.Lyra melangkah keluar dari New BMW 3 Series miliknya kemudian menguncinya menggunakan remote. Kaki jenjangnya mendekati pagar rumah mewah berwarna netral sambil matanya menelisik kembali catatan yang diterimanya dari Angela kemarin dan mencocokkannya dengan nomor rumah di hadapannya.Gadis itu mengernyitkan dahinya heran ketika melihat gerbang depan yang tidak terkunci. Ferrari 458 Speciale berwarna merah menyala yang diyakininya milik penghuni kediaman tersebut diparkir serampangan di halaman rumah.Feelingnya yang kuat dapat merasakan ada yang tidak beres disini.Niat awalnya, Lyra ingin berbicara berdua saja dengan Angela. Tapi sepertinya dia tidak bisa melakukan hal itu karena dia y
Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela. Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila? Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya. 'Aku hanya asal bicara tadi' Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya. Lyra bukan orang sejahat itu. Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya. Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. "Lyra". Dengan cepat gad
Lyra menyantap rotinya sambil memperhatikan keadaan di sekitar. Rumah megah itu terasa sangat sepi karena hanya dia sendiri yang meninggalinya. Sebenarnya, Ibu Diah pun masih menemaninya setiap hari dan mengurus keperluan rumahnya. Tapi, setiap akhir pekan wanita paruh baya itu menghabiskan waktunya di kampung halamannya untuk menemani orang tuanya yang sudah renta. Dan dia tidak suka orang asing berkeliaran di rumahnya, maka dari itu dia tak menyewa asisten rumah tangga untuk menggantikan posisi Ibu Diah. Tak disengaja, matanya melihat lukisan yang masih tergantung disana. Sebuah lukisan yang menjadikan dirinya sebagai objek, yang dia ingat dia duduk berjam-jam tanpa boleh bergerak agar gambar itu tercipta. Matanya menelusuri detail-detail yang tersaji di dalam lukisan itu, hingga kemudian terhenti pada sebuah titik dimana sebuah inisial dari nama seseorang itu tertera disana. Nathaniel Suara bel yang menggema menghentikan lamunan Lyra. Sejak mereka bertemu tempo hari kemarin, Lyr
"Kau sudah datang?" Nathaniel menaikkan dagunya, menggerakkan kedua ujung bibirnya yang kaku ke belakang untuk menghindari kekhawatiran yang mungkin dirasakan istrinya. Terlalu banyak yang Angela pikirkan akhir-akhir ini dan itu membuat kondisi tubuhnya menurun. Angela berusaha keras menyembunyikannya, namun Nathaniel selalu mendapat laporan mengenai apapun yang terjadi pada gadis itu dari perawat yang menjaganya. "Ya, Aku sudah pulang”, jawab Nathaniel singkat. Dia lalu melontarkan kalimat tanya. “Nurse Shintia sudah tidak ada di rumah?" Angela mengangguk pelan. Kemudian, wanita itu memajukan alat yang menggantikan fungsi kakinya di hadapan Nathaniel. Pria yang duduk di ruang tamu rumah kecil mereka itu tampak kacau karena dia dengan tak lazim memijit keningnya berulang. " Mau kubuatkan teh hangat?", tawar Angela lembut. Nathaniel menggenggam tangan Angela yang hendak bertolak menuju dapur. "Tak usah, aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena meeting tadi. Ka
Lyra’s Point Of View Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku. Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku. Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya. Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya. "Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa
Masuk ke rumah itu.....atau tidak?Tiga puluh menit berlalu, dan lelaki itu masih berkutat dengan pikirannya tentang pintu kokoh yang terletak di hadapannya. Dia berjalan mondar-mandir tak tentu arah, dengan kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk menyuarakan rasa frustasinya. Untung saja matahari baru muncul malu-malu, kalau tidak, dia pasti akan menjadi topik menarik dari pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitar.Akhirnya, dia mulai menyingkirkan kegelisahannya setelah beberapa lama bercakap dengan mata batinnya sendiri. Tangannya yang gemetar meraih bel yang sedari tadi ditatapnya penuh minat itu sekali, kemudian kembali menjauhkan sentuhannya dari tombol itu dengan meletakkan tangannya yang berulah tadi di samping tubuhnya.Pintu itu pun terbuka.Jantungnya melompat kencang, mengantisipasi sosok yang akan ditemuinya. Namun, seseorang lain muncul sehingga setidaknya beberapa detik ini pria itu bisa bernafas lega."Nathaniel...", sebut wanita berusia paruh baya itu dengan