Share

Mas Adji, Selingkuh

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 500 meter, aku pun tiba di depan rumah adik kandung Mas Adji.

Rumah petakan sederhana tanpa pagar bercat hijau muda itu tampak sepi, aku pun tetap mendekati pintu rumah tersebut, berharap adik Mas Adji yang bernama Arin ada di dalam.

Arin memang sudah menikah dan memiliki satu orang anak yang masih berusia tiga bulan, tetapi suami Arin bekerja di luar kota, dan pulang dua Minggu sekali. Hampir sama seperti Mas Adji, karena yang menawarkan pekerjaan di sana pun suami dari adik iparku.

Tok Tok Tok!

Aku mengetuk pintu rumah tersebut berkali-kali hingga tak lama seorang wanita yang usianya lebih muda dariku membuka pintu tersebut.

"Mbak, kamu kenapa?" tanya Arin sambil menatapku dengan raut wajah bingung.

Aku memeluk Arin dan kembali menangis pilu di pelukannya.

"Kamu kenapa Mbak? Cerita sama aku." Arin membawaku masuk ke rumahnya.

Aku pun mengikuti adik iparku yang membawaku duduk di ruang tengah rumah petakan tersebut.

Arin masih menatapku yang menangis.

"Cerita sama aku Mbak, kamu kenapa? Bukannya hari ini Mas Adji pulang? Kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Arin sambil memegang jemari tanganku.

Aku menghela napas berat, "Mas Adji selingkuh, bahkan selingkuhan Mas Adji sedang mengandung anak mereka."

Mendengar penjelasan dariku, Arin tampak terkejut, ia pun memelukku dan mengusap punggungku dengan lembut.

"Apa Mbak yakin? Memangnya Mbak punya bukti?" tanya Arin.

Air mataku semakin tak terbendung lagi, aku tak sanggup menjawab pertanyaan adik iparku itu.

"Maaf Mbak, tapi aku yakin Mas Adji adalah lelaki setia, tidak mungkin dia mengkhianatimu. Apa kamu sudah bertanya padanya?"

Arin kembali bertanya padaku.

"Mas Adji sudah mengakui itu dan Mas Adji sendiri yang mengatakan kalau dia sudah menikah dengan wanita itu, bahkan wanita itu sedang mengandung anaknya," jelasku lirih. "Selama ini aku tidak tahu kalau ternyata Mas Adji menginginkan anak dan Mas Adji mengambil keputusan sepihak dengan menikahi wanita lain demi mendapatkan anak."

"Ya Allah, Mas Adji, kenapa dia tega melakukan itu?"

Pertanyaan Arin mewakili pertanyaanku, kenapa Mas Adji tega mengkhianati pernikahan kami hanya karena menginginkan anak?

"Aku tahu aku bukan wanita sempurna karena aku tidak bisa memberi Mas Adji anak. Mungkin aku memang harus mengalah, aku akan bercerai dari Mas Adji."

Arin melepas pelukannya lalu menatapku dengan lirih.

"Kenapa harus Mbak yang mengalah? Harusnya Mas Adji menceraikan wanita itu. Mbak sudah menikah dengan Mas Adji selama lima tahun, bahkan kalian sudah berpacaran selama tiga tahun. Kalian sudah saling mengenal lama, kenapa harus Mbak yang mengalah?" tanya Arin sambil mengusap air mataku.

Aku tersenyum lirih, "Mas Adji akan segera memiliki anak dengan wanita itu, aku tidak mungkin membiarkan Mas Adji menceraikan wanita itu. Aku tidak ingin anak Mas Adji kehilangan kasih sayang orang tuanya. Aku tidak mau egois, lagi pula aku yakin Mas Adji lebih bahagia bersama dengan wanita itu karena dia bisa memberi Mas Adji anak. Sedangkan aku? Aku hanya wanita mandul yang tidak bisa memberi kebahagiaan untuk Mas Adji."

"Tapi Mbak, aku ngga akan membiarkan Mbak bercerai dengan Mas Adji, aku tahu kisah perjalanan cinta kalian berdua. Selama ini Mas Adji berjuang keras untuk bisa menikahimu Mbak, dan aku yakin Mas Adji juga tidak akan mau menceraikanmu."

Aku kembali tersenyum lirih sambil mengusap air mataku yang semakin mengalir deras. "Seharusnya Mas Adji ingat tentang perjuangan itu, tapi kenapa Mas Adji tega mengkhianatiku?"

Aku kembali mengingat masa lalu, saat dulu Mas Adji mencoba mendapatkan hatiku. Dulu aku adalah wanita yang sulit ditaklukkan, dan Mas Adji tidak pernah menyerah untuk mendekatiku. Hingga akhirnya aku jatuh ke dalam pelukannya.

Namun sekarang, dia tega menyakitiku dengan menikahi wanita lain.

"Tolong pikirkan lagi Mbak, jangan sampai kalian bercerai," ucap Arin sambil menatapku lekat.

"Aku tidak sudi dimadu!" tegasku.

"Aku tahu Mbak, tapi aku yakin masih ada solusi lain selain bercerai."

Aku melepas genggaman tangan Arin lalu berdiri. "Boleh kan aku menginap di sini malam ini?" tanyaku lirih.

Arin pun menganggukkan kepala lalu mengantarku ke kamar kosong di dekat dapur, kamar yang memang hanya digunakan Arin untuk meletakkan barang barang tak terpakai.

"Aku beresin dulu kamarnya, Mbak tidur di kamar aku aja dulu," ucap Arin.

"Ngga usah, Mbak cuma mau numpang istirahat sebentar."

Aku pun langsung masuk ke kamar saat mendengar suara mesin motor, yang kemungkinan adalah Mas Adji.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status