POV: Adji"Rere pergi." Aku terduduk lesu di depan kedua orang tuaku. Mereka datang ke rumah bersama dengan Arin dan Yanti, kedua adik perempuanku. "Kamu tidak bisa menahannya? Kenapa kamu membiarkan menantu Ibu pergi sedangkan dia sedang mengandung anakmu Adji."Air mata runtuh membasahi wajah ibuku, aku pun hanya bisa menundukkan kepala dan tak mengatakan apapun lagi. "Bapak kecewa sama kamu, bagaimana bisa kamu menikah lagi sedangkan istrimu di sini sangat setia padamu. Dia tidak pernah melaksanakan kesalahan apapun, tapi kamu justru menyakitinya." Sama seperti ibuku, bapak juga sangat murka atas apa yang aku lakukan pada Rere. Aku menyadari kesalahan yang kulakukan dan sudah fatal. "Sekarang bagaimana? Kalian akan bercerai?" tanya Ibuku yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Memangnya tidak ada lagi jalan keluar dari masalahmu itu? Kalau memang Rere sedang mengandung, kenapa kalian harus bercerai? Kenapa bukan
Di Surabaya Aku bertemu dengan keluarga dari kedua orang tuaku. Rasanya belum bisa menerima kalau pada akhirnya aku akan kembali ke kampung halaman seorang diri, tanpa suami seperti tahun tahun sebelumnya. "Kok bisa suamimu selingkuh?" Pertanyaan itu aku dengar dari banyaknya mulut saat aku baru saja tiba di Surabaya. Ya, keluargaku sendiri tak menyangka kalau Mas Adji tega berkhianat, bahkan menikahi wanita itu. Aku menghela napas panjang. "Aku juga ngga tahu kenapa Mas Adji tega menduakan aku," jawabku sambil menundukkan kepala. "Jangan bahas itu dulu, Mbok. Kasihan Rere," ucap Pakde Trimo. "Kita ke kamar, kamu istirahat dulu di sana." Aku menganggukkan kepala lalu mengikuti Pakde Trimo ke kamar yang sudah disiapkan. Budhe Patia mengikutiku masuk ke kamar lalu duduk di tepi tempat tidur. "Cerita sama Budhe, jangan dipendam sendiri." Aku meletakkan tas tenten
Aku dan Budhe Patia datang ke bidan terdekat yang berada di Desa tempat tinggalku. Kedatangan kami disambut Bidan dengan ramah dan aku pun diminta untuk duduk, menjelaskan apa saja keluhanku. "Kapan terakhir Ibu datang bulan?" tanya Bidan tersebut. Aku mencoba mengingat sebentar lalu mengatakan, "Kalau ngga salah terakhir kali saya datang bulan tanggal 20 Juli, Bu, dan sekarang belum waktunya saya datang bulan. Itu alasan saya ngga curiga sama sekali kalau saya sedang hamil." Bidan itu tersenyum. "Memang biasanya orang akan menghitung dari telatnya datang bulan, tapi sebenarnya kehamilan dihitung dari terakhir kali Ibu selesai datang bulan. Biar lebih jelas, kita periksa dulu ya." Aku hanya mengangguk dan melihat Bidan mengambil sesuatu dari dalam laci, setelah itu Bidan memberiku sebuah testpack dan wadah kecil untuk menampung air seni. "Ibu periksa dulu, dan ikuti petunjuk yang ada di dal
Kabar kehamilanku didengar oleh Mas Adji dan keluarganya di sana. Pagi harinya, Mas Adji menghubungi Pakde Trimo dan Pakde mengatakan langsung padaku kalau beliau tidak menerima telepon dari Mas Adji.Di ruang makan sederhana, aku, Budhe Patia dan Pakde Trimo sedang menyantap sarapan pagi."Kurang lebih sepuluh kali suamimu itu menghubungi Pakde, tapi Pakde ngga angkat teleponnya," ujar Pakde Trimo. "Ngga usah diangkat Pak, untuk apa?" sahut Budhe Patia. Aku hanya diam sambil memakan makananku agar tidak merasakan mual. "Kapan pengadilan menjatuhkan putusan cerai? Bukannya kalau sedang hamil tidak boleh bercerai?"Pakde Trimo menatapku lekat. "Kata siapa Pak? Boleh boleh aja kok, yang ngga boleh itu kalau lagi hamil menikah. Kalau cerai, yo boleh," sahut Budhe Patia, dan aku tetap diam. "Tapi ada teman Bapak yang bilang kalau sedang hamil itu ngga boleh bercerai. Bapak juga ngga tahu mana yang bener. Bapak
POV AdjiKeringat dingin menetes dari keningku karena tidak disangka Nina sudah berada di belakangku dan memergoki aku yang sedang menelepon Rere. Takut? Jelas. Aku takut kalau Nina pada akhirnya tahu kondisiku saat ini masih berumah tangga dengan Rere. Egois? Mungkin, iya. Aku tidak mau kehilangan Nina dan juga tidak mau kehilangan Rere yang saat ini tengah mengandung buah cinta yang aku taburkan. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan kedua wanita itu karena mereka sama-sama tengah mengandung benihku?“Mas, sekarang ngaku aja siapa yang barusan Mas telepon? Terus siapa yang Mas mau ceraikan ditelepon itu?” Nina mendesakku. Rasanya begitu menusuk hingga jantung hati karena aku tidak menduga dia akan mendengar percakapanku dengan Rere. Bukan hanya takut Nina marah, aku juga takut Rere akan semakin marah. Tentu saja hal ini membuat pikiranku semakin pusing dan keadaan semakin rumit. Aku tak tahu kenapa semua menjadi seperti ini.
POV AdjiAku jelas tidak mau Nina menceraikanku karena bagaimanapun juga bayi yang ada di dalam kandungannya merupakan benih dariku. Benih yang selama ini aku idam-idamkan untuk kutimang. Memiliki anak merupakan impianku yang terpendam selama ini karena menjalani rumah tangga tanpa kehadiran seorang anak sekalipun membuat hidupku terasa hambar. Aku tidak mau melepaskan Nina begitu saja meski pada kenyataannya Rere juga sedang hamil. “Nina, jangan seperti itu jika sedang marah nanti pada akhirnya akan menyesal. Aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang. Kamu harus ingat kalau saat ini kamu tengah berbadan dua dan itu adalah buah cinta kita, Sayang.” Aku tetap membujuk Nina agar tidak marah. Tidak berselang lama kemudian, tiba-tiba ada bel pintu rumah berbunyi tanda ada tamu yang datang. Aku hendak pergi, tetapi Nina justru berjalan terlebih dahulu sambil mengusap air matanya. “Biar aku aja yang buka.” Nina berkata demikian dan berlalu
Aku merasa terkejut saat Pakde Trimo menatap ke arahku dan memperlihatkan tulisan yang tertera di layar ponselnya. Nama Adji terpampang di sana. Rasanya dalam benakku tercampur aduk melihat nama pria yang selama ini mendampingi hidupku. Pria yang sudah memberikan warna dan kebahagiaan dalam hidupku serta membawa kehancuran serta kesedihan di waktu yang sama. Saat seharusnya aku dan dia merasa bahagia atas kedatangan buah hati yang selama ini didambakan, tetapi justru semua sirna karena pengkhianatan. “Mau diangkat atau enggak?” tanya Pakde Trimo kepadaku. Aku terdiam sesaat karena semua rasa langsung berkecamuk di pikiran. “Nggak, Pakde. Aku nggak mau angkat panggilan telepon itu. Biar aja mau telepon-telepon pasti dia mau cari aku. Aku nggak mau ngomong sama penghianat. Kemungkinan besar surat gugatan perceraian sudah sampai di rumahnya.”Pakde menganggukkan kepala tanda memahami apa yang aku rasakan tanpa memaksakan untuk mengangkat
“Mau bilang apa lagi? Pelakor tetap aja pelakor. Aku nggak mau dengar apa pun penjelasan dari kamu,” kataku dengan dada yang naik turun menahan emosi yang bergemuruh di dalam dada. Aku mencoba biasa saja, tetapi ternyata tidak bisa.“Mbak, maafkan aku. Aku mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadamu. Tolong jangan marah terlebih dahulu dan jangan salah sangka dengan apa yang ingin aku katakan. Ini semua bukan alasan, tetapi hal yang terjadi sebenarnya.”Kembali rasa emosi menyelimuti benakku mendengar wanita yang sudah menjadi pelakor di dalam kehidupan rumah tanggaku itu mencoba untuk menjelaskan. Aku tahu apa pun yang akan dia katakan pasti hanya alasan belaka karena menjadi selingkuhan itu sudah sesuatu yang sangat fatal.“Baiklah. Aku akan memberikan kamu satu kesempatan untuk menjelaskan. Tapi jangan berharap aku bisa mengerti karena aku nggak akan toleransi sama sekali dengan perselingkuhan yang kalian lakukan di belakangku.” Aku kembal
Aku merasa begitu bahagia setelah sembilan bulan lamanya mengandung akhirnya bayi yang dinantikan olehku dan juga Mas Galuh akan segera lahir di dunia. Saat ini aku berada di rumah sakit bersalin ditemani oleh Mas Galuh dan juga Bude Patia. Sedangkan Pakde Trimo menemani Regan di rumah. Bude Patia memilih untuk ikut ke rumah sakit bersama denganku karena ingin membantu segala kebutuhan setelah persalinan yang hanya bisa dilakukan oleh wanita. Sedangkan Mas Galuh tentu saja selalu bersama denganku karena ini merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh kami. Dokter kebidanan dan juga perawat serta bidan sudah masuk ke dalam ruangan tempat aku berbaring di atas ranjang yang cukup dingin. Rasanya sudah tidak karuan karena bukaan demi bukaan sudah terjadi. Aku pun ikuti arahan dari dokter kebidanan untuk mengejan. Proses selama persalinan termasuk lancar dan juga berjalan dengan baik karena kurang dari beberapa jam, aku sudah berhasil melahirkan bayi ke
Aku tidak menyangka kalau dokter mengumumkan kehamilanku yang kedua dan ini merupakan anak pertama bagi Mas Galuh. Betapa bahagianya diriku ini mendengar kabar itu. Mas Galuh pun tidak kalah bahagia.Sepulangnya dari rumah sakit, Mas Galuh segera memberitahukan kepada Pakde Trimo dan juga Bude Patia dengan kabar kehamilanku. “Pakde Trimo, Bude Patia, ternyata Rere hamil! Alhamdulillah akhirnya! Aku mau segera membuat syukuran atas berita bahagia ini dan semua tetangga yang ada di sekitar sini akan aku undang dalam syukuran ini,” ujar Mas Galuh dengan begitu semangat mengumumkan semua itu kepada Pakde Trimo dan Bude Patia. Aku ikut bahagia mendengar antusias dari Mas Galuh yang sangat bahagia.“Galuh, ini betul-betul kabar yang menggembirakan!” kata Pakde Trimo sambil tersenyum lebar menatap Mas Galuh. “Selamat ya! Ini pasti jadi berkah besar untuk keluarga kalian. Syukuran adalah ide yang sangat baik. Pakde dan Bude akan sangat senang ikut merayakannya,”
Dua tahun kemudian ....Entah mengapa aku merasa mual dan juga pusing sejak tadi pagi. Rasanya untuk melihat makanan pun tidak berselera sama sekali. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk makan sedikit demi sedikit, tetapi sama saja rasa mual itu kembali datang. “Rere, kamu itu kenapa nggak mau makan? Apa kamu sakit?” Bude Patia bertanya kepadaku karena merasa khawatir terlihat dari raut wajahnya yang terus-menerus menatap ke arahku. “Nggak tahu ini, Bude. Rasanya pusing dan juga mual. Ini barusan coba makan buah potong, tapi sama aja tetap mual.” Aku sudah mencoba untuk makan buah ataupun sayuran, tetapi rasa mual itu juga tidak kunjung pergi. Aku jadi semakin bingung apa yang terjadi kepada diriku karena tidak biasanya sakit seperti ini. Aku memilih untuk kembali ke kamar daripada pusing terus-menerus dan mual. Aku merasa beruntung karena ada Bude Patia yang selalu membantuku untuk merawat Regan. Apalagi dalam kondisi aku sedang sakit seperti
POV AdjiAku dan Nina sudah pasrah kepada Sang Pencipta. Kondisi Dinda semakin memprihatinkan di ICU. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menjalani hidup dengan segala kesalahan yang menghantui.Pada akhirnya, aku menyadari banyak kesalahan yang aku perbuat di masa lalu, sehingga saat ini aku mencoba memperbaiki semuanya. Menjaga Nina dan Dinda semampuku, meski saat ini aku dan Nina sudah menyerah dengan keadaan.“Mas, gimana ini? Dinda ... Aku nggak mau Dinda pergi, Mas. Kita harus cari cara untuk menyelamatkan Dinda, Mas.” Nina langsung matanya berkaca-kaca menatap ke arahku. Dia terlihat begitu histeris ketika dokter mengatakan bahwa putri kami tidak bisa tertolong lagi dan nyawanya sudah melayang di ruangan ICU. “Kita hanya bisa ikhlas, Nina. Mau bagaimana lagi kalau dokter sudah berkata demikian, kita bisa apa? Sabar, Nina. Sabar.” Aku tak kuasa juga meneteskan air mata sambil memeluk wanita yang pernah menjadi istri kedu
Aku merasa senang Regan bisa merasakan memiliki sosok ayah meski bukan kandung. Hal yang terpenting adalah kebaikan dan rasa sayangnya kepada Regan benar-benar nyata. Aku tidak henti-hentinya mengucap Alhamdulillah kepada Allah yang sudah mengirimkan seorang pendamping yang baik untuk kehidupanku dan juga bayiku. Malam ini, merupakan malam kesekian kalinya bersama dengan Mas Galuh. Namun, jantungku masih berdebar-debar dan rasanya tidak karuan. Mas Galuh sudah berbaring di sampingku dan membelai lembut rambutku. “Rere, aku mau bilang,” ucap lembut Mas Galuh yang justru membuatku semakin berdebar-debar karena takut dia meminta jatah seperti biasanya. Aku merasa tidak begitu siap untuk melakukan hal tersebut setiap hari meski sudah menjadi suami istri. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan salah satunya aku itu belum menginginkan hamil lagi karena Regan masih bayi.“Iya, Mas. Ada apa?” jawabku dengan bingung. Aku justru berfikir yang tidak-tidak.
Aku tidak menyangka kalau hari yang dinanti akhirnya tiba. Janur kuning melengkung di dekat rumah dan dekorasi meriah sudah ditata di depan rumah. Tenda megah didirikan dan aku kini sudah dirias dan cantik mengenakan busana pernikahan. Ya, aku dan Mas Galuh hari ini menikah. Baru saja selesai akad nikah dan saat ini aku dan Mas Galuh duduk di kursi pernikahan yang megah dan mewah untuk menyambut para undangan yang datang. Semua orang yang datang terlihat turut bahagia dengan kebahagiaan yang saat ini sedang aku rasakan. Beberapa kali tamu undangan yang naik dan memberikan salam turut mengatakan hal-hal yang positif seperti saat ini. “Selamat, ya, Rere dan Galuh. Kalian ini sama-sama beruntung bisa mendapatkan satu dengan yang lain. Selain cantik dan ganteng, kalian berdua sama-sama orang yang baik. Ibu sebagai RT di sini bantu doakan kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Amin.” Aku terharu bahkan RT di sini pun ikut mendoakan.
POV AdjiAku begitu merasa sedih ketika melihat putriku terbaring lemas tak berdaya di ruangan ICU padahal umurnya baru beberapa bulan saja. Bagaimana mungkin aku ini bisa tenang jika melihat bayi mungil itu yang belum sempat aku timang-timang setiap harinya justru saat ini sakit dan dalam kondisi yang kritis. Rasa bersalahku semakin bergejolak ketika Nina mengucapkan beberapa hal yang menohok dalam hati. “Mas! Ini semua pasti karena kesalahan kamu! Karena kamu yang sudah berdusta dan juga menyakiti hati kedua wanita yang menjadi istrimu, sekarang justru Dinda yang mendapatkan kesulitan. Dinda sakit karena kamu!”Aku begitu terkejut mengapa Nina langsung menyalahkan semua ini kepadaku padahal aku tidak tahu sama sekali kalau Dinda lahir dalam kondisi sakit seperti itu. Sebenarnya aku tidak ingin debat sama sekali, tetapi aku juga tidak mau disalahkan atas semua permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini. “Aku sudah mengusahakan
POV AdjiAku merasa terkejut ketika ada panggilan telepon masuk di ponsel yang menunjukkan ternyata Nina yang menghubungi aku. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada kabar sama sekali tentang Nina apalagi soal bayi yang dilahirkan olehnya. Aku pun segera mengangkat telepon panggilan itu. “Hallo, Nina? Ada apa?” Aku merasa khawatir karena firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi.“Mas, aku mau minta tolong. Anak kita sakit dan keadaan kritis,” ucap Nina membuatku lemas. Aku tidak mungkin marah kepada Nina yang sudah kabur dan juga menyembunyikan keberadaan anakku. Justru ucapan Nina membuatku terkejut dan sangat khawatir. “Sakit apa? Kamu sekarang di mana, Nina? Biar aku ke sana.”“Mas, aku di Lampung. Aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku terpaksa ke sini karena sudah nggak ada uang lagi buat hidup di Jakarta, Mas. Tolong, Mas. Anak kita kondisi kritis.” Aku langsung menangis saat Nina mengatakan
Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit bersalin dan membawa putraku pulang. Putra tampan, bayi yang aku nantikan selama ini pasti akan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak akan terlena lagi dan merawatnya sepenuh hati. Hari demi hari pun berlalu dalam ketenangan. Aku memberi nama bayi tampan ini Regan. Aku harap dia bisa bertingkah laku baik dan tidak seperti Mas Adji. Pakde Trimo dan Bude Patia juga selalu siap siaga untuk membantuku menjaga Regan karena memiliki bayi pertama kali merupakan pengalaman yang mengesankan bagiku dan harus banyak belajar dari banyak sumber. Bagaimana cara memandikan bayi dan juga mengurus pakaian serta menjaga agar tidak kehausan atau kelaparan. Aku bersyukur saat ini juga ada Mas Galuh yang juga hampir setiap hari datang ke tempat Pakde Trimo untuk membawakan makanan sehat atau buah-buahan demi aku yang saat ini sedang menyusui. Perhatian dan juga kasih sayang dari Mas Galuh benar-benar b