POV Adji
Aku jelas tidak mau Nina menceraikanku karena bagaimanapun juga bayi yang ada di dalam kandungannya merupakan benih dariku. Benih yang selama ini aku idam-idamkan untuk kutimang.Memiliki anak merupakan impianku yang terpendam selama ini karena menjalani rumah tangga tanpa kehadiran seorang anak sekalipun membuat hidupku terasa hambar. Aku tidak mau melepaskan Nina begitu saja meski pada kenyataannya Rere juga sedang hamil.“Nina, jangan seperti itu jika sedang marah nanti pada akhirnya akan menyesal. Aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang. Kamu harus ingat kalau saat ini kamu tengah berbadan dua dan itu adalah buah cinta kita, Sayang.” Aku tetap membujuk Nina agar tidak marah.Tidak berselang lama kemudian, tiba-tiba ada bel pintu rumah berbunyi tanda ada tamu yang datang. Aku hendak pergi, tetapi Nina justru berjalan terlebih dahulu sambil mengusap air matanya.“Biar aku aja yang buka.” Nina berkata demikian dan berlaluAku merasa terkejut saat Pakde Trimo menatap ke arahku dan memperlihatkan tulisan yang tertera di layar ponselnya. Nama Adji terpampang di sana. Rasanya dalam benakku tercampur aduk melihat nama pria yang selama ini mendampingi hidupku. Pria yang sudah memberikan warna dan kebahagiaan dalam hidupku serta membawa kehancuran serta kesedihan di waktu yang sama. Saat seharusnya aku dan dia merasa bahagia atas kedatangan buah hati yang selama ini didambakan, tetapi justru semua sirna karena pengkhianatan. “Mau diangkat atau enggak?” tanya Pakde Trimo kepadaku. Aku terdiam sesaat karena semua rasa langsung berkecamuk di pikiran. “Nggak, Pakde. Aku nggak mau angkat panggilan telepon itu. Biar aja mau telepon-telepon pasti dia mau cari aku. Aku nggak mau ngomong sama penghianat. Kemungkinan besar surat gugatan perceraian sudah sampai di rumahnya.”Pakde menganggukkan kepala tanda memahami apa yang aku rasakan tanpa memaksakan untuk mengangkat
“Mau bilang apa lagi? Pelakor tetap aja pelakor. Aku nggak mau dengar apa pun penjelasan dari kamu,” kataku dengan dada yang naik turun menahan emosi yang bergemuruh di dalam dada. Aku mencoba biasa saja, tetapi ternyata tidak bisa.“Mbak, maafkan aku. Aku mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadamu. Tolong jangan marah terlebih dahulu dan jangan salah sangka dengan apa yang ingin aku katakan. Ini semua bukan alasan, tetapi hal yang terjadi sebenarnya.”Kembali rasa emosi menyelimuti benakku mendengar wanita yang sudah menjadi pelakor di dalam kehidupan rumah tanggaku itu mencoba untuk menjelaskan. Aku tahu apa pun yang akan dia katakan pasti hanya alasan belaka karena menjadi selingkuhan itu sudah sesuatu yang sangat fatal.“Baiklah. Aku akan memberikan kamu satu kesempatan untuk menjelaskan. Tapi jangan berharap aku bisa mengerti karena aku nggak akan toleransi sama sekali dengan perselingkuhan yang kalian lakukan di belakangku.” Aku kembal
POV Nina. Aku tidak menyangka sama sekali jika rasa cintaku ini menjadi permainan oleh pria yang beberapa waktu ini mengisi relung hatiku. Sudah pernah menjadi janda tentu saja membuatku lebih berhati-hati memilih pria. Namun, pada akhirnya aku juga tertipu oleh perkataan Mas Adji.Malu? Jelas. Aku sangat malu saat menelepon untuk menjelaskan kepada istri pertama Mas Adji. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa karena kenyataannya aku juga dibohongi. Mas Adji tertunduk dalam diam setelah aku mengakhiri kalian kebun kepada wanita yang selama ini menjadi istri sah dan istri pertama Mas Adji. Aku tidak bisa memahami kenapa pria begitu egois dan tidak bisa setia kepada satu cinta. Aku pun menghampiri pria yang selama ini sudah menipuku hingga aku harus menikah dengannya dan dalam kondisi hamil saat ini. “Mas, aku udah nggak bisa bareng kamu lagi. Aku mau minta cerai.”Mas Adji langsung mendengarkan kepalanya menatap ke arahku dan memeg
POV AdjiAku hanya bisa terdiam melihat Nina pergi meninggalkanku seorang diri dengan menggunakan taksi yang sudah dia pesan tadi. Aku tidak menyangka kalau Nina tega pergi begitu saja meski aku sudah memohon-mohon. “Kenapa Nina juga marah kepadaku dan memilih untuk pergi padahal aku sudah bilang akan memperjuangkannya? Aku emang salah, tapi sebagai pria aku juga mau bertanggung jawab atas kedua istriku. Harusnya mereka bersyukur memiliki suami seperti aku yang mau menafkahi dan juga bertanggung jawab. Walau memiliki dua istri, aku masih mampu untuk menopang kehidupan mereka berdua.”Aku menghela nafas panjang dan merasa kalau kedua istriku tidak bersyukur sama sekali. Meski aku sudah berbohong dan membuat mereka luka hati, tidaknya mereka ingat kalau aku juga berjuang untuk menafkahi mereka semua. Aku bukan merupakan orang yang pelit dalam urusan harta dan tentunya ketika calon anakku dua-duanya lahir pasti aku akan memberikan hal yang jauh lebih ba
Aku tidak bisa tidur sama sekali memikirkan semua yang terjadi tentangku dan juga Mas Adji. Aku sama sekali tidak menyangka kalau rumah tangga yang kujalani selama ini akan berakhir hanya karena hadirnya orang ketiga. Aku masih berada di rumah Pakde Trimo dan Bude Patia.Aku berpikir apakah keputusan untuk bercerai merupakan jalan keluar yang terbaik sedangkan posisiku saat ini tengah hamil anak dari Mas Adji. Buah hati yang selama ini kami nanti-nanti akhirnya datang, di saat yang tidak tepat. Bersamaan dengan kehancuran yang Mas Adji bawa dengan terungkapnya istri kedua. Sakit? Tentu saja aku merasa sakit. Namun, aku bisa apa menjalani semua ini? Lebih baik aku memilih untuk bercerai daripada hidup dalam kepalsuan. Aku sudah tidak tahan lagi untuk hidup bersama pria yang berbohong dan menghianatiku. “Rere, apa kamu itu sudah pikirkan betul-betul dengan keputusanmu?” tanya Bude Patia kepadaku saat duduk bersama. Kemarin surat gugatan perc
Aku tidak peduli dengan apa kata Mas Adji. Meski dia memohon kepada Pakde Trimo dan Bude Patia sekalipun, aku tidak akan peduli. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan kembali pada pria pengkhianat ini. “Aku nggak bisa, Mas. Ini sudah hal fatal. Aku nggak bisa.” Aku tetap tegas kepada Mas Adji. Tidak mau dia merayu dan aku melemah. Ini semua sudah keputusan final.“Walau aku udah memohon seperti ini kamu masih keras kepala ingin bercerai denganku? Kamu sama sekali nggak memikirkan tentang anak kita ingatkan lahir? Pakde Trimo, Bude Patia, tolong bantu aku sekali ini aja untuk membujuk Rere agar tidak keras kepala demi keutuhan keluarga dan kebahagiaan anak kami yang akan lahir kelak.”Mas Adji justru meminta kepada Pakde Trimo dan Bude Patia untuk ikut membujukku. Mungkin Dia mengira dengan cara seperti itu bisa meluluhkan hatiku yang sudah terlanjur luka. Sungguh tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Aku tidak akan memaafkan dia seumur hidupku.
POV Adji. Aku merasa begitu lesu dan berbeban berat atas apa yang diucapkan oleh Rere tadi. Bagaimanapun juga ini memang sudah kesalahan fatal yang aku lakukan terhadap Rere dan Nina. Aku berharap masih bisa mengejar Nina. Perjalanan dari Surabaya menuju ke Jakarta cukuplah lama. Rasa resah dan gelisah terus bergelayut di dalam benakku. Gundah gulana rasanya di hatiku karena Rere sudah tidak mau lagi bersama denganku. Dalam pemikiranku saat ini, kalau Nina juga sudah tidak mau denganku, bagaimana dengan kehidupanku? Aku yang menyetir mobil sendirian merasa hancur berantakan sudah. Sungguh, rasanya sudah tidak konsentrasi untuk mengendarai kendaraan ini. Hanya saja kepastian dari Nina merupakan jawaban terakhir untuk melanjutkan kehidupanku. Aku benar-benar berharap Nina mau memaafkan aku dan memberikan kesempatan. Aku sudah kehilangan kesempatan untuk bersama dengan Rere, sehingga aku tidak mau kehilangan istri keduaku. Meski se
POV Nina. Sebulan berlalu dengan cepat hingga akhirnya aku merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Keluargaku bergegas membawa ke rumah sakit karena sudah pembukaan. Aku merasa perut mulas dan tidak tahan lagi untuk melakukan persalinan. Tak disangka, salah satu keluargaku memberi kabar ini kepada Mas Adji. Pria itu pun datang untuk melihat kondisiku setelah melahirkan dan juga anak darinya. Senang? Oh, tidak. Aku sama sekali tidak merasa senang dengan kehadirannya. “Nina, akhirnya anak kita lahir. Aku janji akan menjagamu dan anak kita,” ucap Mas Adji yang jelas saja perkataannya sama sekali tidak bisa dipercaya. Aku sama sekali sudah tidak mempercayai semua ucapan darinya.“Nggak usah berharap yang lebih. Bisa lihat anakmu aja, udah untung!” Aku langsung berkata dengan tegas agar Mas Adji sadar diri sedikit.“Jangan gitu, Nina. Aku itu sayang kamu.” Mas Adji masih mencoba untuk menarik perhatianku. Namun, sama sekali ak